Sabtu, 05 Februari 2011

PEMIKIRAN SOSIALIS-KAPITALIS

Dengan mendalamnya krisis Suharto
Masalah-masalah yang mendesak sedang dihadapi oleh rakyat Indonesia
Oleh Dewan Redaksi
16 Mei 1998
Suharto telah memperpendek kunjungannya ke Mesir untuk pulang ke tanah air yang runtuh oleh protes massa dan kerusuhan. Dengan bertambahnya tuntutan untuk mengunduran diri yang berasal bukan hanya dari mahasiswa dan para buruh saja, tetapi juga dari bagian ekonomi golongan atas di dalam negeri dan pemimpin-pemimpin dari susunan modal internasional di luar negeri, kelanjutan dari kediktaktoran Suharto selama 32 tahun ini sedang dipertanyakan.
Tetapi ini tidak dapat disimpulkan bahwa Suharto akan merasakan keharusan untuk meletakkan jabatannya. Masih banyak kekhawatiran baik didalam borjuis internasional dan bisnis-bisnis di Indonesia maupun di dalam lingkaran militer akan pemecatannya, karena mereka masih tidak yakin bahwa mereka akan mendapatkan penggantinya.
Tetapi meskipun orang tegar yang sudah berusia 76 tahun ini akan pergi, keberangkatannya akan menandakan bahwa tantangan-tantangan politik yang dihadapi oleh rakyat Indonesia bukan malah akan berakhir tetapi baru saja dimulai. Terbentangnya pergejolakan sosial ini telah menimbulkan rantaian masalah-masalah yang sangat penting.
Pada dasarnya, dengan kegagalan (yang sering disebutkan sebagai) keajaiban ekonomik di Asia telah mengungkapkan ketidak-mampuan dari sistem keuntungan dan pasar modal untuk mencukupi kebutuhan pokok rakyat. Dalam analis terakhir, rejim Suharto dan pemerintahan yang lalim di negara-negara Asia yang lainnya adalah alat-alat politik yang digunakan oleh bank-bank internasional dan korporasi-korporasi dan pemerintah yang bersedia memberikan tawaran mereka untuk membangun hubungan-hubungan kapitalis di daerah itu.
Dengan meluasnya daerah-daerah yang dapat digunakan untuk membuat keuntungan, penggunaan kekayaan dari sumber-sumber natural dan pemerasan buruh-buruh yang dibayar dengan murah telah di perkembangkan. Berulang-ulang perluasan kapitalis sering dibangun diatas mayat-mayat yang menggunung – seperti setengah juta buruh yang dibunuh oleh Suharto dalam kudeta yang didukung oleh America Serikat pada tahun 1965-66 yang memberikan kesempatan kepada Suharto untuk mengambil kekuasaan.
Jika sekarang kekuatan imperialis yang sudah mendukung diktaktor itu selama tiga abad menoleh kearah yang lain, hal itu disebabkan karena mereka sudah kehilangan keyakinan akan kemampuannya untuk membayar pinjaman negara kepada bank-bank besar dan pemungut pinjaman untuk keuangan seluruh dunia, I.M.F (Dana Moneter Internasional). Kantor pemberitaan milik kapitalis mulai dari Washington, ke Bonn, ke Tokyo dan Sydney sedang dipenuhi oleh tanjuk rencana dan ulasan-ulasan yang memohon agar kaum militer Suharto bercampur tangan dengan mengambil pengendalian langsung atau memasang boneka yang dapat ditunjukkan sebagai pembawa reformasi demokrasi, hal itu akan lebih baik bagi kepentingan kapitalis, untuk menghancurkan bahaya sosial dari bawah dan memaksakan peraturan-peraturan ekonomi yang dituntut oleh I.M.F dan bank-bank internasional.
Menurut Koran New York Times , di dalam tanjuk rencananya pada tanggal 15 Mei berjudul "Sunset for President Suharto" (Matahari terbenam untuk Presiden Suharto), menyarankan bahwa sudah saatnya bagi kaum militer untuk mengambil tindakan ("…..mungkin tentara itu harus berbalik melawannya untuk memberhentikan penumpahan darah…"). Walaupun demikian tanjuk rencana itu menjelaskan bahwa keseganan koran Times kepada penumpahan darah itu adalah berdasarkan pemilihan. Dia menginginkan agar pembunuhan Mahasiswa-mahasiswa yang protes segera diberhentikan, paling tidak untuk sementara ini, dan seharusnya kekuatan penembak itu ditujukan kepada lapisan masyarakat yang miskin dan berani mati: "Kaum militer sebenarnya harus menolak penindasan protest damai itu and memusatkan perhatiannya untuk menghentikan perampokkan dan gerombolan kejahatan."
Dengan mengunakan hal itu sebagai dasar dia mendesak untuk penempatan pemerintah reformasi di Indonesia yang sebanding dengan Kim Dae Jung di Korea Selatan, seperti yang koran Times itu tunjukkan, " telah berhasil membujuk rakyat untuk menerima peraturan-peraturan yang tidak bisa dilaksanakan oleh pemegang jabatan sebelumnya.
Kaum buruh Indonesia, petani-petani miskin dan mahasiswa-mahasiswa harus memusatkan perhatian kepada resep yang diberikan oleh koran Times kepada tanah airnya. Hal ini akan membantu untuk mengusir khayalan di dalam kepalsuan demokrasi dari America Serikat dan melawan penyalah-tempatan kepercayaan di dalam borjuis oposisi Suharto.
Contoh-contoh yang diberikan oleh pemerintahan Kim Dae Jung telah membuktikan dengan tepat bahwa pengangkatan liberal burjois kekekuasaan – meskipun dengan surat-surat kepercayaan tertentu – tidaklah akan memecahkan masalah-masalah demokrasi dan kekurangan-kekurangan sosial yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Dengan sebaliknya, rejim yang seperti itu akan menjadi alat-alat baru untuk memaksakan perintah-perintah dari kapital internasional dan kepentingan-kepentingan pemeras-pemeras pribumi, sehingga jalan menuju ke arah penindasan berdarah yang baru tidak akan dapat dihindari.
Setiap partai burjuis dan politikus di Indonesia sudah dicemari bukan saja dengan sebuah sejarah kerjasama dengan Suharto, tetapi juga oleh ketegantungan yang objektif pada biro-biro peminjaman dari kapitalisme. Mereka tidak berbicara untuk kaum buruh dan orang-orang yang tertindas, tetapi malah untuk golongan atas yang berpikiran sempit, yang kedudukan istimewanya berdasarkan atas pemerasan buruh-buruh, dan didukung oleh korporasi-korporasi yang dapat berpindah dari satu negara ke negara lainnya dengan mudah dan pemerintah imperialisme.
Gerakan mahasiswa yang besar harus mempertahankan kemandirian politik yang lengkap jauh dari perwakilan burjuis Indonesia. Jangan menaruh kepercayaan kepada tokoh seperti Amien Rais, pemimpin dari organisasi Islam yang terbesar di Indonesia atau Megawati Sukarnoputri, anak perempuan Sukarno yang memegang jabatan sebelum Suharto.
Megawati Sukarnoputri banyak disamakan dengan Corazon Aquino, tokoh reformasi burjuis yang dipergunakan oleh America Serikat untuk mengantikan rejim Marcos di Filipina dua belas tahun yang lalu. Tidak ada seorangpun yang harus mempunyai khayalan bahwa Aquino dan pergerakan "people’s power" telah menolong pembebasan rakyat Filipina dari penguasa imperialis, pemerasan atau kemiskinan. Sebaliknya, peranan mereka yang terpenting adalah untuk mempertahankan kedudukan dan menopang kepentingan-kepentingan dari kapital internasional, dibawah keadaan dimana Marcos sudah tidak dipercayai sehingga dia tidak dapat lagi menjalankannya.
Lebih dari itu, Aquino naik kekekuasaan ketika ekonomi di Asia Selatan sedang mencapai titik kemajuan yang tinggi. Seorang Megawati atau Amien Rais akan naik kekekuasaan di Indonesia dalam situasi-situasi yang sebaliknya – di tengah-tengah kehancuran ekonomi. Mereka akan mempunyai ruangan yang sempit untuk mempersiapkan siasat, dan pada akhirnya kepalsuan demokrasi mereka akan segera membuka jalan untuk pemaksaan politik-politik kekerasan dan peraturan-peraturan militer-polisi akan dibutuhkan untuk melaksanakannya.
Kekuatan sosial yang mahasiswa-mahasiswa harus berkisar dalam perjuangan untuk melawan pemerintahan diktaktor dan kekurangan-kekurangan sosial adalah kaum buruh yang jumlah dan kekuatan sosialnya sudah tumbuh dengan cepat lebih dari seperempat abad yang lalu.
Apakah yang kemudian harus menjadi tugas-tugas utama yang dihadapi oleh rakyat Indonesia? Sebuah rangkaian yang menyeluruh dari demokrasi dan masalah-masalah sosial yang saling berhubungan masih berdiri untuk diuraikan. Masalah-masalah yang paling dasar dari hak-hak atas demokrasi-kebebasan untuk berbicara dan berserikat, kebebasan untuk penyebaran berita, pemerintahan demokrasi yang sejati tidak dapat diuraikan secara tersendiri dari masalah-masalah sosial yang besar- pemberantasan kemiskinan, pengangguran, buta huruf. Dan tidak ada penguraian yang sejati dan maju untuk masalah social yang besar ini, tanpa perebutan segala bentuk hak-hak istimewa dari golongan atas dan perjuangan, baik untuk sosial maupun politik persamaan (equality). Akhirnya, perjuangan untuk demokrasi dan persamaan adalah pertarungan untuk melawan imperialisme penguasaan dan wakil-wakilnya di Indonesia.
Bersama dengan tuntutan untuk hak-hak atas demokrasi yang penuh, gerakan-gerakan rakyat harus menegakkan tuntutan-tuntutan sosial dan ekonomi yang tidak akan tercapai tanpa adanya demokrasi yang sejati dan keadaan hidup yang pantas. Itu akan termasuk:
• penolakkan akan pinjaman-pinjaman nasional yaitu cara-cara yang mana digunakan dengan bank-bank imperialis untuk mempertahankan pencekikannya kepada Indonesia ekonomi dan penyedotan keuntungan yang sangat besar dari pemerasan kepada para buruh.
• Penyitaan bank-bank besar and industri-industri yang dikuasai oleh keluarga Suharto dan antek-anteknya, dan perubahannya sebagai milik umum dibawah kontrol yang demokrasi dari para buruh.
Untuk membuat tuntutan-tuntutan ini menjadi kenyataan, kaum buruh harus mendirikan susunan-susunan yang demokrasi dan mandiri untuk penguasaan politik. Berdasarkan dengan pabrik-pabrik, tempat-tempat pekerjaan dan lapangan-lapangan pekerjaan di pedesaan, para buruh harus berusaha untuk mendirikan dewan-dewan buruh, untuk membuat dasar-dasar umum bagi pemerintahan oleh kaum buruh
Peristiwa-peristiwa di dalam beberapa tahun terakhir ini di Asia menunjukkan bahwa hal-hal dasar yang sama yang sedang dihadapi oleh para buruh dan rakyat jelata di Indonesia sebenarnya juga dihadapi oleh kakak dan adiknya di Thailand, Korea, Malasia, dan Cina, dan juga yang lama-lama menjadi terang adalah Jepang. Kaum buruh di Indonesia harus mengambil kepemimpinan dalam mendirikan perjuangan yang bersatu dengan para buruh di seluruh Asia.
Peristiwa-peristiwa di Indonesia telah menunjukkan dengan ledakan yang dashyat bahwa para buruh di seluruh dunia sedang memasuki sebuah masa revolusi yang baru. Tugas-tugas yang terpenting,dimana nasib dari masyarakat dunia akan bergantung adalah pendirian partai revolusi internasional. Partai ini telah dibuktikan di dalam komite International dari International keempat (International Committee of the Fourth International) yang pusat dari alat politiknya adalah World Socialist Web Site.
See Also:
Which social classes support the struggle for democracy in Indonesia?
The lessons of history
[20 May 1998 Also in German and Indonesian]
Sumber: www.wsws.org



Bahaya Perang & Bangkitnya Fasisme Dunia
'Kalau mata balas mata dunia jadi buta : ayo lawan perang !'
*) Robertus Robet
Serangan terhadap WTC yang menewaskan ribuan orang tidak berdosa harus dikutuk dan pelakunya harus dihukum dalam mekanisme internasional secara adil. Namun demikian perang yang kemudian dikobarkan oleh Bush dan sekutu-sekutunya akan mendatangkan bahaya lain yang jauh lebih besar. Terdapat sejumlah alasan mengapa kita kaum yang berpikiran maju dan sehat -bersama-sama dengan mereka yang sadar di seluruh dunia- harus menentang perang yang dikobarkan oleh Bush ini :
Pertama, perang tersebut akan membantai ribuan rakyat Afghanistan yang tidak berdosa; menghancurkan rumah penduduk sipil, sekolah serta rumah sakit. Pembantaian ini justru hanya akan menambah hebat lagi kengerian tragedy WTC itu. Dalam daftar PBB, rakyat Afghanistan secara umum sungguh hidup dalam penderitaan; kelaparan, angka kematian yang tinggi (dengan live expectancy 47 tahun, sementara Inggris -sebagi pembanding- 77 tahun). Selain itu selama puluhan tahun mereka menjadi bulan-bulanan perang yang dibuat negara orang: setelah dibawah Uni Soviet mereka masih harus menderita akibat perang satu ke perang yang lain melalui campur tangan Amerika, Arab Saudi maupun Pakistan. Apabila perang terjadi diperkirakan jumlah mereka yang terbunuh setiap harinya di Afghanistan akan sama dengan mereka yang terbunuh di WTC. Hari-hari ini saja ribuan orang dalam lapar dan panas terus mengalir dalam barisan-barisan panjang pengungsian.(SW, 1768, 29, September 2001)
Kedua, sebagaimana beredar dalam perasaan keadilan umum. Kutukan kita terhadap tragedy WTC itu sendiri tidak boleh membawa kita untuk melepaskan diri dari perspektif sejarah. Sejarah politik Amerika memaparkan sejumlah kejadian bahwa dalam banyak perkara, kebijakan politik luar negeri Amerika sendiri telah memakan ribuan nyawa orang tidak berdosa : perang teluk, perang vietnam, pembantaian kaum kiri di Indonesia, invasi di Timor-Timor, Irak, Somalia, Yugoslavia.Bahkan di Kolombia, ribuan aktivis serikat buruh telah dibunuh oleh gerombolan para militer yg didanai amerika dengan alasan mebasmi kaum komunis. Kebijakan semacam ini tidak hanya dikutuk oleh banyak orang diseluruh dunia tetapi juga oleh segenap kaum muda dan intelektual Amerika sendiri yang sadar sebagaimana pernah dipelopori gerakan kiri baru di tahun 6o-an. |Catatan semacam ini rupanya makin menggumpal dalam memori masyarakat global. Peristiwa WTC seharusnya mengajak setiap bangsa terlebih Amerika untuk meninggalkan politik konservatif yang arogan yg justru menjadi penyebaba mengapa kebencian terhadap mereka begitu meluas, hendaknya mereka memulai suatu hubungan baru yang benar-benar di dasarkan atas solidaritas dan persamaan internasional.
Ketiga, perang sebagaimana kekhawatiran banyak orang justru akan semakin memperluas konflik dan kehancuran, meluasnya sentimen agama, ras dan golongan sebagaimana telah terlihat gejalanya di sejumlah negara. Bahkan belum lagi perang terjadi konflik dan ketegangan telah merebak di sejumlah.
Keempat, perang akan semakin memperkuat propaganda dan bangkitnya kaum fasis di seluruh dunia. Di Barat sendiri kaum fasis(neo-nazi) mulai bangkit memanfaatkan krisis ini dengan mengangkat dan meniup-niupkan isu anti- timur-tengah, anti keturunan Afghanistan dsb, sementara di pihak lain gejala yang sebaliknya juga makin merebak di mana-mana dengan isu-isu xenophobia. Inilah salah satu bahaya terbesar dalam peradaban Milenium ini.
Kelima, perang ini sendiri hanya kan menguntungkan segelinitir golongan elit politisi, petingi-petinggi militer, perusahaan-perusahaan peralatan perang serta multinasional korporasi. Satu hal sudah pasti terjadi yakni bahwa keadaan ini telah dimanfaatkan secara licik oleh sejumlah perusahaan penerbangan yang telah mem-PHK kan ribuan pekerja. Oleh karena itu, perang adalah bahaya besar peradaban yang harus dicegah dan dilawan secara bersama-sama dalam semangat perdamaian dan solidaritas kemanusiaan. Tidak dapat tidak, keadaan ini telah membangkitkan kembali memori generasi muda diseluruh dunia akan kekuatan dan jati dirinya untuk memberikan jawaban terhadap krisis peradaban milenium sekarang ini.
Di masyarakat Barat sendiri, kaum mudanya bersama-sama-sama dengan kelompok-kelompok muda muslim serta kelompok-kelompok anti kapitalisme global baik di Eropa maupun di Amerika telah memulai inisitaif dan tugas kesejarahnnya kembali, yang mengingatkan kita akan kejayaan masa 60 an. Mereka turun bergandengan tangan dalam barisan menentang perang: ribuan pelajar di Stuttgart, Hamburg, Freiburg dan Kassel; ribuan lagi bergabung di Downingstreet London; Glasgow, Manchseter, Birmingham, Spanyol. Bahkan di Universitas Berkeley Amerika serta di Harvard University. Mereka mengatakan 'an eye for an eye leaves the whole world blind', mata di balas mata hanya akan membuat seluruh dunia menjadi buta. Sementara secara umum, jajak pendapat yang dilakukan majalah ternama di Inggris The New Statesmen memperlihatkan bahwa sebagain besar publik Inggris sendiri tidak setuju terhadap perang (74%) dan hanya sekitar 23% yang menyetujui perangnya Bush itu, sementara 3 % tidak merasa yakin (The New Statement, 1 Oktober 2001). Tidak pelak lagi, gerakan ini akan makin meluas dan menjadi inspirasi baru buat penyelesaian krisis dan kemuraman zaman ini.
Di Indonesia, tidak dapat tidak inilah kesempatan terbaik bagi generasi muda yang berpikiran maju untuk melibatkan diri dalam semangat solidaritas kemanusiaan sejati yang lebih luas. Gerakan kaum muda di Indonesia yang telah terbukti memiliki enersi dan kekuatan moral otentik -melalui semangat perdamaian dan anti perang ini- harus mampu bangkit kembali untuk mengarahkan dan menggairahkan semangat jaman yang sempat pudar ini ke arah yang lebih sehat; gerakan melawan perang ini harus memberikan pendidikan kepada rakyat kita mengenai peran serta semua orang dalam keterlibatan yang konkret sebagai bentuk solidaritas -atas nasib mereka-mereka yang tidak dikenal di tempat lain - dalam nuansa dan perasaan kemanusiaan yang setara.
Dalam menghadapi ancaman perang dan krisis global ini, kita justru memperoleh kesempatan untuk menawarkan alternatif baru; penjelasan-penjelasan serta jawaban-jawaban baru yang bukan semata-mata untuk golongan-golongan kita sendiri, bukan pula semata-mata untuk dan atas nama kebangsaan kita sendiri. Jauh lebih dari itu untuk dan atas nama keadilan dan kemanusiaan semua orang ! Moga-moga kalian yang di sana dan kita yang di sini makin dapat bersatu hati. Make Love not War ! Peace !!!
From: "Robertus Robet"
Date: Fri, 12 Oct 2001 03:30:21 +0700
(Artikel dikirim oleh Deni A Dwiyanto)



Demokrasi, Kebebasan dan Kesadaran Merdeka
*) Sugiantoro
Sengitnya perpolitikan nasional tidak lagi menjadi hal baru sebagaimana sejarah orde baru yang telah membelenggunya dalam tirani waktu yang panjang. Reformasi total yang menjadi thema perubahan, menjadi bahan yang hangat dan layak untuk diperbincangkan oleh seluruh masyarakat Indonesia bahkan masyarakat internasional sebab eskalasinya sudah sangat terbuka dalam masyarakat international yang melihat perkembangan demokrasi mengalir pada suatu muara masyarakat pertama yaitu Indonesia yang menganut azas kekeluargaan_dimana bentuk tertua dari semua masyarakat dan satu-satunya yang bersifat alami adalah keluarga.
Semangat perubahan yang dikobarkan oleh mahasiswa sejak tahun 80-an merupakan embrio demokrasi yang mengalami proses panjang dan hampir terabaikan karena tidak mendapat restu dari pemerintah orde baru saat itu bahkan embrio demokrasi ini ditangani dengan cara-cara yang represif. Embrio ini kemudian melemah seiring waktu dan kembali muncul disaat gelombang aksi mahasiswa kembali berkobar ditahun 1997 dengan gelora semangat baru.
Demokrasi tidak dapat dilukiskan sebagai wacana yang lahir dari atas kemudian turun kebawah jika meminjam istilah BJ. Habibie bahwa demokrasi harus berjalan secara ‘top down’ dengan akselerasi perubahan evolusi yang dipercepat, namun demokrasi sebagaimana yang terbersit dalam dalilnya bahwa demokrasi adalah suatu proses pencapaian kesetimbangan dimana_masyarakat dalam klasifikasi sebagai masyarakat kelas bawah dapat mencapai kesamaan, kebebasan dan kemerdekaan haknya dalam proses pemerintahan dengan masyarakat kelas atas. Dan dalam proses pencapaian itu bahwa satu-satunya cara yang dilakukan saat itu untuk melakukan pencapaian dilukiskan dalam bentuk demonstrasi. Dimana masyarakat tidak lagi nrimo apa yang memang bukan kehendaknya.
Dalam rentang waktu kemudian wacana demokrasi dimunculkan pada permulaan dipilihnya Presiden Abdurrahman Wahid sebagai proses aktualisasi perubahan bahwa reformasi total adalah jembatan yang harus dilalui menuju kondisi obyektif yaitu demokratisasi. Proses ini merupakan proses pembelajaran politik pada masyarakat yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya sebagai wacana politik negara yang terbuka. Demokrasi menjadi thema sentral dalam perubahan yang singkat menjadi hangat dan berkembang dengan cepat di masyarakat sebab thema ini tidak lagi menjadi perbincangan individu tetapi telah menjadi perbincangan semua lapisan masyarakat atau paling tidak semakin maraknya keikutsertaan masyarakat secara serentak dan bersama-sama dalam perpolitikan negara yang dituangkan dalam bentuk demonstrasi, walaupun secara implisit masyarakat baru menyentuh bagian terluar dari demokrasi.
Proses ini memang membutuhkan waktu lama, apalagi masyarakat yang baru lahir dari (selama ini terbelenggu) otoriterianisme orde baru dimana masyarakat dibutakan akan proses demokrasi. Namun pada Periode pemerintahan Gusdur, sedikit proses itu telah dibukakan pintu sebagai langkah awal beranjak menuju kondisi obyekif tadi. Masyarakat seolah terbangun dari mimpi buruknya dan kemudian beranjak tanpa sadar bahwa sehelai kain sarung masih menutupi wajahnya dan ketika menyibakkan kain sarung yang menutupi wajahnya, ternyata pertarungan sedang berlangsung. Ia terjerembab dalam proses itu dimana pada wilayah ini mengedepankan rasionalitas. Walhasil kekuatan masyarakat ini mencoba memformulasikan gerak dan langkahnya secara alami dalam fenomena yang menakjubkan.
"Kekuatan demokrasi adalah kekuatan secara harfiah sebagai kekuatan fisik yang mampu mengiringi kondisi obyektif menuju gerbang pencerahan"
Rasionalitas memang tidak mengedepankan suatu kekuatan secara fisik dalam fenomena demokrasi, namun lebih mengedepankan kesadaran berfikir secara logika dalam wilayahnya, akan tetapi yang perlu digarisbawahi disini adalah dalam proses beranjaknya masyarakat tadi bahwa proses ini mutlak memerlukan kekuatan itu selama penjaga rambu-rambu konstitusi masih dapat memagari kekuatan tersebut. Namun yang menjadi persoalan dan semakin sulit dipecahkan adalah ketika penjaga rambu-rambu ini tidak dapat memagari kekuatan-kekuatan fisik tersebut bahkan sebaliknya ikut mengambil peran. Akhirnya tercipta ketidakstabilan gerak antara kekuatan fisik dengan kekuatan logika ditambah dengan terreduksinya rambu-rambu tersebut dalam wilayah itu. Walaupun demikian hal ini adalah proses yang harus dijalani untuk mencapai masyarakat yang dapat berfikir secara rasional dalam kondisi obyektif dimana hal itu mulai dijamah oleh masyarakat secara membumi.
Kebebasan

Dalam pada itu kekuatan-kekuatan yang terlebih dahulu berpartisipasi dalam wilayah demokrasi tersebut mereduksi dirinya menjadi embrio baru yang secara sistematis menyusun kekuatannya menjadi kekuatan-kekuatan oposisi pada strata tertinggi dalam legislasi konstitusi dan mengalienasi menjadi ‘Souverain’.
Penjelmaan ini diakibatkan munculnya sebuah kekuatan baru dalam wilayah politik negara, sebuah kekuatan yang mencoba mewujudkan dirinya sebagai kekuatan demokrasi, jika boleh meminjam istilah masa lalu sebagai ‘kekuatan kebebasan’ yang berawal humanisme. Kekuatan ini juga berupaya berkohesi dengan elemen-elemen bebas lain yang mempunyai garis perjuangan dalam demokrasi. Bagai bola salju yang menggelinding dengan derasnya, kekuatan kedua ini menjadi kekuatan kebebasan yang menempatkan dirinya sebagai kekuatan penyeimbang kaum ‘souverain’. Namun Kebebasan yang muncul berubah dalam bentuk-bentuk radikalisasi perjuangan yang terpola secara fisik dalam melihat permasalahan negara yang kompleks. Kekerasan dan anarki akhirnya menjadi nuansa perjuangan yang dipolitisir oleh lawan-lawan politiknya sebagai konflik horisontal. Arah demokrasi yang kebablasan akhirnya akan menimbulkan premanisme politik dan kebebasan destruktif. Padahal kekuatan kedua ini syarat dengan nuansa humanistik yang dalam perjalanan sejarahnya bersahabat dengan berbagai kalangan terutama kalangan fundamentalis pada tingkat wacana keagamaan.
Kesadaran Merdeka

Dalam wacana negara yang berbhineka tunggal ika, keberagaman wilayah berfikir adalah mutlak. Dan hal ini yang harus menjadi landasan bertindak setiap kekuatan demokrasi dalam wilayah politik. Sebagai kekuatan demokrasi, perjuangan radikal akan tetap menjaga substansi perjuangannya dalam lingkaran pluralisme. Semakin maraknya suara lantang demokrasi pada tingkat mahasiswa juga membawa dampak luas yang terbangun secara gradual pada wilayah ini, meskipun demikian sebagai kekuatan nilai, mahasiswa justru dapat membangun wilayah ini pada tahap-tahap tertentu dalam prosesnya menuju kondisi obyektif. Oleh karena itu, perjuangan demokrasi jangan lagi mempolarisasikan kekuatannya pada nuansa yang kental akan desktruktifisasi yang mudah dipolitisasi sebagai konflik horisontal. Namun lebih memilih wilayah yang menempatkan dirinya sebagai wilayah kesadaran merdeka. Kesadaran yang harus dibangun dalam waktu yang singkat sebab kesadaran merdeka adalah kekuatan yang membutuhkan perjuangan dalam pruralisme masyarakat Indonesia.
Walau dalam perjalanannya, beberapa wilayah hancur terbakar akibat dari pertarungan politik dan krisis ekonomi masih harus menunggu pemulihan kondisi keamanan namun demokrasi bukan suatu proses singkat yang mudah diraih melainkan suatu proses panjang yang menuntut kesabaran orang untuk menjalaninya dalam berbagai tantangan. Dan dalam hal ini sebagai kekuatan-kekuatan demokrasi, kekerasan yang bernuansa politis adalah budaya yang sama-sama perlu untuk dibenahi. Karena sejarah Indonesia telah mencatat bahwa peralihan kekuasaan dari Orde lama ke orde baru adalah catatan hitam sejarah Indonesia yang tidak patut diulang kembali.
Penulis adalah Alumnus ISTN Jakarta
dan anggota organisasi Pemuda Sosialis Jakarta


Dengan mendalamnya krisis Suharto
Masalah-masalah yang mendesak sedang dihadapi oleh rakyat Indonesia
Suharto telah memperpendek kunjungannya ke Mesir untuk pulang ke tanah air yang runtuh oleh protes massa dan kerusuhan. Dengan bertambahnya tuntutan untuk mengunduran diri yang berasal bukan hanya dari mahasiswa dan para buruh saja, tetapi juga dari bagian ekonomi golongan atas di dalam negeri dan pemimpin-pemimpin dari susunan modal internasional di luar negeri, kelanjutan dari kediktaktoran Suharto selama 32 tahun ini sedang dipertanyakan.
Tetapi ini tidak dapat disimpulkan bahwa Suharto akan merasakan keharusan untuk meletakkan jabatannya. Masih banyak kekhawatiran baik didalam borjuis internasional dan bisnis-bisnis di Indonesia maupun di dalam lingkaran militer akan pemecatannya, karena mereka masih tidak yakin bahwa mereka akan mendapatkan penggantinya.
Tetapi meskipun orang tegar yang sudah berusia 76 tahun ini akan pergi, keberangkatannya akan menandakan bahwa tantangan-tantangan politik yang dihadapi oleh rakyat Indonesia bukan malah akan berakhir tetapi baru saja dimulai. Terbentangnya pergejolakan sosial ini telah menimbulkan rantaian masalah-masalah yang sangat penting.
Pada dasarnya, dengan kegagalan (yang sering disebutkan sebagai) keajaiban ekonomik di Asia telah mengungkapkan ketidak-mampuan dari sistem keuntungan dan pasar modal untuk mencukupi kebutuhan pokok rakyat. Dalam analis terakhir, rejim Suharto dan pemerintahan yang lalim di negara-negara Asia yang lainnya adalah alat-alat politik yang digunakan oleh bank-bank internasional dan korporasi-korporasi dan pemerintah yang bersedia memberikan tawaran mereka untuk membangun hubungan-hubungan kapitalis di daerah itu.
Dengan meluasnya daerah-daerah yang dapat digunakan untuk membuat keuntungan, penggunaan kekayaan dari sumber-sumber natural dan pemerasan buruh-buruh yang dibayar dengan murah telah di perkembangkan. Berulang-ulang perluasan kapitalis sering dibangun diatas mayat-mayat yang menggunung – seperti setengah juta buruh yang dibunuh oleh Suharto dalam kudeta yang didukung oleh America Serikat pada tahun 1965-66 yang memberikan kesempatan kepada Suharto untuk mengambil kekuasaan.
Jika sekarang kekuatan imperialis yang sudah mendukung diktaktor itu selama tiga abad menoleh kearah yang lain, hal itu disebabkan karena mereka sudah kehilangan keyakinan akan kemampuannya untuk membayar pinjaman negara kepada bank-bank besar dan pemungut pinjaman untuk keuangan seluruh dunia, I.M.F (Dana Moneter Internasional). Kantor pemberitaan milik kapitalis mulai dari Washington, ke Bonn, ke Tokyo dan Sydney sedang dipenuhi oleh tanjuk rencana dan ulasan-ulasan yang memohon agar kaum militer Suharto bercampur tangan dengan mengambil pengendalian langsung atau memasang boneka yang dapat ditunjukkan sebagai pembawa reformasi demokrasi, hal itu akan lebih baik bagi kepentingan kapitalis, untuk menghancurkan bahaya sosial dari bawah dan memaksakan peraturan-peraturan ekonomi yang dituntut oleh I.M.F dan bank-bank internasional.
Menurut Koran New York Times , di dalam tanjuk rencananya pada tanggal 15 Mei berjudul "Sunset for President Suharto" (Matahari terbenam untuk Presiden Suharto), menyarankan bahwa sudah saatnya bagi kaum militer untuk mengambil tindakan ("…..mungkin tentara itu harus berbalik melawannya untuk memberhentikan penumpahan darah…"). Walaupun demikian tanjuk rencana itu menjelaskan bahwa keseganan koran Times kepada penumpahan darah itu adalah berdasarkan pemilihan. Dia menginginkan agar pembunuhan Mahasiswa-mahasiswa yang protes segera diberhentikan, paling tidak untuk sementara ini, dan seharusnya kekuatan penembak itu ditujukan kepada lapisan masyarakat yang miskin dan berani mati: "Kaum militer sebenarnya harus menolak penindasan protest damai itu and memusatkan perhatiannya untuk menghentikan perampokkan dan gerombolan kejahatan."
Dengan mengunakan hal itu sebagai dasar dia mendesak untuk penempatan pemerintah reformasi di Indonesia yang sebanding dengan Kim Dae Jung di Korea Selatan, seperti yang koran Times itu tunjukkan, " telah berhasil membujuk rakyat untuk menerima peraturan-peraturan yang tidak bisa dilaksanakan oleh pemegang jabatan sebelumnya.
Kaum buruh Indonesia, petani-petani miskin dan mahasiswa-mahasiswa harus memusatkan perhatian kepada resep yang diberikan oleh koran Times kepada tanah airnya. Hal ini akan membantu untuk mengusir khayalan di dalam kepalsuan demokrasi dari America Serikat dan melawan penyalah-tempatan kepercayaan di dalam borjuis oposisi Suharto.
Contoh-contoh yang diberikan oleh pemerintahan Kim Dae Jung telah membuktikan dengan tepat bahwa pengangkatan liberal burjois kekekuasaan – meskipun dengan surat-surat kepercayaan tertentu – tidaklah akan memecahkan masalah-masalah demokrasi dan kekurangan-kekurangan sosial yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Dengan sebaliknya, rejim yang seperti itu akan menjadi alat-alat baru untuk memaksakan perintah-perintah dari kapital internasional dan kepentingan-kepentingan pemeras-pemeras pribumi, sehingga jalan menuju ke arah penindasan berdarah yang baru tidak akan dapat dihindari.
Setiap partai burjuis dan politikus di Indonesia sudah dicemari bukan saja dengan sebuah sejarah kerjasama dengan Suharto, tetapi juga oleh ketegantungan yang objektif pada biro-biro peminjaman dari kapitalisme. Mereka tidak berbicara untuk kaum buruh dan orang-orang yang tertindas, tetapi malah untuk golongan atas yang berpikiran sempit, yang kedudukan istimewanya berdasarkan atas pemerasan buruh-buruh, dan didukung oleh korporasi-korporasi yang dapat berpindah dari satu negara ke negara lainnya dengan mudah dan pemerintah imperialisme.
Gerakan mahasiswa yang besar harus mempertahankan kemandirian politik yang lengkap jauh dari perwakilan burjuis Indonesia. Jangan menaruh kepercayaan kepada tokoh seperti Amien Rais, pemimpin dari organisasi Islam yang terbesar di Indonesia atau Megawati Sukarnoputri, anak perempuan Sukarno yang memegang jabatan sebelum Suharto.
Megawati Sukarnoputri banyak disamakan dengan Corazon Aquino, tokoh reformasi burjuis yang dipergunakan oleh America Serikat untuk mengantikan rejim Marcos di Filipina dua belas tahun yang lalu. Tidak ada seorangpun yang harus mempunyai khayalan bahwa Aquino dan pergerakan "people’s power" telah menolong pembebasan rakyat Filipina dari penguasa imperialis, pemerasan atau kemiskinan. Sebaliknya, peranan mereka yang terpenting adalah untuk mempertahankan kedudukan dan menopang kepentingan-kepentingan dari kapital internasional, dibawah keadaan dimana Marcos sudah tidak dipercayai sehingga dia tidak dapat lagi menjalankannya.
Lebih dari itu, Aquino naik kekekuasaan ketika ekonomi di Asia Selatan sedang mencapai titik kemajuan yang tinggi. Seorang Megawati atau Amien Rais akan naik kekekuasaan di Indonesia dalam situasi-situasi yang sebaliknya – di tengah-tengah kehancuran ekonomi. Mereka akan mempunyai ruangan yang sempit untuk mempersiapkan siasat, dan pada akhirnya kepalsuan demokrasi mereka akan segera membuka jalan untuk pemaksaan politik-politik kekerasan dan peraturan-peraturan militer-polisi akan dibutuhkan untuk melaksanakannya.
Kekuatan sosial yang mahasiswa-mahasiswa harus berkisar dalam perjuangan untuk melawan pemerintahan diktaktor dan kekurangan-kekurangan sosial adalah kaum buruh yang jumlah dan kekuatan sosialnya sudah tumbuh dengan cepat lebih dari seperempat abad yang lalu.
Apakah yang kemudian harus menjadi tugas-tugas utama yang dihadapi oleh rakyat Indonesia? Sebuah rangkaian yang menyeluruh dari demokrasi dan masalah-masalah sosial yang saling berhubungan masih berdiri untuk diuraikan. Masalah-masalah yang paling dasar dari hak-hak atas demokrasi-kebebasan untuk berbicara dan berserikat, kebebasan untuk penyebaran berita, pemerintahan demokrasi yang sejati tidak dapat diuraikan secara tersendiri dari masalah-masalah sosial yang besar- pemberantasan kemiskinan, pengangguran, buta huruf. Dan tidak ada penguraian yang sejati dan maju untuk masalah social yang besar ini, tanpa perebutan segala bentuk hak-hak istimewa dari golongan atas dan perjuangan, baik untuk sosial maupun politik persamaan (equality). Akhirnya, perjuangan untuk demokrasi dan persamaan adalah pertarungan untuk melawan imperialisme penguasaan dan wakil-wakilnya di Indonesia.
Bersama dengan tuntutan untuk hak-hak atas demokrasi yang penuh, gerakan-gerakan rakyat harus menegakkan tuntutan-tuntutan sosial dan ekonomi yang tidak akan tercapai tanpa adanya demokrasi yang sejati dan keadaan hidup yang pantas. Itu akan termasuk:
• penolakkan akan pinjaman-pinjaman nasional yaitu cara-cara yang mana digunakan dengan bank-bank imperialis untuk mempertahankan pencekikannya kepada Indonesia ekonomi dan penyedotan keuntungan yang sangat besar dari pemerasan kepada para buruh.
• Penyitaan bank-bank besar and industri-industri yang dikuasai oleh keluarga Suharto dan antek-anteknya, dan perubahannya sebagai milik umum dibawah kontrol yang demokrasi dari para buruh.
Untuk membuat tuntutan-tuntutan ini menjadi kenyataan, kaum buruh harus mendirikan susunan-susunan yang demokrasi dan mandiri untuk penguasaan politik. Berdasarkan dengan pabrik-pabrik, tempat-tempat pekerjaan dan lapangan-lapangan pekerjaan di pedesaan, para buruh harus berusaha untuk mendirikan dewan-dewan buruh, untuk membuat dasar-dasar umum bagi pemerintahan oleh kaum buruh
Peristiwa-peristiwa di dalam beberapa tahun terakhir ini di Asia menunjukkan bahwa hal-hal dasar yang sama yang sedang dihadapi oleh para buruh dan rakyat jelata di Indonesia sebenarnya juga dihadapi oleh kakak dan adiknya di Thailand, Korea, Malasia, dan Cina, dan juga yang lama-lama menjadi terang adalah Jepang. Kaum buruh di Indonesia harus mengambil kepemimpinan dalam mendirikan perjuangan yang bersatu dengan para buruh di seluruh Asia.
Peristiwa-peristiwa di Indonesia telah menunjukkan dengan ledakan yang dashyat bahwa para buruh di seluruh dunia sedang memasuki sebuah masa revolusi yang baru. Tugas-tugas yang terpenting,dimana nasib dari masyarakat dunia akan bergantung adalah pendirian partai revolusi internasional. Partai ini telah dibuktikan di dalam komite International dari International keempat (International Committee of the Fourth International) yang pusat dari alat politiknya adalah World Socialist Web Site.
See Also:
Which social classes support the struggle for democracy in Indonesia?
The lessons of history
[20 May 1998 Also in German and Indonesian]


EKONOMI PASAR SOSIAL
Theophilus Bela
Sekum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ)
Sejak lengsernya Soeharto 3 tahun yang lalu dan negara Indonesia telah memasuki era baru era reformasi dan demokratisasi. Dengan era baru ini bangsa kita menjadi lebih terbuka terhadap arus informasi dan komunikasi dalam rangka gerakan besar yang disebut globalisasi. Apabila kita memasuki toko-toko buku dan perpustakaan pada hari-hari ini maka mata kita akan menemukan beragam macam buku yang menawarkan berbagai pemikiran dan gagasan tentang cara bagaimana mengelola perekonomian sebuah negara atau masyarakat.
Ada pemikiran Marx, ada pemikiran Anthony Giddens, Presiden Cardosso dari Brasilia dan Presiden Fox dari Mexiko, dsbnya. Yang kita temui dalam belantika kepustakaan mengenai sistem ekonomi yang ditawarkan kepada publik. Terasa sekali bahwa bangsa kita telah terkekang dalam situasi kebebasan berpikirnya selama lebih dari 40 tahun lamanya dan kita sedang mencari sistem ekonomi yang dapat mencapai cita-cita bangsa menuju “masyarakat adil dan makmur”. Sudah sejak sebelum mencapai kemerdekaan bangsa kita melalui para pemimpinnya telah mencita-citakan sebuah masyarakat yang adil dan makmur. Namun sayangnya cita-cita itu hingga kini tetap saja belum terwujud. Oleh adanya krisis keuangan dan moneter yang menimpa negara kita maka cita-cita tersebut bagi puluhan juta rakyat kita telah sirna sama sekali. Puluhan juta rakyat Indonesia telah terjerumus kembali ke lembah kemiskinan karena krisis perbankan, ribuan perusahaan gulung tikar, telah terjadi pengangguran massal, beban utang luar negeri yang berat sekali dan harga-harga kebutuhan pokok selalu melambung tinggi.
Dalam keadaan semacam ini, kita harus dengan sungguh-sungguh mencari jalan keluar pemecahan masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya yang melilit bangsa kita. Kita harus dengan senantiasa mencari jalan keluar untuk menghantar bangsa kita keluar dari kemiskinan dan ketidakadilan serta keterbelakangan. Dalam rangka kegiatan untuk menyelamatkan bangsa berikut ini disajikan sebuah pembahasan tentang sistem ekonomi pasar sosial, yang telah lebih dari 50 tahun dijalankan di Jerman.
1. Apa itu ekonomi pasar sosial ?
Ekonomi pasar sosial bukanlah hanya sebuah utopi namun sejak lebih dari 50 tahun terakhir ini telah menjadi sebuah kenyataan di Jerman. Sistem ekonomi pasar sosial telah diperkenalkan oleh Prof. Ludwig Erhard secara berani diwilayah Jerman Barat pada tahun 1948 pada saat diadakan pergantian mata uang Jerman. Dikatakan berani karena pada saat memperkenalkan sistem ekonomi pasar sosial Erhard berani melawan kehendak negara-negara sekutu yang waktu itu masih menduduki dan menguasai Jerman. Pihak sekutu sebenarnya ingin melanjutkan sistem ekonomi dengan perencanaan pusat yang merupakan warisan pemerintahan NAZI Hitler .
Tata ekonomi baru yang secara berani dijalankan oleh Ludwig Erhard bukanlah sebuah inspirasi seorang politisi yang timbul secara kebetulan. Sistem tersebut merupakan hasil usaha penelaahan konseptual panjang yang dijalankan oleh Prof. Erhard dan beberapa professor Jerman lainnya. Konsepsi ekonomi tersebut merupakan hasil kerjasama antara para ahli ekonomi dan hukum secara bersama. Para ahli tersebut antara lain ialah Walter Eucken dan Franz Boehm (universitas Freiburg), Wilhelm Roepke (universitas Genewa) dan Alexander Ruestow (universitas Istambul dan kemudian universitas Heidelberg) serta yang terakhir ialah Alfred Mueller-Armack (universitas Muenster dan Koeln). Mueller-Armack-lah yang akhirnya mempopulerkan istilah ekonomi pasar sosial. Semua sarjana ini pernah hidup dialam ekonomi terpimpin atau sistem ekonomi yang direncanakan secara pusat dari pemerintah NAZI Adolf Hitler dan mereka meneliti atau mengadakan studi yang mendalam mengenai sistem tersebut .Namun sebelumnya mereka juga mengalami sistem ekonomi “Laissez-faire” atau ekonomi liberal, yang sama sekali tidak berdaya menghadapi kaum monopolis dan kegiatan-kegiatan yang membatasi persaingan dan akhirnya terjerumus kedalam langkah-langkah kebijakan ekonomi yang intervensionistis yang tidak sistematis dan tidak berhasil .
Dari pengalaman-pengalaman dengan kedua sistem tersebut di Jerman maka para pakar tadi akhirnya menyusun konsep ekonomi pasar sosial. Mereka menyusun sebuah program ekonomi neo-liberal dengan tujuan untuk mencapai sebuah tata ekonomi yang bebas berperikemanusiaan dan efisien. Konsep ekonomi ini menolak Laissez-faire, sistem ekonomi dengan perencaan pusat maupun sistem intervensi yang hantam kromo dengan tanpa konsep yang jelas. Konsep ekonomi baru tersebut mereka namakan “ekonomi pasar sosial”. Sistem tersebut yang pada mulanya masih terdengar sedikit aneh dapatlah diklasifikasikan sebagai sebuah program ekonomi baru yang berlandaskan ekonomi pasar dan yang secara sadar memperhatikan masalah-masalah sosial.
2. Konsep teoretis mengenai ekonomi pasar sosial
Tujuan dari sistem tersebut ialah kebebasan ekonomi dan keadilan sosial. Kebebasan dari setiap warga pelaku ekonomi dalam sebuah negara hukum-yang merupakan bagian dari kebebasan politik-merupakan penggerak utama dari program, yang dirancang oleh founding fathers ekonomi pasar sosial. Mereka telah mengalami sendiri bahwa kebebasan dan kemerdekaan setiap individu tidak saja ditindas oleh sistem ekonomi dengan perencanaan pusat tetapi juga oleh sistem Laissez-faire. Kebebasan itu dirusak apabila negara atau masyarakat memiliki kekuasaan mutlak atau juga apabila seseorang atau sebuah perusahaan mempunyai kebebasan mutlak.
Tata ekonomi pasar sosial harus melindungi kebebasan warganegara terhadap dua pihak yaitu terhadap kesewenang-wenangan dari pihak negara namun juga terhadap kesewenang-wenangan yang dibuat oleh individu-individu lain atau perusahaan-perusahaan lain.
Para konseptor ekonomi pasar sosial yakin bahwa sebuah tata ekonomi yang berjalan lancar dan manusiawi tidak muncul secara kebetulan namun dia membutuhkan tata-tertib perekonomian yang baik. Walter Eucken mengatakan bahwa penyusunan tata-tertib perekonomian bukan saja merupakan tugas yang legitimate tetapi malah merupakan kewajiban yang mutlak perlu dari negara.
Tata ekonomi pasar sosial bukanlah sekedar ekonomi pasar yang biasa saja. Namun ekonomi pasar sosial merupakan bingkaian pengaturan pasar yang berintegrasi dengan elemen-elemen sosial. Agak sulit untuk mendefinisikan ekonomi pasar sosial secara ringkas. Namun Mueller Armarck mengatakan: “Makna utama dari ekonomi pasar sosial ialah mengkombinasikan kebebasan pasar dengan keadilan sosial” (1974, hal. 163). Dalam sebuah tulisannya kemudian beliau melukiskan bahwa “ekonomi pasar sosial merupakan sebuah usaha untuk membangun sebuah sintesa yang sungguh-sungguh antar pasar dan jaringan sosial dimana kemampuan dan kekuatan pasar menanggung program jaminan sosial dan sebaliknya jaminan sosial menjamin keberhasilan dan kelanjutan dari kekuatan-kekuatan pasar” (1976, hal 243).
Pasar sebagai dasar dari sistem
Pada saat konsep ekonomi pasar sosial sedang digagas, yaitu pada tahun-tahun pertama setelah perang dunia II usai keadaan di Jerman ditandai oleh berlakunya ekonomi terpimpin yang kacau balau dan kemiskinan yang sangat memprihatinkan. Pendapat umum yang beredar pada waktu itu ialah apabila diadakan penyempurnaan pada sistem ekonomi terpimpin maka keadaan yang jelek itu akan diperbaiki. Terhadap anggapan umum ini para penggagas ekonomi pasar sosial menjawab bahwa dasar dari konsep mereka ialah PASAR. Berkali-kali mereka menyatakan, bahwa bukan dengan perencanaan yang terpusat oleh negara tetapi hanya melalui proses pasar setiap orang memperoleh kemerdekaan dan kemandirian dan sekaligus akan mendapatkan hasil ekonomi yang lebih baik. “Yang terutama ialah bahwa mekanisme harga diberi keleluasaan”, demikian Eucken (1959, hal 160).
Jadi pada waktu permulaan diperkenalkannya ekonomi pasar sosial yang terutama dipikirkan ialah bagaimana menciptakan dan menghidupkan pasar bebas. Hal-hal mengenai “komponen sosial” belum terlalu dipikirkan, (ini terjadi di Jerman tahun 1948-1950). Karena penggagas ekonomi pasar sosial selalu menekankan pasar bebas maka para pengritik menuduh bahwa mereka ingin memberlakukan lagi sistem Laissez-faire dari abad ke-19.
Yang membedakan konsep ekonomi pasar sosial dengan sistem Laissez-faire ialah bahwa dalam sistem baru ini negara tidak lepas tangan dari kebijaksanaan ekonomi. Dalam sistem ekonomi pasar sosial negara mendapat tugas baru yaitu kewajiban menata kebijaksanaan ekonomi (Ordnungspolitik).
Kebijakan Menata Ekonomi: Negara menata tata tertib ekonomi
Harus dibedakan antara tata tertib ekonomi dan proses ekonomi. Yang dimaksud dengan tata tertib ekonomi ialah UU dan peraturan serta institusi-institusi yang diperlukan untuk mengatur kegiatan-kegiatan ekonomi swasta yang legal. Sedangkan yang dimaksud dengan proses ekonomi ialah semua kegiatan bisnis nyata yang dijalankan oleh para pelaku ekonomi swasta seperti: membeli, menjual, investasi, membuat segala macam kontrak atau perjanjian. Ekonomi pasar sosial sangat berbeda baik dengan sistem Laissez-faire maupun dengan sistem ekonomi terpusat pada negara (ekonomi terpimpin).
Dalam sistem ekonomi terpimpin semuanya ditentukan oleh negara baik tata tertib ekonomi maupun proses ekonomi sehari-hari. Sedangkan dalam sistem Laissez-faire pihak negara sama sekali tidak berurusan dengan tata tertib ekonomi maupun proses ekonomi. Sebaliknya dalam ekonomi pasar sosial pihak negara bertugas menata tata tertib perekonomian. Sedangkan kegiatan ekonomi sehari-hari dibiarkan menjadi urusan para subjek ekonomi swasta dan tidak secara langsung dipengaruhi oleh negara.
Jadi negara tidak boleh menjauhkan diri dari urusan ekonomi. Yang harus dibuat negara ialah apa yang menjadi tugasnya serta tugas itu harus dijalankan secara wajar. Jadi negara tidak boleh tampil sebagai pengusaha atau produsen, juga negara tidak boleh mendikte para pengusaha tentang apa yang harus diproduksi dan untuk siapa mereka memproduksi. Namun tugas pokok negara ialah secara konsisten menata tata tertib ekonomi dan mengawasi pentaatannya sesuai sistem politik yang demokratis.
Kebijakan menata tata tertib ekonomi merupakan tugas utama negara. Negara berkewajiban menyusun “aturan main” untuk kegiatan ekonomi melalui undang-undang yang terkait dan negara berkewajiban untuk menjaga agar para pelaku ekonomi mentaati dan bukannya melanggar aturan main tadi. Untuk tugas negara tersebut perlu kerja sama yang erat antara pakar ekonomi dan ahli hukum.
Tata tertib ekonomi dan tata tertib hukum harus harmonis satu sama lain dan sesuai dengan sistem politik negara yang demokratis. Kebijakan ekonomi negara harus serasi dengan tata tertib di bidang lain. Hal lain yang juga amat penting ialah bahwa tujuan dari ekonomi pasar sosial bukan hanya sekedar begitu saja menciptakan ekonomi pasar dan menjamin kelangsungannya namun yang akan diciptakan ialah sebuah ekonomi pasar yang khusus untuk mengatur tata persaingan bagi proses pasar. Menjaga persaingan bebas merupakan salah satu tugas terpenting dari negara di bidang ekonomi. Eucken membagi elemen-elemen penting untuk tata tertib persaingan dalam beberapa “prinsip-prinsip konstitututip” dan “prinsip-prinsip pengaturan”.
Kebijakan tata ekonomi harus menjamin prinsip-prinsip konstitutip yaitu: stabilitas mata uang, kebebasan memasuki pasar, hak milik pribadi, kebebasan membuat perjanjian, menanggung resiko dan kepastian politik ekonomi.
Kebijakan stabilisasi dan Aturan bagi “Intervensi Liberal”
Para penggagas ekonomi pasar sosial menuntut diutamakannya penataan tata tertib ekonomi. Apabila penataan dikerjakan dengan baik maka intervensi untuk stabilisasi tidak perlu sama sekali. Namun kegiatan negara tidak boleh hanya dibatasi pada urusan menata ekonomi saja. Eucken menambahkannya dengan “prinsip-prinsip yang mengatur” guna mencapai persaingan yang berjalan dengan baik. Prinsip-prinsip yang mengatur tersebut termasuk kebijakan anti monopoli, politik dibidang sosial dan kebijakan stabilisasi atau politik konjunktur, yang dibutuhkan untuk menghindari ekses-ekses atau ketimpangan ekonomi dan dengan demikian merupakan tambahan bagi kebijakan tata ekonomi. Mueller-Armack dan Roepke menekankan hal ini, bahkan keduanya secara dini yakni pada tahun 1950-an telah mengemukakan pentingnya kebijakan negara dibidang perlindungan lingkungan.
Kebijakan stabilisasi proses ekonomi tidak boleh diartikan sebagai kebebasan negara untuk mengadakan intervensi atau campur tangan yang semena-mena. Karena hal ini ditentang oleh semua penggagas ekonomi pasar sosial. Maka dari itu dibuatlah prinsip-prinsip umum bagi pengaturan intervensi negara. Roepke memberikan formulasi sebagai di bawah ini:
1. Intervensi-intervensi dalam proses pasar harus menunjang kekuatan-kekuatan pasar dan bukan malah merusaknya. Contoh: Subsidi untuk mempertahankan hidup sebuah perusahaan ditolak, namun subsidi untuk penyesuaian struktur dibenarkan (prinsip-konformitas sistem).
2. Intervensi yang sesuai dengan mekanisme pasar harus dimenangkan terhadap intervensi yang mengganggu mekanisme pasar dan intervensi yang melumpuhkan sistem harga (prinsip konformitas pasar) (Roepke 1981, hal 229 dst.)
“Pasar Sosial” dan pembagian sosial dari hasil-hasil pasar
Sekarang kita ajukan pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan “komponen-komponen sosial “ dari ekonomi pasar sosial? Apakah yang dimaksud itu “pasarnya yang sosial” atau pembagian penghasilan atau pendapatan, yang dihasilkan dalam proses pasar?
Para Bapak ekonomi pasar social menekankan kedua aspek itu. Mereka mengatakan bahwa ekonomi pasar itu secara intrinsic bersifat “sosial” bila dibandingkan dengan ekonomi terpimpin dari pusat. Karena ekonomi pasar meningkatkan produktivitas, dengan demikian “kue” yang dihasilkan untuk dibagi-bagikan juga menjadi lebih besar. Juga ekonomi pasar memberi kemerdekaan dan kebebasan dan banyak alternatip untuk dipilih bukan saja bagi para pengusaha tapi juga untuk kaum buruh dan konsumen.
Apabila orang berhasil mengganti sistem ekonomi terpimpin menjadi ekonomi pasar, maka hal itu sudah merupakan sumbangan yang penting untuk penyelesaian “masalah sosial yang baru”. Eucken mendefinisikan “masalah sosial yang baru” dalam abad ke-20 sebagai berikut :”Si buruh-dan bukan saja si buruh-menjadi tergantung pada mesin birokrasi negara dan institusi-institusi publik yang lain” (1981, hal. 331).
Prof. Ludwig Erhard (yang kemudian menjadi menteri ekonomi Jerman) pada tahun 1948 dengan penuh emosi melukiskan ketergantungan pada negara dalam sistem ekonomi terpimpin sebagai berikut: “Siapa yang sekarang berani membantah bahwa dalam sistem ekonomi paksa yang kini kita hadapi ….. baik di bidang produksi maupun di bidang konsumsi bahwa kaum lemah dan miskinlah yang paling menderita, dan bahwa kelompok sosial inilah dari bangsa kita yang paling membenci sistem itu, karena dia telah menindas dan membuat mereka berputus asa” (1981, hal.40). Orang-orang dari bekas Jerman Timur akan setuju dengan penilaian diatas terhadap sistem ekonomi terpimpin.
Keunggulan sosial ekonomi pasar atas ekonomi terpimpin akan makin besar apabila persaingan dijalankan dengan berhasil. Tidak cukup apabila orang hanya berhasil membebaskan manusia dari penghisapan oleh mesin negara. Harus juga dihindari bahwa ada kekuatan ekonomi swasta yang mengexploitir (menghisap) anggota masyarakat lainnya. Kebijakan persaingan yang menghapus rintangan masuk ke pasar, kartel serta pembatasan-pembatasan persaingan lainnya, merupakan hal yang penting dipandang dari segi sosial.
Konsep ekonomi pasar sosial tidak saja mengacu pada keuntungan “sosial” yang inherent dari sistem ekonomi pasar yang efisien. Dia juga mengharuskan adanya suatu politik/ kebijakan sosial negara dalam arti sempit yaitu pembagian ulang pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi di pasar (perbedaan kata Jerman “Verteilung” dan “Umverteilung”). Umverteilung itu membagi setelah memungut pajak.
Pada saat usai perang dunia II di Jerman ada banyak sekali orang yang menderita kesengsaraan, maka kebijakan ekonomi juga tertuju pada usaha meringankan beban masyarakat tersebut (di Indonesia bagaimana?). Bantuan subsidi bagi keluarga miskin serta bantuan-bantuan sosial lainnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem ekonomi pasar sosial. Dan prinsip dasar keadilan sosial ini berlaku terus hingga kini, disaat penderitaan rakyat Jerman ditahun-tahun pertama setelah perang sudah diatasi sama sekali.
Namun yang harus dicamkan sekali lagi ialah bahwa dalam konsep ekonomi pasar sosial unsur yang dominan atau terutama ialah ekonomi pasar. Kebijakan sosial baru menyusul pada langkah yang kedua. Mula-mula kemakmuran harus dicapai secara efisien baru setelah itu orang dapat membaginya. Kebijakan sosial dibutuhkan untuk menutup “celah” yang ditinggalkan oleh proses ekonomi, untuk memberi bantuan bagi kaum yang lemah, namun subsidi negara tidak boleh dihamburkan secara sembrono.
Konsep ekonomi pasar sosial tidak menghendaki terciptanya sebuah “welfare state” yang sempurna karena dengan demikian inisiatip orang perorangan dihalangi, ekonomi bekerja tidak efisien dan “sistem Skandinavia” itu juga tidak sosial/adil. Hal ini sering dilupakan dimasa ini, juga dalam diskusi mengenai dipertahankannya “puncak-puncak keberhasilan sosialisme” di Jerman bagian Timur.
Satu hal yang penting sehubungan dengan kebijakan sosial ialah sebagai berikut. Dalam hal ini orang tidak boleh lupa pada prinsip keserasian dengan hukum pasar. Kebijakan pencarian keadilan (politik sosial) dengan memperbaiki hasil-hasil proses pasar melalui pengenaan pajak dan pembagian ulang pendapatan oleh negara harus dilakukan pada akhir proses tersebut (Kue harus dibikin dulu lalu dibagi-bagi). Namun politik sosial tidak boleh mematikan ekonomi pasar melalui intervensi langsung pada mekanisme harga seperti menentukan upah minimum, tarif sewa rumah tertinggi atau kebijakan penetapan harga secara birokratis lainnya (contoh tarif listrik, telepon dan harga bensin). Sejak dari permulaan (1947) Mueller-Armack telah menekankan prinsip ini secara gamblang sebagai berikut: “Tujuan utama ialah terciptanya ekonomi pasar yang bebas dengan dilengkapi oleh usaha-usaha pengamanan sosial, yang harmonis pula dengan ekonomi pasar itu sendiri” (1947, hal 84).
3. Ekonomi pasar sosial dalam praktek politik: Arti prinsip dan bahaya dari sistem terbuka
Konsep teori tentang ekonomi pasar sosial tidak pernah dirumuskan secara terperinci Erhard dan Mueller-Armack merumuskan ekonomi pasar sosial sebagai suatu sistem yang terbuka. Sesuai dengan situasi dan kondisi tekanan dapat berubah-ubah, harus dijaga bahwa perubahan-perubahan dan tambahan dapat saja di buat. Namun prinsip-prinsip dasar dari sistem atau “essentials” harus tetap dipertahankan. Prinsip-prinsip dasar ini sering dijumpai dibanyak diskusi tentang sistem ekonomi Jerman. Namun hal itu dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Pasar harus secara bebas menuntun keputusan-keputusan ekonomi. Jadi bukan oleh sistem perencanaan yang terpusat.
2. Melindungi persaingan bebas adalah tugas utama negara.
3. Akses kepasar harus selalu terbuka, juga bagi pelaku bisnis asing.
4. Penataan tata tertib ekonomi adalah lebih penting daripada intervensi pada proses pasar.
5. Dalam melakukan intervensi maka prinsip keserasian sistem dan keserasian pasar harus tetap dijaga.
6. Kebijakan sosial (keadilan) tidak boleh dicapai dengan intervensi pada proses pasar, namun harus dicapai melalui pembagian hasil dari proses pasar.
Daftar katalog prinsip dasar diatas dipakai sebagai panduan atau “blue print” guna mengukur atau menguji setiap kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah. Hal ini dapat dilakukan oleh pers, pakar ekonomi penasehat pemerintah Jerman, oleh bank sentral yang mandiri dan oleh Direktorat Prinsip Dasar dari Kementerian Ekonomi Jerman.
Walaupun ada daftar katalog tersebut namun dalam kenyataannya ada saja kebijakan ekonomi yang tidak sesuai dengan teori ekonomi pasar sosial. Sebagai contoh dari penyimpangan tersebut dapatlah disebutkan bantuan dan penetapan harga yang diberikan pada industri batubara dan baja pada tahun 1950-an, pengaturan pasar modal, kebijakan disektor perumahan dan pertanian Jerman dan pasar bersama Eropa serta peningkatan bagian negara pada produk nasional Jerman ditahun 1970-an. Namun telah 50 tahun hingga kini prinsip-prinsip dasar ekonomi pasar sosial ini umumnya telah berfungsi dengan baik sebagai alat penilai. Pemerintah Jerman dipaksa untuk memberi penjelasan mengapa tidak mentaati dengan baik prinsip-prinsip ekonomi pasar sosial, apabila kebijakan ekonominya menyimpang.
Pihak yang mengkritik kebijakan pemerintah dapat berpegang pada ajaran ekonomi pasar sosial dan menuntut pemerintah supaya kembali ke prinsip-prinsip tadi, walaupun tidak selamanya berhasil. Namun peran prinsip-prinsip dasar ekonomi pasar sosial dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat diabaikan begitu saja. Politik ekonomi pemerintah Jerman cukup lama berjalan sesuai dengan ajaran ekonomi pasar sosial, terutama disaat Menteri Ekonomi Erhard dan Sekretaris Negara Mueller-Armack memegang kendali kebijakan. Selama tahun 1950-an dan paruh pertama tahun 1960-an fungsi penataan kebijakan ekonomi (Ordnungspolitik) berada diurutan utama. Sebagai contoh dikemukakan pemberlakuan UU anti monopoli dan keengganan pemerintah dalam mengendalikan permintaan pasar.
Walaupun Erhard dan Mueller-Armack berlatar belakang sebagai pakar di bidang politik konjunktor, namun sedikit sekali kebijakan diambil dibidang itu, yang terutama berlandaskan pada politik moneter. Erhard sedikit sekali menggunakan kebijakan itu karena dia lebih mengandalkan “moral suasion” dari pada mengambil langkah-langkah moneter tertentu. Erhard dan Mueller-Armack juga membawa sistem ekonomi pasar sosial kemasyarakat Uni-Eropa sehingga membuat Jerman hingga kini berperan sebagai “Pelindung Ekonomi Pasar” dalam asosiasi regional tersebut.
Secara keseluruhan dapatlah disebutkan bahwa Erhard dalam prakteknya menjalankan kebijakan ekonomi sedemikian rupa dengan mengusahakan negara berfungsi sebagai “wasit yang tidak memihak”, yang menentukan aturan main dan hanya pada keadaan yang luar biasa baru mengadakan intervensi. Setiap tekanan dari kelompok kepentingan agar negara melakukan intervensi sesuai selera mereka selalu ditolak Erhard. Dalam hal ini prinsip-prinsip ekonomi pasar sosial berfungsi seperti peraturan-peraturan perdagangan GATT yakni mendukung pemerintah agar bersikap tegas terhadap desakan dari kelompok kepentingan yang menuntut perlindugan terhadap persaingan bebas. Namun Erhard dan terutama lagi para penggantinya terpaksa menyadari bahwa dalam sebuah negara dengan sistem demokrasi perwakilan adalah sangat sulit untuk merealisasikan cita-cita sebuah negara “yang kuat dan tidak memihak” sebagaimana digariskan oleh ekonomi pasar sosial, (Dalam hal ini para penggagas konsep ekonomi pasar sosial sering dikritik sebagai “orang buta secara sosiologis”).
Dalam kenyataan harus diakui bahwa negara atau kebijakan ekonomi sama sekali tidak bebas dari pengaruh kelompok kepentingan, yang menggunakan segala cara yang dihalalkan oleh sistem demokrasi perwakilan. Justru karena sifat ekonomi pasar sosial yang “terbuka” itulah maka pihak kelompok kepentingan memanfaatkannya untuk menarik dukungan negara (terutama finansial) bagi kepentingan golongannya.
Perlu dicatat bahwa sistem ekonomi pasar sosial bukan hanya terdiri atas prinsip-prinsip yang tegas. Dia juga mengenal pengecualian-pengecualian dari prinsip tadi (walaupun tidak sebanyak seperti pada GAAT). Kebijakan menata tata tertib ekonomi menduduki tempat utama, namun dalam situasi perekonomian tertentu negara dapat juga menjalankan kebijakan pengendalian permintaan pasar (malah negara harus melakukan hal tersebut). Intervensi negara secara apriori tidak dilarang. Untuk situasi tertentu intervensi diperlukan, walaupun harus dilakukan secara berhati-hati. Juga intervensi yang tidak serasi dengan hukum pasar pada kenyataannya dijalankan dalam keadaan sulit. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pihak-pihak yang mewakili kelompok kepentingan selalu berusaha sekuat tenaga untuk mencapai cita-citanya dengan mengemukakan bahwa golongan mereka sungguh berada dalam posisi “terjepit”.
Yang mengherankan ialah bahwa ancaman terhadap sistem ekonomi pasar sosial tidak berasal dari jajaran birokrasi negara Jerman. Malah pembela utamanya ialah pegawai negeri yang bekerja di kementerian perekonomian. Mereka selalu menangkis serangan dari pihak kelompok kepentingan dan selalu berjuang mempertahankan prinsip-prinsip ekonomi pasar sosial dan dalam hal ini para pejabat itu mencari dukungan dari dunia pers dan perguruan tinggi. Para pejabat kementerian menyadari bahwa bahaya “keterbukaan “ sistem ekonomi pasar sosial hanya dapat dihindari apabila mereka tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip tadi. Oleh karena itu para pejabat departemen ekonomi Jerman sering dicap bersifat dogmatis. Serangan itu berasal dari pihak kelompok kepentingan (lobby) yang sebenarnya menghendaki bahwa negara menjalankan kebijakan ekonomi secara pragmatis tanpa prinsip.
4. Pelaksanaan ekonomi pasar sosial oleh kekuatan-kekuatan politik Antara konfrontasi dan konvergensi
Mueller-Armack pernah menyatakan bahwa ekonomi pasar sosial merupakan “formula yang irenis” yakni prinsip yang membawa damai, yang dapat menyeimbangkan kepentingan berbagai kelompok masyarakat dan kekuatan politik. Hal ini disebabkan karena sistem ekonomi pasar sosial sifatnya “terbuka”. Dalam kenyataan sistem terbuka tersebut membuat ekonomi pasar diterima semua orang.
Ekonomi pasar sosial tidak memberikan peraturan-peraturan yang kaku tetapi sistem itu berlangsung secara “terbuka” dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Hal inilah yang membuat sistem ekonomi pasar sosial dapat diterima oleh berbagai kekuatan masyarakat atau partai politik. Keterbukaan sistem ekonomi tersebut memberi peluang bagi masing-masing kekuatan politik untuk menitik beratkan perhatiannya pada salah satu aspek dari sistem tersebut. Sistem ekonomi pasar sosial dalam kenyataannya memberikan garis-garis umum kebijakan yang dapat memungkinkan tiap orang untuk membuat interpretasi sendiri.
Di Jerman telah terjadi kesesuaian paham tentang ekonomi pasar sosial baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pelaksanaan. Namun hal ini tidak merobah sistem secara keseluruhan. Pengintegrasian berbagai kekuatan politik dalam sistem ekonomi pasar sosial telah menggeser tekanan dari prinsip-prinsip tegas beralih kepemberian pengecualian-pengecualian seperti disebutkan diatas tadi (Hal yang sama juga terjadi dalam organisasi masyarakat Eropa). Setelah 25 tahun konvergensi politik di Jerman maka banyak aspek dari sistem ekonomi negeri itu berubah dari konsep awal. Prinsip-prinsip “konstitutif” yang sangat dijunjung tinggi para pendiri ekonomi pasar sosial telah terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan ekonomi masa kini. Perkembangan ini dapat dilukiskan sebagai berikut.
Pada saat Ludwig Erhard memperkenalkan sistem ekonomi pasar sosial sebagai kebijakan ekonomi tahun 1948 secara politis dia hanya mendapat dukungan kecil bangsa Jerman. Malah partai Erhard sendiri yaitu Partai Kristen Demokrat (PKD) tidak sepenuhnya mendukung konsep ekonomi pasar sosial. Waktu itu bagian besar PKD menganut paham “anti kapitalis” berarti menentang sistem ekonomi pasar. Kelompok ini mendukung “perjuangan kekaryaan” (perjuangan kaum fungsional) atau malah mengiktiarkan experimen-experimen sosialistis seperti nasionalisasi industri batubara dan baja serta perbankan. Kaum liberal dari partai FDP mendukung Erhard namun lebih mementingkan ekonomi pasar “bebas” dan enggan terhadap unsur “sosial” di dalamnya.
Kaum sosialis dari partai SPD pada saat itu dengan tegas menentang ekonomi pasar sosial. Mereka saat itu masih teguh memegang tradisi marxis serta menuntut sistem perencanaan ekonomi yang menyeluruh, sistem penjatahan (sistem kupon) dan pengawasan harga serta nasionalisasi “industri strategis”. Serikat buruh Jerman waktu itu juga bercita-cita sama dengan partai SPD. Tahun 1949 serikat buruh menerbitkan program kerja yang disebut manifesto sosialisme, walaupun dalam organisasi itu bergabung juga organisasi buruh Kristen.
Jadi pada saat dimulainya ekonomi pasar sosial telah terjadi konfrontasi politik yang sengit. Dan keadaan itu berlangsung beberapa waktu lamanya. Kontroversi mengenai ekonomi pasar sosial mewarnai Pemilu pertama dan kedua Jerman. Konrad Adenaner, ketua umum PKD mengangkat konsep Erhard tentang ekonomi pasar sosial menjadi program partai dan memenangkan Pemilu pertama September 1949. Pada Pemilu kedua 1953 PKD malah mencapai kemenangan mutlak. Walaupun pada saat itu belum tercapai konvergensi (kesepahaman) antar parpol namun para pemilih umumnya sudah sepakat mendukung ekonomi pasar sosial.
Namun jangan dilupakan bahwa dukungan terhadap ekonomi pasar sosial dikalangan PKD tidaklah sepenuhnya utuh. Hal ini disebabkan karena PKD bukanlah sebuah partai yang monolitik tetapi merupakan uni (gabungan) dari beberapa kelompok kepentingan (faksi). Jadi agar program ekonomi pasar sosial diterima menjadi program partai maka secara internal perlu sosialisasi agar tercapai konvergens (kesesuaian paham) dalam partai tersebut. Hal ini hanya dapat tercapai apabila kepentingan-kepentingan berbagai faksi dalam PKD dapat dipenuhi. Berikut ini diberikan dua contoh :
1. Dukungan sayap kiri PKD yang terdiri dari serikat buruh Kristen dapat diperoleh apabila komponen-komponen sosial dari sistem ekonomi pasar sosial lebih dikedepankan. Sebagai contoh dapat dikemukakan perluasan undang-undang sosial tahun 1950-an.
2. Sayap kanan PKD yang merupakan sayap pengusaha dari partai tersebut mula-mula menolak dengan keras usaha Ludwig Erhard dalam menyusun undang-undang anti gangguan persaingan (undang-undang anti monopoli), salah satu prinsip dasar ekonomi pasar sosial. Baru setelah perdebatan internal partai yang panjang selama 8 tahun undang-undang anti monopoli disahkan tahun 1957 dengan konsesi besar dari sayap kanan PKD terutama dalam hal yang menyangkut masalah kartel (aliansi usaha).
Yang menarik ialah bahwa dalam masalah kartel Menteri Ekonomi Erhard untuk pertama kali dalam sejarah mendapat dukungan kaum sosialis dari partai SPD dan merupakan pertanda pertama adanya konvergensi antara dua parpol besar tentang ekonomi pasar sosial. Akan tetapi baru setelah mengalami kekalahan besar dalam Pemilu untuk ketiga kalinya tahun 1957 barulah kaum sosialis dalam partai SPD “banting stir” dengan merumuskan kembali program partai yang disebut “Program Godesberg” dimana partai SPD akhirnya berdamai dengan ekonomi pasar sosial (dan agama-agama).
Dalam Pemilu 1961 karena terdesak maka Erhard merasa perlu untuk mengklaim dirinya sebagai “pemegang merek” ekonomi pasar sosial. Hal ini disebabkan karena dalam kampanye Pemilu musim itu pihak sosialis dari partai SPD mengaku bahwa mereka lebih baik dan lebih konsekwen menjalankan sistem ekonomi pasar sosial dari lawannya di partai Kristen dari Erhard.
Serikat Buruh Jerman (DGB) juga mengikuti kaum sosialis dalam merobah sikapnya, namun hanya untuk batas-batas tertentu. Dalam program kerja serikat buruh tahun 1963 banyak elemen sosialis tahun 1949 dibuang. Namun istilah ekonomi pasar sosial belum dimasukkan kedalam program kerja serikat buruh yang baru tersebut. Puncak dari kesepakatan atau konvergensi dicapai tahun 1967 pada saat PKD membentuk pemerintahan koalisi bersama SPD dengan menyingkirkan partai liberal FDP sebagai pihak oposisi. Karena koalisi itu melibatkan dua partai besar maka koalisi itu disebut “koalisi besar”. Dalam koalisi tersebut untuk pertama kali seorang sosialis yaitu Prof. Karl Schiller menjadi menteri ekonomi. Kesepakatan politik tersebut tidak akan tercapai apabila tidak ada pergeseran prioritas dalam sistem ekonomi pasar sosial yang terkenal “terbuka” itu.
Menteri ekonomi yang baru Prof. Karl Schiller lebih mengutamakan pengendalian permintaan pasar ala Keynes untuk mempengaruhi secara langsung proses ekonomi dari pada hanya menjalankan kebijakan penataan ekonomi (Ordnungspolitik). Beliau menekankan pengaruh kebijakan fiskal dalam mengendalikan permintaan dan memperluasnya dengan apa yang saat itu terkenal dengan istilah “aksi terkonsentrasi atau terpadu” yakni semacam kebijakan atau politik pendapatan melalui “moral suasion”.
Kebijakan ekonomi makin lama dipandang sebagai apa yang “dapat diatur”, yang lebih menekankan “policy making”. Negara, dalam hal ini pemerintah harus merencanakan agregat-agregat makro-ekonomis, proses pasar harus hanya menentukan relasi-relasi mikro-ekonomis dalam kerangka makro-ekonomis yang telah direncanakan sebelumnya. Politik ekonomi semacam ini tentu saja telah menyimpang jauh dari prinsip-prinsip dasar ekonomi pasar sosial. Karena sistem ekonomi pasar sosial memprioritaskan kebijakan menata tata tertib ekonomi (Ordnugspolitik) dari pada pengendalian proses ekonomi. Sistem tersebut juga menghendaki negara menata peraturan dan paket-paket undang-undang bagi kegiatan ekonomi pihak swasta dan menolak perencanaan negara atas kegiatan pasar walaupun hanya pada tingkat makro.
Pada saat dibentuknya pemerintah koalisi baru tahun 1969 antara partai sosialis SPD dan liberal FDP nyata benar bahwa suasana kesepakatan (konvergensi) dibidang politik ekonomi berakhir dan mulailah satu era baru dengan pertentangan-pertentangan tajam (divergensi) dibidang kebijakan ekonomi. Setelah musim pemberontakan mahasiswa tahun 1968 bangkitlah ide-ide marixs dan sosialis di wilayah Jerman Barat waktu itu sebagai ide-ide yang modern dan digemari bukan oleh kaum buruh tapi oleh kaum intelektuil. Pemerintahan baru pimpinan Willy Brand menyesuaikan diri dengan mode kaum intelektuil tersebut dan menggelar slogan-slogan seperti “sosialisme demokratis” dan “reformasi masyarakat”.
Sistem ekonomi pasar sosial secara resmi tidak dihapus namun mulai diracuni oleh virus-virus sosialisme. Hal ini dapat dilihat dengan membengkaknya porsi negara pada penghasilan nasional, negara mendapat tugas-tugas baru yang “produktif”, pajak dinaikkan, program-program sosial diperluas (tanpa memperhitungkan bagaimana membiayainya), pemerintah menjamin tidak akan ada penggangguran.
Bulan Juli 1972 Prof. Schiller tidak lagi bersedia untuk ikut serta menjalankan politik tersebut. Sebagai protes beliau meletakkan jabatan Menteri ekonomi dan keuangan. Namun trend politik berkembang makin meruncing. Intervensi dan pengaturan oleh negara makin menjadi-jadi, insentif untuk kegiatan ekonomi dimatikan, keuntungan dunia usaha makin diperas oleh pajak yang tingggi, malah pemerintah mulai memikirkan untuk mengawasi kegiatan investasi. Nyata benar bahwa politik perekonomian pemerintah Jerman makin menjauh dari prinsip-prinsip ekonomi pasar sosial. Juga pihak serikat buruh karena dipengaruhi oleh kaum intelektuil kiri merevisi kembali sikap mereka yang terbuka terhadap sistem ekonomi pasar sosial.
Dalam program kerja serikat buruh tahun 1981 muncul kembali unsur-unsur sosialis dan radikal. Secara keseluruhan dapatlah dikatakan bahwa periode tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an telah ditandai oleh meningkatnya beda pendapat (divergens) bahkan polarisasi yang tajam tentang kebijakan perekonomian. Akibat dari kebijakan pemerintah yang anti ekonomi pasar ialah turunnya angka investasi secara drastis dan meningkatnya angka pengangguran. Pemerintah koalisi SPD-FDP pimpinan Kanselir Helmut Schmidt ternyata tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi tersebut.
Tahun 1982 Partai Kristen Demokrat (PKD) kembali tampil memegang kemudi pemerintahan dengan berkoalisi bersama kaum liberal dari partai FDP. Koalisi partai-partai kanan ini menjanjikan sebuah perombakan politik terutama dalam kebijakan perekonomian dengan kembali kepada keaslian prinsip-prinsip ekonomi pasar sosial. Pemerintah baru Helmut Kohl (PKD) bersungguh-sungguh menghentikan arah politik perekonomian pemerintah lama. Porsi negara dalam penghasilan nasional tidak lagi diperluas tetapi malah diperkecil. Banyak rintangan bagi investasi, bagi penciptaan lapangan kerja dan bagi kegiatan dunia usaha, mulai dihapus. Beban pajak bagi perusahaan-perusahaan diringankan. Sebagai hasil perubahan kebijakan tersebut maka lapangan kerja bertambah dan pertumbuhan ekonomi meningkat. Keadaan perekonomian Jerman mulai ekspansi besar-besaran.
Walaupun mengalami kemajuan namun kebijakan ekonomi pemerintah Kristen Demokrat dari Helmut Kohl mendapat kritik, bukan dari lawan politik tetapi dari para pendukung sistem ekonomi pasar sosial. Yang tergolong sebagai pengritik ialah para pakar ekonomi pemerintah dan para ahli yang tergabung dalam kelompok Kronberger. Kebijaksanaan ekonomi pemerintah dikritik karena tidak sepenuhnya kembali keprinsip-prinsip ekonomi pasar sosial. Prinsip-prinsip kurang diperhatikan, sedangkan yang lebih diperhatikan ialah pengecualian-pengecualian. Kritik terutama tertuju pada kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial pemerintah. Dalam kebijakan ekonomi pemerintah dikritik karena tidak berani mengurangi bermacam ragam subsidi yang diberikan keperusahaan-perusahaan atau cabang ekonomi. Keadaan ini memalsukan keadaan pasar dan merusak persaingan.
Di bidang sosial diakui bahwa sudah ada perbaikan-perbaikan yang berarti, namun hal itu lebih disebabkan oleh kesulitan keuangan daripada sebagai hasil langkah-langkah reformasi yang sungguh-sungguh. Baik di bidang ekonomi maupun di bidang sosial pemerintah kelihatannya ragu-ragu untuk mengambil langkah-langkah yang tidak populer guna kembali keprinsip-prinsip ekonomi pasar sosial yang sebenarnya. Dunia usaha dan rumah tangga telah terbiasa menikmati kenyamanan “pengecualian-pengecualian”.
Juga dalam hal penyatuan kembali kedua Jerman, baik secara politis maupun ekonomis timbul lagi masalah-masalah yang sama. Baik penduduk maupun mayoritas politisi Jerman Timur menghendaki diberlakukannya ekonomi pasar sosial di wilayah mereka. Dengan diberlakukannya mata uang DM ke wilayah Jerman Timur maka usaha kearah itu di mulai. Juga di Jerman Timur kelihatan bahwa baik politisi maupun pengusaha memakai taktik yang sama yang sudah lama dikerjakan oleh para pe-lobby Jerman Barat, yaitu bahwa semua pihak menerima peraturan-peraturan ekonomi pasar sosial “secara prinsip”, namun untuk perusahaan sendiri atau sektor industri sendiri atau bagi kelompok pekerja tertentu orang menuntut pengecualian karena pada mereka katanya terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan. Dengan demikian kita menyaksikan bahwa subsidi negara tetap saja mengalir keindustri-industri yang tidak kompetitip, pembayaran sosial tetap saja dibayar tanpa memperhatikan kondisi keuangan negara atau malah subsidi tersebut dinaikkan. Pemerintah diwajibkan menjamin lapangan kerja. Kekuatan ekonomi Jerman Barat dipakai sebagai sapi perahan untuk membiayai segala macam subsidi di Jerman Timur. Dalam hal ini orang melupakan bahwa kemakmuran hanya bisa dicapai apabila orang mendapat hasil dipasar berkat kerja keras.
Apabila bermacam ragam subsidi tetap dibayarkan maka penyesuaian diri ekonomi Jerman Timur akan tetap ditunda dan kekuatan ekonomi Jerman Barat akan dihimpit oleh beban yang terlalu berat seperti di tahun 1970-an dan hal ini dapat berakibat fatal bagi kedua belah pihak. Dalam hal ini pemerintah Jerman menemui masalah, karena selama di Jerman Barat subsidi terus saja dibayar dengan murah hati dan dengan demikian prinsip ekonomi pasar sosial dilanggar maka bagaimana pemerintah bisa menolak permintaan subsidi di wilayah Jerman Timur. Hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi.
Dengan bergabungnya Jerman Timur sebenarnya pemerintah mendapat alasan untuk menghapus subsidi di Jerman Barat, sehingga semua perusahaan diperlakukan sama. Dengan demikian maka penyatuan kembali Jerman juga berarti terbuka peluang untuk kembali ke prinsip-prinsip dasar ekonomi para sosial atau dengan kata lain telah terjadi lagi kesepakatan (kovergens) baru atas dasar ekonomi pasar sosial. Namun sejauh itu keputusan belum dibuat.
5. Kesimpulan
Sebagai penutup baiklah dibuat beberapa kesimpulan mengenai pengalaman Jerman dengan sistem ekonomi pasar sosial sebagai berikut:
a. Ekonomi pasar sosial telah membuktikan diri di Jerman sebagai sebuah sistem ekonomi yang bebas dan sekaligus berhasil baik. Keberhasilan ekonomi dapat menunjang program-program sosial yang luar biasa, yang belum pernah terjadi dalam sejarah Jerman. Kombinasi antara unsur-unsur ekonomi pasar dan kebijakan sosial rupanya telah membuat sistem itu diterima secara politis dan juga telah membawa peningkatan hasil ekonomis.
b. Menurut konsep teoretis dan pelaksanaan dari ekonomi pasar sosial di Jerman dapat dikatakan bahwa sistem tersebut lebih dari sekedar pembatasan antara peran ekonomi swasta dan negara. Sistem itu terutama menunjukkan prinsip-prinsip bagi “gaya atau stile” dari kebijakan ekonomi sebuah negara. Para penggagas ekonomi pasar sosial terutama menekankan prinsip, bahwa negara menjalankan pengaruhnya atau kehidupan ekonomi tidak dengan intervensi yang langsung atas proses pasar tetapi hanya melalui penataan tata tertib ekonomi, undang-undang dan perangkat institusi yang mengatur kegiatan ekonomi. Kebijakan ekonomi dalam ekonomi pasar sosial terutama dijalankan melalui penataan tata tertib ekonomi. Pembatasan kualitatif atas kegiatan negara ini merupakan jaminan utama bagi kebebasan bergerak warga ekonomi atau pelaku ekonomi.
c. Pengalaman Jerman menunjukkan bahwa karena “keterbukaan” sistem ekonomi pasar sosial maka mudah untuk menyatukan berbagai kekuatan politik dalam membuat konsep tentang tata ekonomi. Hal ini hanya mungkin terjadi karena ada kesediaan untuk berkompromi. Kesepakatan politik yang menghasilkan diterimanya ekonomi pasar sosial secara umum membawa perubahan dalam pelaksanaan pelaksanaan praktis ekonomi pasar sosial. Perubahan-perubahan tersebut telah menimbulkan penyimpangan atas prinsip-prinsip dasar sistem tersebut serta membawa bermacam-ragam pengecualian atau kelonggaran atas sistem ekonomi pasar sosial. Pada hal-hal tertentu malah prinsip-prinsip dasar tersebut terancam untuk dilanggar sama sekali. Keseimbangan antara tuntutan-tuntutan sosial dan insentip ekonomi pasar ternyata sulit untuk ditegakkan. Dalam proses penyatuan kembali Jerman timbul bahaya bahwa yang lebih dipentingkan ialah pembagian ulang penghasilan sehingga dengan demikian usaha keras untuk menciptakan penghasilan itu sendiri mengalami hambatan.
d. Pengalaman Jerman akhirnya menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dasar ekonomi pasar sosial telah berperan besar dalam kehidupan politik praktis (dimata kelompok yang berkepentingan peran itu tidak disukai). Politik sehari-hari harus dinilai dan dikritik atas dasar prinsip-prinsip tersebut. Hanya dengan bersikukuh pada prinsip-prinsip tersebut secara “dogmatis” maka kebijakan ekonomi dapat dipertahankan digaris yang benar. Mungkin dengan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari pengalaman Jerman, pihak Indonesia dapat menarik manfaat dalam usaha keluar dari kesulitan-kesulitan yang menghadang sekarang. Mari kita berjuang bersama-sama.
(Naskah dikirim oleh Deni A Dwiyanto)
Sumber: www.pemudasosialisjakarta.org


IDEOLOGI SOSIALISME DAN KITA

*) F.R. Srivanto
I. Ideologi Sosialisme
Apakah ideologi sosialisme itu? Ideologi sendiri berasal dari bahasa Yunani yakni idea (gagasan) dan logos (studi tentang, ilmu pengetahuan tentang). Idelogi artinya sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis dan sosial. Istilah “ideologi” dipergunakan oleh Marx dan Engels mengacu kepada seperangkat keyakinan yang disajikan sebagai obyek. Obyek tersebut tidak lain adalah pencerminan kondisi-kondisi material masyarakat.
Sosialisme sebagai ideologi, telah lama berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Sosialisme sendiri berasal dari bahasa Latin yakni socius (teman). Jadi sosialisme merujuk kepada pengaturan atas dasar prinsip pengendalian modal, produksi dan kekayaan oleh kelompok.
Istilah sosialisme pertama kali dipakai di Prancis pada tahun 1831 dalam sebuah artikel tanpa judul oleh Alexander Vinet. Pada masa ini istilah sosialisme digunakan untuk pembedaan dengan indvidualisme, terutama oleh pengikut-pengikut Saint-Simon, bapak pendiri sosialisme Prancis. Saint-Simon lah yang menganjurkan pembaruan pemerintahan yang bermaksud mengembalikan harmoni pada masyarakat.
Pada akhir abad ke-19, Karl Marx dan Friedrich Engels mencetuskan apa yang disebut sebagai sosialisme ilmiah. Ini untuk membedakan diri dengan sosialisme yang berkembang sebelumnya. Marx dan Engels menyebut sosialisme tersebut dengan sosialisme utopia, artinya sosialisme yang hanya didasari impian belaka tanpa kerangka rasional untuk menjalankan dan mencapai apa yang disebut sosialisme. Oleh karena itu Marx dan Engels mengembangkan beberapa tesis untuk membedakan antara sosialisme dan komunisme. Menurut mereka, sosialisme adalah tahap yang harus dilalui masyarakat untuk mencapai komunisme. Dengan demikian komunisme atau masyarakat tanpa kelas adalah tujuan akhir sejarah. Konsekwensinya, tahap sosialisme adalah tahap kediktatoran rakyat untuk mencapai komunisme, seperti halnya pendapat Lenin yang mengatakan bahwa Uni Sovyet berada dalam tahap sosialisme.
Dalam perkembangannya hingga pertengahan abad ke-20, sosialisme memiliki beberapa cabang gagasan. Secara kasar pembagian tersebut terdiri dari pertama adalah Sosialisme Demokrasi, kedua adalah Marxisme Leninisme, Ketiga adalah anarkisme dan sindikalisme [lihat tabel]. Harus diakui bahwa pembagian ini sangatlah sederhana mengingat begitu banyak varian sosialisme yang tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Sebagai contoh Marxisme yang di satu sisi dalam penafsiran Lenin menjadi Komunisme dan berkembang menjadi Stalinisme dan Maoisme. Disisi lain Marxisme berkembang menjadi gerakan Kiri Baru dalam pemahaman para pemikir seperti Herbert Marcuse di era 1970an. Sama halnya dengan anarkisme yang terpecah menjadi beberapa aliran besar seperti anarkisme mutualis dengan bapak pendirinya yakni P J Proudhon dan anarkis kolektivis seperti Mikhail Bakunin. Anarkisme juga memberi angin bagi tumbuhnya gerakan gerakan sindikalis yang menguasai banyak pabrik di Barcelona semasa Perang Saudara Spanyol 1936-1939.
Hingga saat ini, partai-partai Sosial Demokrat masih tetap berdiri seperti halnya di Eropa seperti Jerman, Belanda, Norwegia dan Prancis. Beberapa yang menganut sosialisme juga seperti halnya partai-partai buruh seperti di Inggris dan Itali. Partai-partai Komunis banyak yang membubarkan diri atau bertahan dengan berganti nama dan mencoba untuk tetap hidup dengan ikut pemilu di negara-negara Eropa Timur setelah runtuhnya Uni Sovyet. Beberapa diantaranya bahkan bisa berkuasa kembali seperti di Polandia dan Ceko dengan jalan yang demokratis.
Uraian diatas menimbulkan banyak pertanyaan diantara kita, apakah Marxisme sebagai dasar sosialisme yang mengklaim dirinya ilmiah masih layak dipakai? Bagaimanakah masa depan sosialisme nantinya? Bagaimanakah peran ideologi dalam sebuah perjalanan bangsa?
II. Kegagalan Marxisme
Banyak diantara para pemikir sosialis maupun praktisi gerakan gerakan sosialisme masih mengandalkan Marxisme sebagai dasar pemikiran maupun gerakannya. Ada yang menggunakan Marxisme secara kritis akan tetapi ada juga yang secara dogmatis memujanya habis habisan hingga saat ini. Kecenderungan kecenderungan demikian terjadi tidak hanya di negara-negara Eropa akan tetapi juga di negara-negara dunia ketiga sepertihalnya Indonesia. Di Eropa, Marxisme digunakan sebagai alat analisa pemikiran, artinya peran Marxisme lebih berlaku pada perdebatan-perdebatan intelektual filsafat dalam melahirkan berbagai varian varian baru. Sementara di negara-negara dunia ketiga dimana tingkat kegiatan praksis sosialisme lebih berjalan, Marxisme masih menjadi ideologi dasar dan terutama bagi mereka yang baru saja lepas dari kungkungan rezim otoriter militeristik dimana Marxisme masih memukau seperti ‘menemukan air ditengah dahaga ideologi’ dengan teori-teori pembebasannya.
Harus diakui bahwa hampir satu abad Marxisme memberi kontribusi baik maupun buruk yang tak terhingga kepada dunia. Marxisme memberi peringatan kepada kita tentang bahaya kapitalisme industri dan menyadarkan kita tentang pentingnya kebersamaan manusia secara kolektif.
Meski demikian, Marxisme gagal untuk membuktikan teori-teorinya dan gagal pula didalam tingkatan yang lebih kongkret. Bubarnya Uni Sovyet, yang dikatakan masih berada dalam fase sosialis menuju masyarakat komunis adalah kegagalan Marxisme pada tingkatan tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa Marxisme gagal baik secara teori maupun prakteknya.
Kegagalan teoritis Marxisme yang pertama adalah tentang teori nilai lebih. Marx menafisrkan kapitalisme dengan teori lebih kerja sebagai suatu sistem eksploitasi kelas buruh oleh kaum kapitalis. Kaum kapitalis menyimpan bagi dirinya sendiri nilai lebih itu yang dihasilkan oleh kaum pekerja. Akumulasi dan konsentrasi kekayaan dalam tangan kelompok kapitalis yang jumlahnya semakin kecil, bersama dengan hukum kemunduran tingkat keuntungan, menuju kepada kehancuran diri sistem eksploitasi tersebut. Pada akhirnya menurut Marx, akan terjadi pengambil alihan oleh kelas buruh. Artinya kelas buruh (proletariat) memegang kendali sarana produksi dan untuk membangun kediktaturan proletariat sebagai tahap awal transisi menuju masyarakat tanpa kelas. Hal ini gagal karena kapitalisme tidaklah menyusut hingga masa sekarang. Kapitalisme sendiri bisa menyesuaikan perkembangan dengan memberi tuntutan tuntutan buruhnya di bawah standar. Hal ini terlihat seperti di Indonesia, kaum pekerja terjebak dan larut dalam tuntutan tuntutan upah minimum yang memang di rekayasa olah para kapitalis. Kaum buruh pun tidak pernah terjadi untuk mengambil alih kepemilikan kaum kapitalis secara ekonomis mengingat faktor faktor sekunder seperti politik memang tidak pernah diperhitungkan secara jelas dalam Marxisme.
Kegagalan Marxisme yang kedua adalah klaim tentang sosialisme ilmiah itu sendiri. Marx memang menolak sosialisme bentuk lama yang dikatakan utopis dan mencoba memberi kerangka rasional dalam gagasannya. Akan tetapi Marxisme juga tenggelam dalam mimpi utopiannya sendiri tentang masyarakat tanpa kelas. Mengapa? Sebab penentuan cita-cita akhir, bagaimanapun hakekatnya bertentangan langsung dengan prinsip dialektis yang didengungkan oleh Marx sendiri.
Kegagalan Marxisme yang ketiga adalah pemahaman yang dilanjutkan oleh Lenin dan Stalin telah berubah menjadi suatu kolektivisme sempit. Produksi barang material tidak lagi diarahkan kepada peningkatan keberadaan personal, melainkan kepada pertumbuhan kekuasaan kolektif tersebut.
Bukti paling kongkret dari kegagalan kegagalan diatas adalah bubarnya negara Uni Sovyet yang selama 70 tahun lebih memakan korban jutaan warganya. Prinsip sosialisme sebagai kebersamaan sangatlah penting, meski demikian kita juga tidak bisa mengingkari hak hak azasi yang paling pribadi sebagai manusia dalam kerangka nilai etis. Fase kediktaturan proletarian yang sama otoriternya dengan fasisme jelas tidak bisa diterima bahkan oleh warganya sekalipun.
III. Kritik Anarkisme

Anarkisme sendiri sering disalahartikan sebagai kekacauan (chaos) yang berdampak penghancuran kepada masyarakat. Hal ini dimaklumi bahwa orang jarang mengenal gagasan-gagasan anarkisme yang dibawa oleh Pierre Joseph Proudhon, Mikhail Bakunin, Piotr Kropotkin dan lainnya. Ini disebabkan anarkisme memang bukan ideologi terstruktur seperti halnya sosialisme atau komunisme. Pada awal abad ke-19 anarkisme tumbuh dan menjadi lawan bagi Marxisme, karena klaim anarkisme yang libertarian berhadapan dengan Marxisme yang otoriterian. Baik anarkisme maupun Marxisme pada masa itu sepakat bahwa sebuah revolusi dibutuhkan untuk menumbangkan pemerintah borjuis. Akan tetapi para pengikut Marx menginginkan Negara digunakan sebagai sarana kediktaturan proletariat dan baru akan dibubarkan bila fase komunisme yakni masyarakat tanpa kelas sudah terwujud. Kaum anarkis justru menginginkan Negara harus dibubarkan sedari awal. Mereka berkeyakinan bahwa pengambil alihan kekuasaan dengan membiarkan Negara berdiri hanya akan melestarikan dan membuat kekuasaan yang jauh lebih sulit untuk ditumbangkan.
Pada tulisan ini, hanya akan dibahas kritik anarkisme terhadap demokrasi, khususnya seperti yang diungkapkan oleh George Woodcock dan Noam Chomsky pada dekade akhir abad 20. Menurut kaum anarkis, demokrasi adalah hal yang terbaik diantara semua yang terburuk. Demokrasi, kalau pun mau digunakan, haruslah dalam bentuk langsung dan partisipatoris. Artinya, demokrasi yang benar benar melibatkan seluruh peran warga masyarakat dalam menjalan fungsinya.
Ada beberapa kritik anarkisme terhadap demokrasi. Pertama, pemilu sebagai sarana demokrasi dianggap melenyapkan hak hak individu. Sebagai contoh, orang akan memilih wakil wakilnya yang tidak dikenal dan belum tentu menjalankan aspirasi si pemilih. Hal ini akan terus berulang dalam setiap pemilu berikutnya dan menjadi suatu kebiasaan yang buruk bagi kesadaran setiap orang. Oleh karena itu kaum anarkis menolak bentuk perwakilan (representation) dan menyukai bentuk pendelegasian bagi setiap keputusan atau kepentingan karena dirasa lebih menyeluruh.
Kritik kedua, demokrasi mengandung ancaman berupa kediktaturan mayoritas. Bagi kaum anarkis tidak ada jaminan bagi para pemeluk demokrasi terhadap golongan minoritas atau kelompok kecil. Hal ini seringkaliterjadi berupa pengabaian hak hak minoritas suara baik dalam bentuk populasi suku, agama, ras, maupun kebudayaan.
Kritik ketiga, demokrasi mengandung bahaya kongkret yakni diterimanya kembali kelompok-kelompok otoriterian seperti partai komunis untuk mendapat peluang menang secara demokratis dalam pemilu. Hal ini terbukti dalam pemilu di Polandia dan Ceko dimana partai komunis kembali memerintah dengan suara mayoritas. Jika demikian, ancaman yang akan terjadi adalah penumbangan demokrasi itu sendiri oleh kelompok-kelompok otoriterian.
IV. Masa Depan Indonesia

Dari tulisan diatas jelaslah sangat penting sebuah ideologi untuk bisa dipahami dengan kesadaran rasional dan dimiliki sebagai sebuah pijakan langkah kedepan bagi perkembangan sebuah masyarakat. Ideologi tidak bisa dipahami secara buta dan dogmatis, karena masyarakat terus berubah dan berkembang sesuai dengan situasinya baik secara subyektif maupun obyektif. Secara subyektif, kesadaran masyarakat memang harus dibangun. Problem di Indonesia untuk hal ini adalah pemahaman ideologi bukanlah di pelajari secara rasional, melainkan sekedar penerimaan warisan tradisi akan pergerakan politik yang mengatasnamakan ideologi. Orang lebih cenderung mengidentifikasi atau menolak dirinya sebagai sebuah penganut ideologi tertentu bukan karena ia belajar memahami nilai ideologi tersebutsecara rasional, melainkan karena faktor sejarah dan kepentingan yang lebih dominan terhadap dirinya. Demikian pula secara obyektif, problem yang ada dimasyarakat seperti saat ini tentunya juga butuh sebuah keyakinan yang kuat terhadap cita cita perubahan. Ideologi sebagai sebuah cita cita haruslah bisa diandalkan dan dipercaya untuk bisa memberi jalan terhapa permasalahan tersebut.
Maka meski dengan usia baru 100 tahun sejak para founding fathers seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lainnya, Republik Indonesia boleh dibilang sangatlah miskin akan pemahaman ideologi yang berkelanjutan. Orang lebih senang melihat figur tertentu untuk tampil ke panggung politik bila dibandingkan tahu secara jelas pemikiran pemikiran macam apa yang dihasilkan oleh figur tersebut. Inilah yang disebut favoritisme, seperti halnya yang terjadi di Amerika Latin pada abad ke 19 dimana banyak junta militer jatuh bangun berkuasa silih berganti.
Sosialisme sebagai ideologi yang telah menjadi pilihan kita, tentunya juga harus dipahami dan dijalankan dalam konteks nalar yang rasional. Artinya, mengetahui dan meyakini sosialisme bukanlah sekedar memahami sejarah, mendogmakan pemikiran lampau dan enggan lepas dari pewarisan tradisi yang sudah ada. Sosialisme harus mampu menjawab berbagai tantangan perkembangan masyarakat dan zaman yang kini sedang terjadi. Seperti halnya problem lingkungan hidup, kemanusiaan, gender dan nilai etis moral lainnya yang pada dekade lalu belum dianggap sebagai suatu hal yang sangat penting. Oleh karena itu Sosialisme yang harus diperjuangkan adalah sosialisme yang benar-benar mengakui nilai nilai kemanusiaan, sosialisme yang benar-benar kerakyatan dalam arti mampu secara maksimal memberi rasa keadilan terhadap masyarakat dan sosialisme yang secara sungguh-sungguh tumbuh karena gagasan-gagasan mulia, bukan sekedar jargon masa lalu.
Sumbangan sosialisme tradisional seperti Marxisme dan kritik anarkisme terhadap demokrasi tentunya juga merupakan hal yang patut untuk diperhatikan. Demokrasi telah menjadi pilihan kita dan kita secara sadar paham segala kemungkinan penyimpangan-penyimpangannya. Penyalahgunaan kekuasaan, pengatasnamaan hukum, konflik kepentingan mayoritas–minoritas, adalah hal-hal yang telah tampak di depan mata. Indonesia memang sedang dalam masa transisi. Hal inilah yang harus benar benar dijaga dan diperhatikan agar perubahan yang sekarang terjadi tidak akan salah arah dalam proses berdemokrasi sebagai pelajaran pertama menuju masyarakat yang adil dan makmur.
T O P I K SOSIALISME DEMOKRASI MARXISME LENINISME ANARKISME &SINDIKALISME

Perubahan Sebuah perubahan dilakukan dengan cara bertahap (gradual) Sebuah perubahan dilakukan dengan cara drastis (revolusioner)
Sebuah perubahan dilakukan dengan cara drastis (revolusioner)
Cara melakukan Perubahan perubahan dilakukan dengan membentuk partai dan ikut ke dalam parlemen
Perubahan dilakukan dengan membentuk partai dan kediktaturan
Perubahan dilakukan dengan menolak partai dan Negara


Negara Negara dibutuhkan untuk menjamin fungsi keadilan Negara diterima sebagai fase sosialis dan dibubarkan dalam fase komunis
Negara ditolak dan tidak diperlukan
Pengawasan Masyarakat mengontrol Negara
Negara mengontrol Masyarakat Masyarakat mengontrol dirinya sendiri
Sistem Politik Parlementarian
Otoriterianisme
Libertarianisme

Massa Massa terdiri dari kader partai Massa dibentuk oleh kader partai yang bertindak sebagai pelopor
Massa adalah anonim dan bergerak atas inisiatif spontan


Demokrasi Demokrasi adalah cara mencapai tujuan sosialisme Demokrasi sebagai salah satu jalan revolusi sosialis menuju komunisme
Demokrasi ditolak sebagai wujud mayoritas otoriter
Individu Individu diikat tetapi tetap diberi ruang
Individu lebur kedalam kolektif Individu punya titik ekstrim tersendiri
Ekonomi Tema utama adalah keadilan sosial Tema utama adalah ekonomi terpimpin Tema utama adalah ekonomi secara praksis dan anti politik

Hukum Supremasi Hukum
Otoriter Anti Hukum
Tujuan Akhir Masyarakat Adil Makmur (welfare society) Masyarakat Tanpa Kelas Masyarakat Tanpa Negara
________________________________________
Penulis adalah Direktur Eksekutif Institut Studi Sosial Demokrasi
dan Ketua Biro Penelitian dan Pengembangan Pemuda Sosialis Jakart



Jurnal Teori-teori Sosial Klasik

~ Tuesday, October 15, 2002

Berikut ini adalah sumbangan dari rekan kita S. Yunanto. Berupa catatan kuliah dan hasil bacaan atas beberapa sumber. Terutama tentang Marx. Terima kasih rekan Yunanto!!! (Radhar)


TEORI SOSIAL KLASIK

MATERIALISME SEJARAH.
(Kuliah ke 2 )
Referensi utama : Gidden 22- 24

DARI KULIAH Prof Maswadi .

Ciri pemikiran Marx :Radikal artinya perubahan sosial bersifat menyeluruh,cepat dan bersifat kekerasan (revolusioner ). Masyarakat Borjuis dan negara penuh kelemahan. Liberalisme,kapitalisme dan demokrasi sebagai sumber kebobrokan masyarakat.
Menurut Marx faham liberalisme melindungi kerakusan yang mengakibatkan terhadap penindasan. Cara menghilangkan penindasan dengan menghilangkan “hak milik pribadi”. Karena hak milik inidigunakan sebagai alat penindasan.

Liberalisme dalam bidang politik menghasilkan demokrasi dalam bidang ekonomi menghasilakan kapitalisme. Inti dari demokrasi adalah yang baik buat masyarkat ditentukan oleh masyarakat sendiri. Dalam Kapitalisme terjadi swastanisasi . Masyarakat diganti dengan pasar bebas . Penguasa ekonomi adalah pemilik uang . Dalam hal ini dicirikan bahwa masyarakat itu terdiri dari kelas menengah yang – rakus dan penuh ambisi.

Flow of capitalism : Modal ---- Investasi ---- komoditas ---- profit .
Tujuan kapitalisme : Mengangkat mesyarakat banyak kepada kemakmuran dengan menyediakan barang dan jasa. Jadi dalam pandangan kapitalisme ciri kemakmuran adalah tersedianya barang dan jasa dan kemampuan mendapatkannya. Dengan tersedianya barang – barang dalam jumlah yang banya akan lebih murah.Kemakmuran akan tepenuhi oleh peran kaum swasta,sementara negara hanya berfungsi sebagai pelindung. Kaum kapitalis melakukan investasi bukan karena sosial value melainkan karena ingin mengambil keuntungan dari investasi yang ditanamkan

Beda Marx dengan Filosof lain adalah kalau Filosof lain meramalkan apa yang terjadi,bagi Marx yang penting mrobahnya .

MATERIALISME SEJARAH.
Pengertian : Menurut Marx, sejarah umat manusia ditentukan oleh materi/benda dalam bentuk alat produksi. Alat produksi ini untuk menguasai masyarakat. Alat produksi adalah setiap alat yang menghasilkan komoditas. Komoditas diperlukan oleh masyarakat secara sukarela. Bagi Marx fakta terpenting adalah materi Ekonomi. Makanya teori Marx ini juga dikenal dengan determinisme ekonomi

Berdasarkan alat produksi Marx membagi perkembangan masyarakat menjadi 5:

Tahap I .

Masyarakat Agraris / primitif . Dalam masyarakat Agraris alat produksi berupa tanah. Dalam masyarakat seperti ini penindasan akan terjadi antara pemilik alat produksi yaitu pemilik tanah dengan penggarap tanah.

Tahap II.
Masyarakat budak. Dalam masyarakat seperti budak sebagai alat produksi tetapi dia tidak memiliki alat produksi. Penindasan terjadi antara majikan dan budak.

Tahap III
Dalam masyrakat feodal ditentukan oleh kepemilikan tanah .

Tahap IV.
Masyarakat borjuis. Alat Produksi sebagai industri. Konflik terjadi antara kelas borjuis dengan buruh. Perjuangan kelas adalah perjuangan antara borjuis dan proletar.

Tahap V.
Masyarakat komunis. Dalam masyarakat ini kelas proletar akan menang.

Sumbangan Marx kepada Liberalisme : Gagasan – gagasan Marx telah memberikan inspirasi kepada kaum liberalis untuk mengurangi dampak buruk liberalisme.

Implikasi gagasan liberalisme di AS :

Partai Republik : dikenal juga sebagai partai konservatif . partai ini dikenal mempunyai ppolicy yang lebih liberal dimana negara seharusnya sesedikit mungkin campur tangan dalm persoalan swasta.

DARI BUKU MAGNIZ .

Materialisme sejarah adalah kerangka pemikiran Marx dalam memahami sejarah dan masyarakat.

PRINSIP DASAR : Tesis utama materialisme sejarah adalah keadaan sosial ( fakta sosial ) menentukan kesadaran manusia ,bukan sebaliknya . Keadaan sosial atau fakta sosial adalah pekerjaannya atau produksi materialnya . Keadaan manusia adalah cara manusia menghasilkan sesuatu untuk hidup. Untuk memahami manusia tidak perlu memahami bagaimana ia berfikir, meliankan memahami cara ia,hidup ,bekerja dan berproduksi. Orang berfikir ditentukan oleh kepentingannya, kedudukannya dan cita –citanya. Yang semuanya ditentukan oleh kelas sosialnya.

MATERIALISME SEJARAH
GIDDEN (23 - 42 )

Marx mengkritik Hegel dalam memahami hubungan negara dan hukum.Menurutnya pola – pola hubungan hukum termasuk bentuk negara harus difahami bukan dari pola – pola hubungan tersebut, serta bukan dari perkembangan akal budi. Melainkan harus difahami dari hal – hal yang berakr dalam kondisi – kondisi yang bersifat materiil dalam kehidupan.(hal 22). Menurut Engel karya dalam materialisme sejarah membuktikan bahwa betapa tidak lengkapnya pengetahuan kita tentang sejarah ekonomi pada saat itu.

Pemikiran –pemikiran materialisme Marx juga merupakan kritikan terhadap pemikiran Feurbach yang dikatakannya a historis. Feurbach membuat manusia abstrak yang mendahului masyarakat. Materialisme Feurbach hanya berhenti pada doktrin Filsafat yang bersifat renungan. Feurbach gagal melihat bahwa kesalehan seseorang itu merupakan produk dari masyarakat. Doktrin Feurbach tidak bisa menangani fakta . Padahal kegiatan revolusioner merupakan tindakan manusia. Sang pendidik………….harus dididik.

Tesis –tesis Marx :

1) Keseluruhan yang disebut sejarah dunia adalah hasil ciptaan manusia, usaha manusia.
2) Marx tidak setuju dengan konsepsi “keterasingan “ dari para filosof Jerman yang disebutnya terlalu abstrak. Keterasingan dalam pengertian Marx harus difahamai sebagai fenomena sejarah,sehingga hanya bisa difahami dalam kerangka –kerangka sosial. Keterasingan ini dimulai dari dari kepemilikan pribadi (prakondisi kapitalisme).
3) Dalam melihat masyarakat Marx telah meninggalkan filsafat dan beralih kepada pendekatan sosial historis . Kapitalisme telah meninggalkan kelas :Pemilik modal dan pekerja.
4) Marx mengemukakan teori praxis dalam revolusi. Menurutnya perubahan sosial bisa menjadi kenyataan jika teori dan praktek bersatu.

Marx juga mengkritik fisafat Hegel yang disebutkannya sebagai agama yang dibawa kepada manusia dan harus dikutuk karena konsepnya tentang keterasingan. Hegel mengemukakn materialisme pasif (tafakur)

TEORI MATERIALIS .
Marx adalah seorang realis dalam mendefinisikan materialisme dan menentang konsep –konsep abstrak yang dikemukakan Hegel dan Feurbach. Gagasan adalah produk manusia dalam interaksinya antara indera dengan pengalaman. Kesadaran manusia timbul dalam dialektika antara subjek dan objek. Objek dari dari kepastian indera diberikan lewat perkembangan sosial. Sejarah merupakan perumusan ,penciptaan, ulang kebutuhan manusia yang terus menerus . Sejarah adalah suatu proses dimana sebuah generasi memanfaatkan bahan – bahan dan data –data yang diwariskan oleh generasi sebelumnya baik secara tetap maupun dimodifikasi.

Sistem Pra Kelas.
Pada masyarakat suku pembagian kerja berdasarkan berdasarkan jenis kelamin. Laki – laki pada awalnya bersifat komunal. Timbulnya individualisme karena terjadinya perkembangan sejarah yang berasosiasi dengan pembegian kerja yang semakin rumit dan terspesialisasi dan dibarengi dengan kemempuan memproduksi barang dan jasa dalam bentuk masal. Manusia itu asalnya sebagai makhluk rumpun, makhluk suku. Individualisme merupakan perkembangan sejarah. Termasuk pemilikan itu pada awalnya bersifat komunal. Perkembangan dan spesialisasi muncul karena adanya sistem pertukaran . Karena bentuk perttukaran ini semakin rumit muncullah bentuk uang..

Pandangan Marx tentang masyarakat timur/ masyarakt Asia. Masyarakat Timur / Asia sangat tahan terhadap perobahan . tidak terlalu tergantung pada lembaga pemerintah melainkan swasembada. Masyarakat timur berkembang dengan pola masyarakat lama yang dicirikan dengan tidak adanya pemilikan tanah. Berbeda dengan masyarakat Roma yang mempunyai koonsep pemilikan tanah yang mendorong terhadap nafsu ekspansionis. Dalam masyarakat timur seseorang hanya sebagai pengelola tanah yang sebagian hasilnya diserahkan sebagai upeti.

Sifat ketiadaan kepemilikan ini membatasi pertumbuhan kota di masyarakat Timur (India dan Cina )yang ini berbeda dengan masyarakat Roma dan Yunani dimana pertumbuhan kota menjadi inti. Pembagian kota dan desa ini memulai suatu tahapan historis tentang kapitalisme. Di kota ini mula dikenal konsep kepemilikan ,tenaga kerja dan pertukaran.

Dunia kuno .
Munculnya kelas penguasa akibat dari kepemilikan tanah di pedesaan. Pada tahap akhir, republik Roma berdiri diatas penghisapan – penghisapan dari propinsi - propinsinya . Sengketa juga terjadi antara rakyat jelata denga para ningratnya . Pada saat ini juga muncul sistem ekonomi riba. Perkembangan perbudakan dimulai dengan suatu tahap patriarkhal, dimana budak membantu produsen kecil. Tumbuhnya pertanian –pertanian skala besar telah menghapuskan sistem perbudakan .

Feodalisme dan perkembangan kapitalisme
Keruntuhan masyarakat Roma merupakan awal dari adanya perbudakan . Hal ini diikuti dengan perobahan sistem pemerintahan dari militer ke kerajaan . Peperangan dan kekacauan di Eropa telah menyebabkan kemiskinan petani kecil merdeka dan penghambaan kepada tuan tanah. Dasar dari ekonomi feodal adalah tanah . Dasar perekonomian feodal adalah pertanian dalam skala kecil yang dilaksanakan oleh petani yang melibatkan hamba yang mengikat , petanian ini ditambah dengan industri lokal dan kerajinan tangan di kota . Sejarah kapitalisme adalah sejarah keterasingan bagi produsen kecil dari produknya . Sejarah mengambil alih alat produksi milik si petani dan kergantungan si petni kecil dengan penjualan besar. Hancurnya feodalisme dan munculnya kapitalisme sangat terkait dengan pertumbuhan kota – kota. Dikota mulai muncul modal dagang dan modal para lintah darat. Perkembangan niaga merangsang pemakaian uang yang semakin meluas dan pertukran komoditi yang dulunya swasembada. Pertumbuhan kapitalisme diikuti dengan pengambilalihan milik para petani dengan kekerasan. Hal ini terjadi di Inggris, transformasi petani menjadi buruh upaha mulai dari abad kelima belas. Kaum bangsawan yang mempunyai tanah mulai tertarik dengan ekonomi pertukaran . Sepert kasus produksi wol di inggris meningkatkan harga – harga wol di Inggris. Fenomena ini diikuti oleh tindakan gereja yang membagika tanah kepada bangsawan atau dijual murah kepada spekulan dan mengusir pengelola tanah yang secara turun temurun . para pengelola tanah ini kemudia n menjadi pengemis, gelandangan dan lain –lain. Pada periode awla abad enam belas di inggris juga mulai tumbuhnya kaum proletar. Suatu kelompok petani yang kehilangan garapannya dan kemudian menjadi buruh upahan.

Tahap perkembangan kapitalisme yang penting adalah dengan dimulainya penjelajahan ke wilayah - wilayah diluar Eropa yang menandai bangkitnya imperialisme dan kolonialisme. Percepatan kapitalisme dengan ditmukannya emas dan berpusatnya pabrik – pabrik di daerah daerah maritim. Masuknya emas dan perak selanjutnya mengakibatkan kenaikan harga yang sangat tinggi. Kondisi ini bagi kapitalis memberikan keuntungan yang besar dalam perniagaan dan pepabrikan ,tetapisebagai sumber kehancuran tuan – tuan tanah besar dan minculnya jumlah buruh upahan dalam jumlah yang besar. Di Inggir keadaan ini menjadi suatu prkondisi munculnya revolusi Inggris.

Ada dua cara kemajuan kapitalis yang berlawanan : pertama ,kelas pedagang murni bergerak menjadi produsen. Kedua para produsen kemudian mengumpulkan kapital untuk memperluas perniagaan dan bidang kegiatan. Marx melihat dua tingkatan organisasi produksi pada era kapitalisme : Tingkat pertama adalah dikuasai pabrikan, ciri ini ditandai dengan digantinya ketrampilan pertukangan dengan tugas khusus yang dilakukan oleh pekerja yang secara kolektif melakukan sesauatu secara sendiri. Proses ini lebih efisien. Kedua,dorongan untuk menciptakan efisiensi telah melahirkan mekanisasi. Perkembangan mekanisasi yang semakin rumit merupakan satu faktor dari sentralisasi ekonomi dalam kapitalisme.







KONFLIK SOSIAL
(Kuliah Prof Maswadi ke 3) Referensi utama : Smelser 86 - 98

Menurut Marx dalam sejarah manusia dipenuhi oleh konflik sosial. Teori Marx menyatakan hanya ada dua kelas dalam masyarakat (kelas borjuis dan kelas proletar). Revolusi proletar memusnahkan /menghilangkan satu kelas (kelas borjuis). Materialisme sejarah berhenti setelah terjadinya revolusi. Paska revolusi tidak ada lagi perjuangan kelas.

Dalam Materilisme sejarah, ekonomi dianggap sebagai faktor determinan “penentu “ sementara faktor lain diabaikan . pendekatan deterministik ini banyak digunanakan oleh ilmuawan sosial dan dianggap menyederhanakan persoalan (simplifikasi).. padahal faktor – faktor lain saling berinteraksi. Pemakaian teori deterministik untuk mempermudah persoalan yang rumit,karena ia mengabaikan beberapa faktor. Pendekatan ini sarat dengan kritik.

Garis besar teori Marx tentang konflik mencakup beberapa pokok bahasan : Penyebab konflik, siapa yang konflik intensitas konflik dan penyelesaian konflik.

I. Apa penyebab terjadinya konflik.
Konflik terjadi karena faktor ekonomi ( determinasi ekonomi ). Yang dimaksud dengan
Faktor ekonomi disini adalah penguasaan terhadap alat produksi.

II. Siapa yang konflik ?
Konflik terjadi antara dua kelas (Borjuis dan Proletar ). Konflik ini bersifat mendalam dan sulit diselesaikan. Perbedaannya bukan dalam cara hidup melainkan perbedaan dalam kesadaran kelas. Dalam teori Marx eksistensi sosial menentukan kesadaran dan perbedaan kelas (kaya miskin) .Perbedaan ini mencakup dalam materi dan psikologi. Perbedaan antara kelas borjuis dan kelas proletar tidak hany terdapat pada cara hidup melainkan juga cara berfikir. Orang komunis menganggap penting kesadaran, makanya mereka mementingkan sosialisasi dan indoktrinasi dan Brainwashing

Pola Konflik : Kelas sosial ----- Konflik ------ Revolusi.
Dalam konflik sosial kaum proletar tidak mau dan tidak bisa melepaskan diri . Mereka terpaksa dan ditindas. Dalam paksaan dan penindasn ini hukum tidak dapat dijatuhkan kepada majikan


SUMBER KONFLIK SOSIAL

( Kuliah ke 4 ), referensi utama GIDDEN 43 –56

Sesuai dengan faham determinisme ekonomi yang dianut oleh Marx bahwa konflik hanya terjadi dalam dunia Industri, sedangkan konflik yang lain merupakan perpanjangan tangan dari konflik yang terjadi dalam dunia Industri. Dalam pandangan determinisme ekonomi bangunan infrastruktur ekonomi atau alat produksi menentukan bangunan suprastruktur yang berupa politik dan pemerintahan. Dalam pandangan Marx , konflik dimulai dari infrastruktur ekonomi kemudian menjalar ke supra-struktur. Teori Infrastruktur yang mempengaruhi suprastruktur ini merupakan teori Ekonomi- politik Marx yang masih relevan samapai sekarang.(MR)

Sumber Konflik


Sumber konflik itu sendiri dapat dikaji dari teori perjuangan kelas yang dikemukakan oleh Marx . Menurutnya sejarah manusia itu dipenuhi oleh perjuangan kelas.antara kebebasan dan perbudakan ,bangsawan dan kampungan ,tuan dan pelayan,Kepala serikat pekerja dan tukang. Dengan kata lain posisi penekan dan yang ditekan selalu bertentangan (konflik) dan tidak terputus.(The Manifesto dikutip dari PPB A Suhelmi 269). Perjuangan kelas bersifat inheren dan terus menerus . Penekanan itu dapat berupa penindasan . Marx juga melihat bahwa perkembangan selalu terjadi dalam konflik kelas yang terpolarisasi antara kelas yang bersifat salaing menindas. Hubungan antara kelas ini menurut Marx akan menciptakan Antagonisme kelas yang melahirkan krisis revolusioner. Revolusi yang dimaksud oleh Marx tentunya bukan revolusi damai, melainkan revolusi yang bersifat kekerasan. (PBB A Suhelmi 270).Konflik terjadi karena adanya penindasan yang dilakukan oleh kaum borjuis yang memiliki alat –alat produksi kepada kaum proletar atau buruh yang bekerja untuk para borjuis dapat dijelaskan melalui “The Theory of Surplus Value” . Teori ini secara singkat dapat diartikan sebagai sebuah perbandingan yang lebih rendah antara gaji yang diterima buruh dibandingkan dengan tenaga yang disumbangkan untuk menghasilkan suatu komoditi. Lalu mengapa buruh mau dengan gaji yang rendah itu ?. karena posisi tawar buruh dibanding terhadap majikan sangan rendah. Untuk menghitung niali tenaga kerja dapat digunakan teory Locke “Labor theory of value,untuk menentukan nilai suatu benda dapat dihitung dari nilai tenaga kerja yang diserap oleh benda itu. Dengan kata lain semakin komoditi itu memerlukan tenaga kerja ,maka semakin mahal komodity tersebut .Komodity = Bahan mentah + alat produksi + Buruh . Harga bahan mentah dan alat produksi bersifat tetap. Sisa nilai tenaga kerja dengan niali buruh diambil oleh kaum majikan sebagai keuntungan. Disinailah terjadinya penindasan dimana majikan memeras buruh karena gaji yang dibayarkan oleh majikan kepada buruh itu hanya pas –pasan tidak wajar . dan ini bertentangan dengan hak Azazi manusia . Dampak dari penindasan ini adalah terjadinya proses pemiskinan dalam buruh, karena seberapapun keuntungan yang diterima majikan, gaji buruh akan tetap tidak naik. Dampak penindasan adalaha menumpuknya modal ditangan para majikan .(MR). Akar konflik konflik juga disebabkan oleh hubungan pemilikan dan penggunaan produksi aktif yang mengakibatkan ketimpabngan dalam distribusi kekayaan dan produksi industrial .


Prinsip dasar teori Marx adala memberikan kepercayaan kepada orang miskin untuk dapa memperbaiki diri sendiri.

Penindasan ini kahirnya akan menyebabkan frustasi dan keteransingan. Keterasingan ini selanjutnya akan melahirkan revolusi proletariat. . Ada tiga macam keterasingan menurut F Magniz. S :
1. Keterasingan terhadap diri sendiri karena tidak bisa mengontrol labor.
2. Keterasingan dari komoditas yang dihasilkan karena, komoditas dikontrol oleh majikan.
3. Keterasingan dari masyarakat karena terpaksa bekerja

Kritik.

1. Teori bahwa sumber konflik hanya dari ekonomi, infrastruktur belum tentu berlaku universal.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa gaji buruh tidak naik, tidak benar. Karena faktanya gaji naik. Jadi revolusi seperti yang digambarkan marx tidak pernah terjadi. Bahkan pada abad ke 20 negara – negara industri mengeluarkan peraturan perburuhan yang melindungi hak – hak buruh.
3. Marx juga “kacamata kuda “ dalam melihat sumber konflik dari determinasi ekonomi. Faktanya Agama dan politik juga merupakan faktor determinatif dalam perubahan sosial. Nasionalaisme juga menjadi akar dari perubahan sosial .
4. Marx juga tidak mampu menjelaskan “Strtifikasi sosial” atau terlalu menyederhanakan kelas.

Pengaruh teori Marx .

Pada th 70 , kelompo Neo Marx melahirkan teori “Dependensia”. Teori ini menyebutkan bahwa Dunia ketiga selalu tergantung dengan negara maju. Jadi sebenarnya di dunia ketiga tidak pernah terjadi pembangunan, yang ada adalah penindasan dari negara maju.

Sumberkonflik :
1) Eksploitatif antara pemilik modal dan dan pekerja :
2) Nilai lebih tidak dibagikan kepada buruh .Eksploitatasi dan menyebabkan frustasi .

Pada zaman Mark terjadi rvolusi Industri , terjadi urbanisasi, perobahan faktor produksi dari tanah menjadi labour.










REVOLUSI PROLETARIAT

S. Yunanto


TEORI PERKEMBANGAN KAPITALISME

Kapitalisme sebagai suatu sistem dapat dikaji dari dua sisi: Proses dan Output . Dari sisi proses, kapitalisme hanya mengenal satu hukum yaitu hukum tawar menawar ekonomi yang bebas dari intervensi penguasa dan pembatasan tenaga kerja. Dari sisi output nilai yang dihasilkan oleh kapitalisme adalah nilai tukar bukan nilai pakai. Artinya orang memproduksi sesuatu untuk dijual.Tujuannya bukan barang melainkan uang (Magniz). Kapitalisme sebagai sebuah sistem produksi komoditi tidak hanya terbatas dalam meproduksi untuk kebutruhannya sendiri,melainkan juga untuk kebutuhan pasar pertukaran (Excange Market ).Setiap komoditi mempunyai dua nilai : Yaitu nilai pakai (use value ) dan Nilai tukar (Excange value ). Nilai pakai direalisasikan dalam proses konsumsi, sedang nilai tukar direalisasikan jika produk itu akan ditukarkan dengan barang lain. Nilai tukar mempunyai “Nilai Ekonomi yang Pasti “ yang mempunyai kaitan dalam komoditi. Dengan mengambil teori Ricardo dan Smith, Marx berpendapat, bahwa setiap objek akan mempunyai nilai jika melibatkan tenaga kerja manusia untuk memproduksinya. Nilai tukar harus didasarkan kepada ciri khas pekerjaan yang dapat diukur kuantitasnya. Cara mengukur kuantitas adalah dengan memperhatikan “Pekerjaan umum yang abstrak”.yang diukur dari jumlah waktu yang terpakai. “Pekerjaan umum yang abstrak” inilah yang menjadi dasar dari “nilai tukar”. Dalam menghitung waktu yang dibutuhkan untuk suatu pekerjaan, Marx mengajukan teori tentang “ waktu kerja sosial yang dibutuhkan” ( Socially necessary labor time ). Pengertiannya adalah Jumlah waktu yang diperlukan untuk memproduksi komoditi dibawah kondisi produksi yang normal dengan intensitas ketrampilan yang rata – rata . Teroi ini dapat dilakukan dengan penelitian empiris .

TEORI SURPLUS

Marx tidak menaruh perhatian terhadap hukum permintaan pasar yang dikatakan dalam posisi seimbang. Permintaan tidak menentukan nilai, meskipun menentukan harga. Permintaan sangat menonjol dalam alokasi tenaga kerja. Permintaan bukan variabel bebas, melainkan ditentukan oleh kelas yang berbeda dan diciptakan dari penghasilan yang dari kelas. Para kapitalis membeli tenaga kerja dan menjual atas nilai yang sebenarnya, atau para kapitalis membisniskan tenaga kerja atau daya kerja di pasaran. Nilai daya kerja ini ditentukan oleh waktu yang secara sosial dipakai untuk produksi. Daya kerja menyangkut energi fisik yang dibutuhkan. Untuk memperbaiki daya buruh harus dipenuhi kebutuhan sandang, pangan , papan, dan kebutuhan keluaraga. Kondisi kerja yang modern dengan adanya mekanisasi memungkinkan seorang buruh untuk memproduksi barang yang lebih banyak dari yang ia gunakan untuk menutupi beaya hidupnya. Kemampuan untuk memproduksi dengan jumlah yang lebih banyak ini disebut “nilai surplus”. Nilai surplus ini sebagai sumber keuntungan atau keuntungan sebagai permukaan yang tampak dari nilai surplus.Dan nilai surplus ini sebagai sumber pemerasan.

Dalam kaitannya dengan beaya , Kapitalis mengeluarkan beaya untuk tenaga kerja yang disebutnya sebgai “modal Variabel” dan beaya yang dikeluarkan untuk faktor –faktor produksi yang lain seperti gedung, bahan baku, mesin yang disebutnya sebagai “modal konstan” . Hanya modal variabel yang menciptakan nilai modal konstan yang dalam proses produksi tidak mengalamai perobahan. Pola ini ditulis dalam rumus P = S/c + V artinya semakain rendanh rasio modal konstan terhadap modal variabel, semakain tinggi keuntungan . Teori ini berlaku secara variatif terhadap sektor produksi yang berlainan. Komoditi tidak bisa dijual berdasarkan nilainya melainkan berdasarkan “harga produksi”. Para kapitalis mengambil keuntungan yang dihasilkan dari niali surplus jauh lebih besar dari nilai surplus yang terbentuk. Sebelum era kapitalisme barang barang dijual berdasarkan nilainya seperti dalam sistem perdaganagan barter, setelah kapitalisme barang ditransaksikan berdasarkan nilai tukar .

Catatn : untuk meramalkan harga dengan menggunakan teori marx ini sangat sulit, karena teorinya berbelit –belit dan kusut.

KONTRADIKSI EKONOMI KAPITALIS

Menurut Marx, dalam kapitalis modal bukan untuk memenuhi kebutuhan tetapi untuk mengejar keuntungan. Pada saat tertentu keuntungan itu akan menurun. Keuntungan tergantung dari nilai surplus dan nilai surplus akan tergantung dari rasio antara Modal konstan terhadap modal Variabel. Selain itu kapitalisme berkembang dengan persaingan. Persaingan menuntut efisiensi produksi dengan mekanisasi, pembelian mesin – mesin. Pembelian mesin ini kan menaikkan komposisi modal organik yang selanjutnya menurunkan keuntungan. Yang dimaksud keuntungan ini adalah tingkat laba yang menurun walaupun tingkat keuntungan absolut meningkat. Peningkatan modal konstan sering diikuti oleh peningkatan modal Variabel (tenaga kerja). Untuk mengimbangi penurunan ini, para kapitalis akan memasukkan bahan mentah yang murah agar nilai surplusnya meningkat. Nilai surplus ini seharusnya untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Faktanya upah buruh semakin ditekan, buruh semakin dieksploitasi dengan perpanjangan hari kerja untuk menciptakan efisiensi. Cara lain untuk meningkatkan “surplus” dengan mengoptimalisasi mesin dan efisiensi upah. Padaha upah mempunyai mekanisme yang bebas dan tidak ditentukan oleh faktor dari kapitalis.

Faktor krisis dari kapitalisme juga disebabkan karena sistem pertukaran ditentukan oleh uang bukan oleh nilai benda yang sebenarnya seperti yang terjadi pada masyarakat pra kapitalis. Kondisi ini akan menciptakan anarki . Dibarengi dengan keinginan untuk mengambil keuntungan, kapitalisme akan menghasilkan suatu komoditi yang menumpuk tanpa dibarengi dengan daya jual. Kapitalisme menghasilkan suatu barang yang menumpuk sedang proletar tidak mampu membeli. Kondisi penumpukan bahan produksi ini tidak akan menghasilkan keuntungan yang seimbang dengan modal yang ditanam. Krisis kapitalisme akan terjadi jika perluasan produksi jauh melebihi dari kemampuan pasar untuk menampung.. Menurunnya keuntungan akan mengurangi investasi yang selanjutnya akan mengurangi tenaga kerja dan upah. Perusahaan kecil akan kalah bersaing dengan perusahaan besar. Pasar – pasar yang ditinggalkan oleh kapitalis kecil akan diambil oleh para kapitalis besar. Kondisi ini akan semakin mengkonsentrasikan modal pada kapitalis besar yang jumlahnya hanya sedikit. Hukum persaingan akan menekan beaya agar produk dapat dijual murah. Dalam efisiensi ini hanya usaha yang besar yang memenangkan persaingan. Kecenderungan ini akan mengarahkan kepada suatu keadaan dimana hanya tinggal dua kelas sosial: Kelas pemodal yang jumlahnya kecil dan kelas buruh yang jumlahnya banyak. Kelas menengah dan pemodal kecil akan tersapu menjadi kelas buruh karena kalah bersaing. Sementara itu upah buruh akan semakin ditekan dan buruh akan semakin melarat. Kondisi ini akan semakain menyadarkan kaum buruh (Magniz). Jadi kegiatan kapitalisme sebenarnya bukan berpusat pada produksi , melainkan modal yang disebut sebagai titik awal dan titik akhir dari kapitalisme .

TESIS PEMFAKIRAN (Pauperisation )atau PEMELARATAN (Emiseration)

Marx tidak pernah meramalkan berakhirnya kapitalisme dengan suatu krisis yang luar biasa (G 69),walaupun Marx percaya bahwa Kapitalisme akan hancur . Kehancuran itu tergantung dengan hukum yang mengendalikannya dan keadaan tertentu dalam sejarah. Krisis akan berlangsung dalam bentuk resesi setelah terjadinya kemakmuran dimana terdapat sedikit pengangguran dan upah cukup tinggi. Dalam ekonomi kapitalisme akan terjadi pengangguran yang kronis dengan adanya “angkatan cadangan” dalam industri yang juga disebut “penduduk surplus relatif, yaitu buruh yang jumlahnya terus meningkat akibat mekanisasi yang bertindak sebagai penekan upah yang tetap. Menurut Marx Buruh juga merupakan komoditi, tetapi sifatnya lain dibanding dengan komoditi lainnya dalam hubungan harga dan nilai. Perbedaannya adalah jika dalam komoditi harga naik, maka modal akan mengalir kepada komoditi tersebut. Hal ini tidak bisa terjadi dalam buruh, tak seorangpun dapat memproduksi buruh jika harganya naik.

Jika pemintaan akan buruh naik, maka angkatan kerja cadangan akan terserap ke pasar dan upah akan tetap rendah. Angkatan kerja cadangan ini menghalangi naiknya upah buruh .Keadaan ini telah menyebabkan terjadinya kemiskinan fisik (emiseration ) atau, pemfakiran (pauperisation ). Pemfakiran didistilahkan oleh Marx sebagai rumah sakit terhadap buruh dan bobot mati terhadap angkatan cadangan. Konsep ini juga menjadi sasaran kritik terhadap teori Marx. Meningkatnya angkatan cadangan akan semakin mempermiskin buruh. Ada dua tema yang sering menjadi pusat analisis Marx salah stunya bahwa kapitalisme akan menciptakan disparitas pendapatan yang luar biasa antara buruh dan pemilik modal, dan kapitalisme akan memproduksi angkatan cadangan yang terus terpuruk dalam kemiskinan. Proses pemiskinan ini menciptakan apa yang disebut sebagai penindasan terhadap buruh. Pemiskinan ini juga disebabkan karena paradox yang terjadi dimana para kapitalis terus menimbun kekayaan, sementara upah buruh tidak pernah naik diatas tingkat kehidupan cukup. Disinilah terjadinya suatu kontradiksi internal dalam kapitalisme.(71). Pemiskinan selanjutnya menjadi sumber (acuan ) terhadap proses keterasingan terhadap pembagian kerja.

Konsentrsi dan Sentralisasi modal
Kapitalisme menciptakan konsentrasi dan sentralisasi modal .Konsetrasi modal merupakan proses akumulasi modal yang dikontrol oleh individu. Sedang sentralisasi berkaitan dengan penyatuan modal. Kondisi ini dibarengi dengan sikap persaingan antara para kapitalis yang memaksa mereka untuk menurunkan harga. Persaingan ini akan dimenangkan oleh kapitalis besar yang menguasai banyak sumber dan bisa lebih efisien. Sentralisasi modal juga mendapat dukungan kredit dari perbangkan . Sentralisasi modal akan memindahkan modal dari tangan individu kapitalis melalui sistem perbangkan. Sistem perbankan merupakan perusahaan kapitalis yang menghilangkan sifat pribadi modal. Konsentrasi dan sentralisasi modal ini berjalan seiring dengan berkembangnya modal korporasi, yaitu suatu model usaha yang menekankan kepada modal bersama (persero) yang oleh Marx dianggap sebagai suatu perkembangan mutakhir dari kapitalisme. Sistem persero ini juga memisahkan antara pemilik modal dengan para pekerja (manajer). Para pemilik modal ini mengambil alih banyak kekayaan dari para pemroduksi. Persero menciptakan suatu pengendalian monopoli baru dan menciptakan hubungan penindasan yang baru. Kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak stabil,dibangun diatas antagonisme, dan kontradiksi yang berpusat pada hubungan yang asimetris terhadap buruh – upah – modal. Situasi ini akan mendorong terhadap kehancuran kapitalisme. Proses perkembangan kapitalisme akan melahirkan suatu perobahan sosial yang obyektif dalm menciptakan kesadaran proletariat yang mentransformasi kearah praksis revolusioner. Kemiskinan relatif dari buruh, kesengasaraan fisik angkatan cadangan, penyusuan upah, dan pengangguran yang cepat menumbuhkan potensi terhadap terjadinya revolusi . Pada saat yang sama para buruh menciptakan suatu asosiasi (organisasi kolektif ) yang menjadi landasan terhdap terbentuknya sosialisme.

Catatan : Marx hanya menggambarkan secara sepintas dan seoptong –potong akan kondisi masyarakat yang akan menggantika masyarakat kapitalisme, yang unsur – unsurnya juga diambil dari masyarakat kuno.

Kehebatan Kapitalisme

Untuk mengetahui pandangan Marx tentang masyarakat sosialisme dapat dilihat dalam kedua Karyanya “Manuscript 1844” dan “ Critic of the Gotha programme”. Kedua buku itu membahas tentang ciri- ciri perkembangan masyarakat sosialisme. Pertama, ciri – ciri feodalisme nampak, ciri masyarakat kapitaslime berkembang dan diakhiri dengan penghentian pemilikan pribadi, upah didistribusikan secara pasti, jumlah produksi sosial diambil untuk kepentingan kolektif. Dalam tahap ini masih memakai tolok ukur masyarakat borjuis. Dalam tahap ini , Marx melakukan kritik terhadap Hegel dalam hal peran Negara. Menurut Marx bahwa sasaran gerakan buruh adalah untuk menempatkan posisi negara yang tidak dibebaskan, akan tetapi merobah posisi negara dari organ yang diterapkan diatas masyarakat menjadi organ yang berada dibawah masyarakat. Tahap menengah adalah “Diktatur proletariat”. Dalam tahap ini, proletar menggunakan kekuasaan politiknya setelah memenagkan revolusi untuk merenggut semua milik kaum Borjuis dan mensentralisasi semua instrumen produksi ketangan negara, yaitu kelas proletar yang dominan. Kekuasaan politik proletar ini akan berakhir dan masyarakat akan menuju kepada suatu negara yang berada dibawah masyarakat dimana administrasi umum dilakukan oleh masyarakat sebagai keseluruhan. Ciri –ciri negara menurut Marx terlihat dalam Komunitas Paris. Dalam Komunitas ini anggota dipilih atas dasar hak –hak universal dan merupakan badan kerja bukan badan Parlemen, mempunyai fungsi eksekutif sekaligus legislatif, pejabat polisi, kehakiman dan lain-lain dipilih, bertanggung jawab dan dapat diberhentikan(76) . Negara sebagai kelas lama kelamaan akan menghilang. Pandangan Marx tentang negara sebenarnya menempatkan pentingnya Borjuis yang walaupun bersifat paksaan akan melampaui Masayarakat kapitalisme . Arah transisi masyarakat kearah masyarakat Komunisme juga ditandai dengan hilangnya “Pembagian Kerja “ sebagai upaya mengatasi keterasingan. Masayrakat yang akan datang akan menggantika buruh yang ada sekarang dengan individu – individu yang sehat, kuat, dengan beragam pekerjaan.


REVOLUSI SOSIALIS (Proletariat)

Kapitalisme menciptakan suatu kondisi dimana hanya tinggal dua kelas. Kelas pemodal yang jumlahnya sedikit dan semakin kaya dan kelas proletar yang jumlahnya banyak yang semakain miskin. Kapitalisme juga menghasilkan barang yang menumpuk tetapi para proletar tidak mampu membelinya . Kondisi mendorong para proletar kepada dua pilihan: Mati atau memberontak dan melakukan revolusi.(Magniz). Revolusi proletar menjadi suatu peristiwa penting yang mengubah teori –teori marx sebelumnya seperti dalam Marterialisme sejarah. Revolusi ini juga menghapuskan kelas dari dua kelas (Borjuis –Proletar) menjadi satu kelas (proletar). Alat produksi tidak lagi berada di tangan rakyat yangdigunakan sebagai alat penindasan melainkan di tangan Negara ( Maswadi ). Revolusi proletar sebagai titik awal menghilangnya kelas dalam masyarakat (Classless) yang diikuti dengan menghilangnya peran negara secara pelan – pelan ( the withering away of the state ) (Maswadi)



Catatan , kritik dan dampak

Untuk meramalkan harga dengan menggunakan teori Marx ini sangat sulit, karena teorinya berbelit –belit dan kusut.(Gidden)

Pandangan Marx tentang pembagian pekerjaan tidak realistis jika dihadapkan dengan kondisi masyarakat Industri sekarang. Marx berdalih bahwa Mekanisasi yang terjadi dalam sektor industri akan menggeser peran buruh dari pelaksana menjadi pengawas atau Kontrol.(Gidden)

Dalam dunia modern dimana berkembang spesialisasi sulit dibayangkan suatu masyarakat tanpa pembagian . Masyarakat tanpa negara juga akan sulit dibayangkan. Bagaimana suatu proses pembagian kerja akan dijalankan .(Magniz)

Pada kenyataannya, sosialisme cenderung berkembang kearah etatisme. Negara membagi pekerjaan. Elit menjadi kelas baru yang korup. Gagasan Marx akan masyarakat tanpa kelas tidak realistis, melainkan hanya khayalan (Utopis).(Magniz)

Revolusi sosialis (proletariat) tidak benar –benar terjadi karena gaji buruh kemudian dinaikkan. Dengan naikknya gaji buruh, seluruh tesis Marx akan revolusi proletar gugur. Para musuh – musuh Marx (kapitalis ) melakukan bantahan terhadap tesis Marx dengan menaikkan upah buruh ( Self denying Prophecy ).(Maswadi).

Dalam teori Marx, dengan menghilangnya kelas dan menghilangnya negara akan menghilangkan konflik dalam masyarakat. Faktanya di Uni sovyet, negara hancur karena terjadinya konflik.(Maswadi)

Dampak dari pemikiran Marx ini adalah terjadinya perubahan di kalangan kapitalis Liberal yang mulai memikirkan nasib buruh dengan memberikan perlindungan –perlindungan dan memberi peran kepada negara untuk mengatur buruh. Selain itu negara – negara kapitalis liberal juga menerapakan progressive taxation dan memberikan suatu jaminan sosial ( Social security) (Maswadi ).

Jakarta 5 –10 -2002

Sumber :

1. Anthony Gidden , Kapitalisme dan teori sosial modern , Cambridge University Press
2. Franz Magniz Suseno,Pemikiran Karl Marx, dari sosialisme utopis ke perselisihan revisisonisme , P.T Gramedia Pustaka, Jakarta 2001.
3. Kuliah Prof.Dr. Maswadi Rauf.


posted by Radhar at Tuesday, October 15, 2002
~ Thursday, October 10, 2002

Jurnal Kuliah Teori Sosial Klasik (Senin, 16 September 2002, berdasarkan catatan kuliah: ZS)
Dosen: Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA

Konflik Sosial
Materialisme sejarah-seperti yang telah dijelaskan minggu lalu-mempunyai arti penting bagi teori Marx secara keseluruhan karena beberapa basis pemikirannya:
1. Perjuangan kelas merupakan sesuatu yang terjadi sepanjang masa yang didasarkan semata-mata karena penindasan si kaya terhadap si miskin.
2. Teori Marx ini didasarkan atas dua kelas (Borjuis dan Proletar), dia tidak melihat ada kelas lain di tengah-tengah masyarakat. (nantinya, menurut pikiran Marx, jika revolusi proletariat terjadi akan menghancurkan kelas borjuis dan menyisakan satu kelas saja yaitu kelas Proletar. Materialisme sejarah berhenti setelah adanya ketiadaan kelas).
3. Materialisme sejarah menunjukkan ekonomi sebagai faktor yang utama atau penentu (determinant) dalam menganalisis masyarakat borjuis. Dalam menganalisis persoalan sosial, Marx mengabaikan faktor-faktor sosial lainnya. Dalam kenyataannya ada banyak interaksi yang sangat rumit. Di sini Marx melakukan simplifikasi sehingga teori Marx yang deterministik sangat mudah dikritik.

Teori konflik Marx adalah sebuah teori konflik yang utuh. Marx menggambarkan semua aspek yang ada dalam konflik, yaitu:
1. Adanya penyebab konflik
Penyebab konflik bagi Marx adalah masalah ekonomi (the ownership of means of production)
2. Siapa saja yang berkonflik
Dari poin pertama maka muncul dikotomi kelas yaitu, kelas borjuis dan kelas proletar (Borjuis menindas Proletar)
3. Sejauhmana intensitas konflik tersebut
Intensitas konflik mengakibatkan adanya kelas yang ditindas (proletar ditindas oleh borjuis)
4. Bagaimana penyelesaian konflik tersebut.
Konflik akan mengakibatkan kesadaran para kaum proletar nantinya berada dalam kondisi yang sama. Penindasan akan mengakibatkan frustrasi, dan frustrasi akan mengakibatkan revolusi. Revolusi proletarlah nantinya yang akan menyelesaikan konflik.

Penyebab konflik bagi Marx adalah masalah ekonomi (the ownership of means of production) sehingga nantinya muncul dua kelas yang saling bertentangan. Konflik dua kelas ini bukan konflik yang sederhana tapi merupakan sebuah konflik yang mendalam dan sulit diselesaikan. Perbedaan lain selain hal ekonomi (kekayaan) yang muncul dari dua kelas ini adalah tentang kesadaran yang berbeda antara bojuis dan proletar. Marx berpendapat bahwa bukan kesadaran yang menentukan keberadaan tapi justru sebaliknya, keberadaanlah yang menentukan kesadaran. Kesadaran bagi Marx sangat penting. Tapi beberapa ahli justru mengkritik pendapat Marx ini, bagi mereka orang yang mempunyai kemampuan nalar yang tinggi mempengaruhi eksistensinya. sehingga pola pikir sebuah masyarakat mempengaruhi eksistensi masyarakat itu sendiri. Dan ada pandangan lain yang mengatakan bahwa masyarakat maju secara ilmu pengetahuan adalah masyarakat yang kaya secara kebendaan. Sehingga perbedaan.

Dua kelas yang berkonflik, menurut Marx, mempunyai perbedaan karakteristik. Kaum borjuis (minoritas) adalah kaum yang jahat, rakus, dan serakah. Mereka tidak pernah memikirkan nasib kaum proletar. Sementara kaum proletar merupakan kaum yang baik hati, tertindas dan tidak bisa berbuat apa-apa dan terpaksa untuk ditindas. Penindasan yang dilakukan oleh kaum borjuis sama sekali tidak melanggar hukum yang berlaku di saat itu. Karena hukum hanya mewakili kepentingan kaum borjuis dan tidak mengakomodir kepentingan kaum proletar.
posted by Mark at Thursday, October 10, 2002

Jurnal Kuliah Perdana Teori Sosial Klasik (Jumat 6 September 2002, berdasarkan catatan kuliah: ZS)
Dosen: Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA

Dalam mata kuliah Teori Sosial Klasik akan dibahas tiga pemikiran tokoh intelektual Eropa yaitu Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Webber. Pemikiran ketiga tokoh ini merupakan basis dari teori-teori kontemporer. Dengan merujuk kepada pemikiran tokoh-tokoh ini, pemahaman dan ketajaman analisis terhadap masalah-masalah sosial kontemporer akan lebih baik.

Karl Marx
Marx merupakan sosok pemikir yang banyak menimbulkan kontroversi karena teori sosialnya tidak hanyak sebagai sebuah pemikiran tapi juga sebagai sebuah ideologi. Dalam prakteknya sebuah pemikiran filosof dapat berubah menjadi sebuah ideologi. Pada masa setelah Marx, masyarakat melihat pemikiran-pemikirannya sebagai sebuah kebenaran mutlak (dogma). Webber dan Durkheim tidak mengalami seperti apa yang dialami oleh Marx. Gagasan-gagasan mereka hanya tinggal menjadi sebuah pemikiran yang masih bisa diperdebatkan, didiskusikan. Mereka hanyalah para akademikus.

Perbedaan lain antara Marx dengan pemikiran Webber serta Durkheim adalah, "cara memandang perubahan sosial". Webber dan Durkheim melihat perkembangan sosial dengan memahami perkembangan tersebut serta mencari solusi terhadapnya.Tapi Marx justru melihat lebih jauh, dia tidak hanya mencari solusi tapi juga menganjurkan kepada masyarakat yang dibelanya untuk melakukan solusinya (action/praxis) dalam mengubah kondisi sosial. Adapun perbedaan lainnya adalah, Webber dan Durkheim melakukan observasi dengan asumsi-asumsi yang tidak memihak sedangkan Marx dari awal sudah melakukan pemihakan terhadap sekelompok masyarakat yang diamatinya dan mempunyai posisi tertentu. Sehingga jika nantinya Marx menemukan fakta yang tidak mendukung posisinya, dia akan mengabaikannya atau berpura-pura tidak tahu. Benar kiranya bahwa Marx a priori dan tidak objektif, tapi dalam menarik kesimpulan beberapa pemikirannya tetap relevan sepanjang masa.

Isi dari pemikiran Marx merupakan pembahasan terhadap kebenaran adanya kesewenang-wenangan dari satu pihak terhadap pihak lainnya. Ada pihak yang penindas dan ada pihak yang tertindas. Teori sosialnya menggambarkan betapa buruk nasib yang tertindas serta betapa jahatnya sikapnya si penindas.Dalam kondisi sekarang, ada salah satu pemikirannya yang masih relevan yaitu: hubungan penguasa dan pengusaha. Pengusaha mempunyai kepentingan ekonomi dan penguasa mempunyai kewenangan politik untuk memenuhi kepentingan ekonomi para pengusaha.

Materialisme Sejarah
Ciri yang menonjol dari Marx adalah pemikirannya sangat radikal dan dia melihat bahwa perubahan sosial harus menyeluruh/total, cepat dan kohesif/kekerasan serta tiba-tiba (lebih dikenal dengan revolusi). Pada masa Industri di mana Marx hidup, dia melihat kehidupan kaum borjuis tidak punya unsur-unsur positif, baik dari masyarakatnya maupun negara, yang bisa dipertahankan. Menurut Marx, kebanyakan filosof hanya menafsirka apa yang terjadi, seharusnya yang perlu dilakukan adalah merombak masyarakat lama menjadi masyarakat baru yang berbeda dalam banyak hal. Sumber dari segala kebobrokan masyarakat adalah liberalisme dan kapitalisme serta demokrasi. Dengan kata lain, Liberalisme menghasilkan Kapitalisme di bidang ekonomi dan Demokrasi di bidang politik. Dalam paham liberal, rakyatlah yang menentukan segalanya. Dan dalam sistem kapitalisme, untuk bisa membawa masyarakat menuju kemajuan dibutuhkan pemodal (pemilik uang) yang haus akan kekayaan. Ciri konkrit kemakmuran: tersedianya barang atau komoditas dalam jumlah besar dan terjangkau dari segi harga beli. Tujuan kapitalis adalah keuntungan bukan amal. Marx menyalahkan semua proses ini. Dalam proses ini, Marx melihat adanya penindasan kaum borjuis terhadap kaum buruh dalam rangka memperbesar modalnya.

Materliasme Sejarah merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa sejarah umat manusia ditentukan oleh materi (benda). Material di sini adalah benda yang mempunyai arti penting dalam masyarakat yaitu alat produksi (means of production). Hal penting pada masa tersebut adalah siapa yang menguasai alat produksi maka ia/mereka akan menguasai masyarakat. Alat produksi adalah setiap alat yang menghasilkan produk/komoditas. Para pemilik alat produksi adalah orang kaya dan yang tidak memiliki alat produksi adalah orang yang ditindas dan dipaksa (terpaksa?) bekerja. Dalam materialisme sejarah-nya Marx mengungkapkan selalu adanya konflik antara pemilik dan bukan pemilik alat produksi yang tiada henti-hentinya.

Marx membagi lima kelas masyarakat berdasarkan means of production:
1. Masyarakat agraria primitif: Alat produksinya adalah tanah.
2. Masyarakat perbudakan: Alat produksinya adalah budak itu sendiri.
3. Masyarakat feodal: Alat produksinya adalah tanah.
4. Masyarakat borjuis: Alat produksinya adalah industri.
5. Masyarakat komunis (cita-cita Marx): Tidak ada lagi kepemilikan alat-alat produksi oleh individu atau kelompok masyarakat.

Orientasi Marx adalah faktor ekonomi sehingga dapat dikatakan bahwa Marx adalah seorang economic determinist. Baginya faktor ekonomi mempunyai peran yang sangat menentukan dalam masyarakat (economic determinant).

Note:
(Sile kiranya untuk dikritik. ZS)
posted by Mark at Thursday, October 10, 2002
~ Friday, September 27, 2002

Hello kawan-kawan Ilmu Politik (S2). Saya, Mark Temple (eitranslation@hotmail.com) selaku Redaktur Jurnal TSK, menghimbau pada anda semua untuk mengirim pikiran-pikiran anda pada saya agar dapat dimasukkan ke Jurnal TSK kita.

Sebenarnya, TSK ini merupakan mata kuliah yang sangat menarik, karena topik-topik yang dibahas mempunyai hubungan yang teramat penting dengan situasinya sekarang. Dengan pembahasan tentang Marx, Weber dan Durkheim, kita akan memperoleh pengetahuan tentang tiga pemikir terbesar dari abad ke-19. Abad ke-19 itu merupakan era baru yang menimbulkan kapitalisme (dalam bentuk yang kita ketahui sekarang), dan gerakan sosial dan sosialisme, dan kritisme terhadapnya.

Jurnal ini diperuntukkan bagi kita semua. Apa saja pendapat anda, tolong saya dikasih tau ya! (Makalah2, catatan kuliah, pusi, surat cinta/pujian (dan penolakan) pada Karl Marx, Emile Durkheim dan Max Weber). English versions are also welcomed - after all I am an Englishman abroad (and I miss my mother tongue!).
posted by Mark at Friday, September 27, 2002


KAPITALISME: sekilas sejarah

*) AG. Eka Wenats Wuryanta
Pengantar
Tak seorang pun manusia di dunia ini lepas dari kecenderungan untuk menjadi kapitalis. Juga tak ada satu pun perusahaan yang bisa bebas nilai dengan tendensi kapitalisasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa apa saja yang dimakan, ditonton, dinikmati, diminum, ditiduri atau dipakai adalah produk-produk kapitalisme. Hasil teknologi yang mengagumkan, proses industrialisasi yang begitu dramatis, penjelajahan dunia baru, penyebaran agama dan budaya tidak bisa melepaskan diri dari usaha dan hasil rekayasa sosial yang diolah oleh pelaku-pelaku kapitalisme.
Bisakah kita mendefinisikan diri sebagai seorang yang anti kapitalisme? Mampukah sekarang kita yang hidup dalam dunia pasar ini bisa merumuskan diri sebagai seorang yang a-kapitalis? Kalau ada orang yang bisa menjawab dengan arogan bahwa dia adalah anti kapitalisme atau a-kapitalis maka dapat dipastikan orang itu adalah mania Robinson Crusoe atau seorang manusia langka yang a-historis, tidak realistis dan tidak tahu diri. Tenaga dan kekuataan kapitalisme begitu mengakar dan tertanam dalam seluruh kehidupan manusia. Tak sejengkal dan seinci tubuh manusia yang bisa terhindar dari jamahan kapitalisme. Mengapa kapitalisme sebagai ideologi dan praktek hidup bisa sedemikian mengakar? Itulah pertanyaan yang seharusnya dan relevan diajukan.
Definisi
Kapitalisme secara etimologis berasal dari kata caput, yang artinya kepala, kehidupan dan kesejahteraan. Makna modal dalam kapital seharusnya diinterpretasikan sebagai titik kesejahteraan. Dengan makna kesejahteraan, definisi kapital mulai dikembangkan dengan arti akumulasi keuntungan yang diperoleh dalam setiap transaksi ekonomi. Oleh sebab itu, interpretasi awal dari kapitalisme adalah proses pengusahaan kesejahteraan untuk bisa memenuhi kebutuhan. Dalam definisi ini, sebetulnya kapitalisme mempunyai definisi yang konstruktif-manusiawi. Pasti setiap orang mempunyai keinginan dasar untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam hidup sehari-hari.
Masalahnya dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam era revolusi industri, kapitalisme didefinisikan sebagai paham yang mau melihat serta memahami proses pengambilan dan pengumpulan modal balik (tentu saja yang sudah dikumpulkan secara akumulatif) yang diperoleh dari setiap transaksi komoditas ekonomi. Pada saat itu pula, kapitalisme tidak hanya dilihat sebagai ideologi teoritis tapi berkembang menjadi paham yang mempengaruhi perilaku ekonomi manusia.
Kapitalisme Purba
Kapitalisme purba adalah tahapan awal pembentukan kapitalisme yang ditemukan dalam bibit-bibit pemikiran masyarakat feodal yang berkembang di Babilonia, Mesir, Yunani dan Kekaisaran Roma. Para ahli ilmu sosial menamai tahapan kapitalisme purba ini dengan sebutan commercial capitalism. Kapitalisme komersial berkembang ketika pada jaman itu perdagangan lintas suku dan kekaisaran sudah berkembang dan membutuhkan sistem hukum ekonomi untuk menjamin fairness perdagangan ekonomi yang dilakukan oleh para pedagang, tuan tanah, kaum rohaniwan. Bahkan Max Weber pernah menyatakan bahwa akar kapitalisme berawal dari sistem Codex Iuris Romae sebagai aturan main ekonomi yang kurang lebih universal dipakai oleh kaum pedagang di Eropa, Asia Barat serta Asia Timur Jauh dan Afrika Utara. Aturan main ekonomi ini sebetulnya dimanfaatkan untuk memapankan sistem pertanian feodal. Dari aturan ini pula muncul istilah borjuis yang mengelompokkan sistem feodalisme yang disempurnakan dengan sistem hukum ekonomi itu. Kelompok borjuis dipakai untuk menyebut golongan tuan tanah - bangsawan dan kaum rohaniwan yang biasa mendiami biara yang luas dan besar.
Perkembangan selanjutnya adalah perkembangan kapitalisme yang dikenal sebagai tata cara dan “kode etik” yang dipakai oleh kaum merkantilis. Kaum pedagang yang banyak berkumpul di bilangan pelabuhan Genoa, Venice dan Pisa. Kaum merkantilis memakai kapitalisme sebagai tahap lanjutan sistem sosial ekonomi yang dibentuk. Tatanan ekonomi dan politik yang berkembang memerlukan hukum dan etika yang disusun dengan relatif mapan. Hal ini disebabkan terjadi perkembangan kompetisi dalam sistem pasar, keuangan, tata cara barter serta perdagangan yang dianut oleh para merkantilis abad pertengahan. Para merkantilis mulai membuka wacana baru tentang pasar. Ketika mereka berbicara tentang pasar dan perdagangan, mau tidak mau mereka mulai bicara tentang barang dagang (komoditas) dan nilai lebih yang nantikan akan banyak disebut sebagai the surplus value (nilai lebih). Dari akar penyebutan inilah, wacana tentang keuntungan dan profit menjadi bagian integral dalam kapitalisme sampai abad pertengahan.
Kapitalisme Industri
Pandangan merkantilis dan perkembangan pasar berikut sistem keuangan telah mengubah cara ekonomi feodal yang semata-mata bisa dimonopoli oleh para tuan tanah, bangsawan dan kaum rohaniawan. Ekonomi mulai bergerak menjadi bagian dari perjuangan kelas menengah dan mulai menampakkan pengaruh pentingnya. Ditambah lagi, rasionalisasi filosofis abad modern yang dimulai dengan era renaissance dan humanisme mulai menjalari bidang ekonomi juga. Setidaknya penulis akan menyebut tiga tokoh atau ikon ilmuwan filsafat sosial yang cukup memberikan pengaruh yang dramatis terhadap perkembangan kapitalisme industri modern. Mereka adalah Thomas Hobbes dengan pandangan egoisme etisnya, yang pada intinya meletakkan sisi ajaran bahwa setiap orang secara alamiah pasti akan mencari pemenuhan kebutuhan dirinya. Yang lain adalah John Locke. Dia menekankan sisi liberalisme etis, di mana salah satu adagiumnya berbunyi bahwa manusia harus dihargai hak kepemilikan personalnya. Tokoh lainnya adalah Adam Smith dan David Ricardo yang mencoba menukikkan pandangan dua tokoh sebelumnya dengan filsafat laissez faire dalam prinsip pasar dan ekonomi. Pandangan klasik Adam Smith menganjurkan permainan bebas pasar yang memiliki aturannya sendiri. Persaingan, pekerjaan dari invisible hands akan menaikkan harga kepada tingkat alamiah dan mendorong tenaga kerja dan modal beralih dari perusahaan yang kurang menguntungkan kepada yang lebih menguntungkan. Laissez faire adalah ungkapan penyifat. Pandangan ini menekankan bahwa sistem pasar bebas diberlakukan sistem kebebasan kepentingan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah.
Kapitalisme di tiga tokoh itu (Hobbes, Locke dan Adam Smith) mendapatkan legitimasi rasionalnya. Akselarasi perkembangan kapitalisme rasional ini memicu analisa dan praktek ekonomi selanjutnya. Akselarasi kapitalisme semakin terpicu dengan timbulnya “revolusi industri”. Kapitalisme mendapatkan piranti kerasnya dalam pencapaian tujuan utamanya, yaitu akumulasi kapital (modal). Industrialisasi di Inggris dan Perancis mendorong adalah industri-industri raksasa. Perkembangan raksasa industri mekanis modern ini memicu kolonialisme dan imperialisme ekonomi. Tidak mengherankan apabila dalam konteks ini terjadi exploitation l’homme par l’homme. Situasi penindasan yang ada menimbulkan reaksi alamiah dari orang-orang yang kebetulan mempunyai kepedulian sosial – kolektif yang mengalami trade-off dalam era industri. Salah satu orang itu adalah Karl Marx. Dia mereaksi adalah sistem yang tidak beres dalam kapitalisme yang cenderung menafikkan individu dalam konteks sosial.
Meski sosialisme sudah menjadi “budaya tanding” tetap saja kapitalisme maju dan semakin mapan dalam percaturan kehidupan manusia. Max Weber menganalisa bahwa kemapanan kapitalisme selain didukung dengan faktor sekular juga mendapatkan legitimasi religiusnya. Weber beranggapan bahwa ada kaitan antara bangkitnya kapitalisme dengan Protestanisme. Kapitalisme merupakan bentuk sekular dari penekanan Protestanisme pada individualisme dan keharusan mengusahakan keselamatannya sendiri. Nilai-nilai religi Kristiani terutama Aliran Calvinisme memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam perkembangan kapitalisme lanjut.
Kapitalisme Lanjut

Kapitalisme lanjut merupakan fase lanjutan dari kapitalisme industri. Kapitalisme industri memicu agregasi akumulasi modal bersama yang dikumpulkan melalui pembaruan perusahaan nasional dan multinasional. Dalam fase ini, kapitalisme bukan semata lagi hanya mengakumulasi modal tapi lebih dari itu, yaitu investasi. Dalam arti ini, kapitalisme tidak hanya bermakna konsumsi dan produksi belaka, tapi menabung dan menanam modal sehingga mendapatkan keuntungan berlipat dari sebuah usaha adalah usaha yang terus ditumbuhkan. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya didasarkan pada soal faktor produksi tapi juga faktor jasa dan kestabilan sistem sosial masyarakat. Oleh sebab itu, kapitalisme lanjut dengan refleksi sosialnya terus mengembangkan bagaimana mereka tetap berkembang mendapatkan keuntungan tapi tetap menyediakan lahan pendapatan yang cukup bagi para konsumen sebagai sekaligus faktor utama pasarnya.
Kapitalisme tahap ini mencapai puncak aktualisasinya melalui proses kewirausahaan ekonomi yang mencoba mengkombinasikan kembali peran pasar bebas dalam bidang ekonomi dengan intervensi negara dalam bidang politik.
Faktor modernisasi dalam wacana kapitalisme lanjut ini tidak terjebak pada dikotomi kapitalis sebagai pemilik modal dan buruh sebagai faktor produksi melainkan berlanjut pada wacana bagaimana akhirnya pekerja dihadapkan pada masalah kepemilikan bersama (share holder) dalam sebuah proses kapitalisasi yang tetap saja memberikan ruang pada keuntungan dan proses akumulasi investasi.
Debat pembangunan kapitalisme dalam konteks sistem dunia (E. Wallerstein) juga menambah kompleksitas proses kapitalisme sebagai raksasa ekonomi yang tak terelakkan. Debat lanjutan kapitalisme dalam konteks globalisme tidak cenderung menempatkan pada kekuatan sosialisme dan kapitalisme belaka melainkan relasi interdependen antar pelaku ekonomi yang justru meluas. Bahkan Anthony Giddens pernah menyatakan bahwa dinamika kapitalisme sebagai resultante yang saling terhubung dan tersinergi dalam kapitalisme itu sendiri, industrialisasi, pengawasan dan kekuatan militer.
Kapitalisme yang dijiwai oleh semangat mencari untung menjadi sumber dinamisme luar biasa, dan ketika bergandengan dengan industrialisme menghasilkan tahap global sekarang ini. Dunia yang kita huni sekarang juga dalam pengawasan yang terus-menerus, mulai di tempat kerja dan merambat pada masyarakat. Negara meniru pabrik. Gugus institusi ini masih ditambah dengan munculnya kekuatan militer sebagai penjamin stabilitas ekonomi sebagai syarat mutlak pasar yang bebas dan tenang. Kapitalisme lanjut semakin matang dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin merangsek kekuatan-kekuatan konvensional pasar tradisional yang ada.
Refleksi Kritis
Terlihat dalam sekilas sejarah ini, kapitalisme sebagai sebuah ideologi dan praktek sosial telah teruji dengan berbagai tantangan dan ujian. Masalahnya adalah ramalan Karl Marx tentang kontradiksi dalam kapitalisme tidak pernah terbukti secara empiris. Tapi justru kapitalisme menampakkan diri sebagai ide yang semakin berkembang, cepat belajar, kritis dengan dirinya sendiri, lentur dan fleksibel. Apa sebabnya?
Pertanyaan itu hanya bisa diajukan pada setiap manusia. Karena kembali pada awal, manusia diciptakan untuk memenuhi kesejahteraannya. Dan presis, kapitalisme dalam arti tertentu mampu belajar, mau memperbaiki mekanisme sosial dan krisis legitimasi sosialnya. Seperti Jurgen Habermas katakan, yaitu ketika kita mau belajar kapitalisme sesungguhnya kita belajar dari manusia itu sendiri. Dan ungkapan ini semakin mengokohkan kekaguman Karl Marx terhadap kapitalisme.
_________________________
Bahan Pustaka

1. Bell, Daniel, The Cultural Contradictions of Capitalism, Basic Books:New York, 1976
2. Braudel, Fernand, Capitalism and Civilization, Harper & Row:New York, 1984
3. Faulkner, Harold, The Decline of Laissez Faire, Holmes:New York, 1978
4. Fried, Morton, The Evolution of Political Society, Random House:New York, 1970
5. Heilbroner, Robert, Marxism: For and Against, WW. Norton:New York, 1980
6. Wallerstein, Emanuell, Historical Capitalism, Verso:London, 1983
______________________________
Penulis adalah Direksi Institut Studi Sosial Demokrasi dan Staff Pengajar Univ. Atmajaya Jakarta
Sumber: www.pemudasosialisjakarta.org


KRONOLOGI PENGGUSURAN DAN PEMBAKARAN
WILAYAH TANGGUL TELUK GONG KEL. PEJARINGAN

Kamis, 25 Oktober 2001
Pihak kelurahan Pejagalan mengundang warga kampung yang tinggal di bantaran kali Banjir Kanal. Dalam pertemuan tersebut, lurah pejagalan menjelaskan bahwa ada surat dari walikota Jakarta Utara yang isinya berupa perintah pengosongan kampung dalam waktu 3 X 24 jam. Hadir dalam pertemuan itu adalah pihak PU Jakarta Utara Bpk. Heriyanto, kecamatan pejaringan, lurah pejagalan dan perangkatnya babinsa dan babinmas.
Bila ada warga yang merasa keberatan dan ingin menyampaikan pendapatnya diharapkan datang pada hari jum’at 26 oktober 2001 bertempat di kantor walikota jakarta utara, namun warga menolak karena hari jum’at waktunya sangat sempit dan diusulkan hari senin, 29 oktober 2001. akan halnya pak heriyanto dari PU tetap menawarkan kepada warga untuk datang pada hari jumat ke kelurahan untuk menyampaikan keputusan warga.

Jum’at, 26 Oktober 2001
Beberapa perwakilan warga datang ke kantor kelurahan pejagalan setelah mereka menerima surat edaran. Salah seorang wakil warga menyampaikan usulan penangguhan pembongkaran dengan alaasan bahwa pada saat ini mendekati bulan puasa, dan ia meminta pada masa setelah lebaran dilanjutkan kembali musyawarah penyelesaian tentang rencana pembongkaran pemukiman di bantaran kali banjir kanal.
Pihak PU, meminta warga untuk menyampaikan unek-uneknya kepada walikota jakarta utara pada hari senin, 29 Oktober 2001.
Pada sore hari sekitar jam 16.00 ada seorang dari luar wilayah yang bertanya kepada seorang ibu mengenai letak rumah seorang tokoh warga yang menolak penggusuran. Setelah ditunjukkan oleh ibu tsb, orang itu menuju lokasi rumah tokoh tsb. Ia masuk kedalam gang kemudian keluar lagi.
Beberapa jam kemudian peristiwa kunjungan “orang asing” tersebut, pada pukul 23.45 rumah saudara rahman terbakar, dan yang mengherankan ketika terjadi kebarakan rumah saudara rahman dalam keadaan kosong, bahkan tidak ada lampu yang menyala namum bisa mengalami kebakaran. Api terus menyala, dan warga datang untuk memadamkan api, namum warga tidak mampu memadamkan. Setelah beberapa lama berselang, beberapa mobil kebakaran datang tanpa membunyikan sirene. Sesampai di lokasi, ternyata petugas pemadam kebarakan tersebut tidak berusaha memadamkan kebakaran, para petugas hanya menghalau api agar tidak menjalan ke perumahan komplek yang biasa di sebut kapling, letaknya bersebrangan dengan perumahan warga di bantaran kali yang terbakar. Api baru bisa padam setelah pukul 05.30
(menurut saksi mata, sebelum kebarakan di rumah rahman, warga melihat 3 orang bermotor masuk ke rumah tsb. Setelah ketiga orang itu keluar tidak berapa lama kemudian rumah itu terbakar. Api terlihat besar mulai dari atap rumah.
Menurut beberapa orang warga, mobil kebakaran ada yang kosong dan ada juga yang tangkinya berisi air campur minyak !!)

Senin, 29 Oktober 2001
Pada pukul 10.00 seorang tokoh warga dipanggil ke kantor kelurahan untuk dimintai tanda tangannya mengenai data warga tanggul, tetapi tokoh itu menolak seraya menanyakan asal data tersebut merupakan hasil pendataan dari ibu-ibu PKK yang dilakukan jauh hari sebelum rencana pembongkaran. Namun menurut warga, data yang didapat oleh pihak kelurahan berasal dari pendataan program KB.
Dari pendekatan yang dilakukan oleh pihak pemerintah, mereka menawarkan ganti rugi rp. 500.000 per rumah ditambah Rp. 100.000 per pintu. Model pemukiman di tanggul ini adalah setiap rumah bisa terdiri dari 4-5 KK. Kondisi kampung tanggul sendiri terdiri dari 1.080 rumah yang dihuni sebanyak 5.010 KK dengan jumlah sekitar 15.000 – 20.000 jiwa.

Selasa, 30 Oktober 2001
Pihak pemerintah membangun posko penggusuran yang berada dekat kampung untuk mengawasi perkembangan warga yang merasa kecewa terhadap keputusan pemerintah melakukan penggusuran tanpa menunggu habis lebaran.

Rabu, 31 oktober 2001
LBH Dharma Nusantara yang “mendampingi” warga memungut uang sebesar Rp. 30.000 per kepala keluarga dan Rp. 1.000 untuk setiap pengontrak sama seperti warga yang pernah digusur sebelumnya.

Kamis, 1 November 2001
Penggusuran dilanjutkan di bagian yang masih tersisa bangunannya. Sebagian lelaki yang pada siang harinya bekerja merasa kaget ketika pulang mendapatknya rumahnya telah hancur lebur menjadi puing. Yang lebih tragis anak-anak kecil yang baru pulang sekolah, kebingunan mencari rumahnya yang sudah rata dengan tahan dan tidak tahu dimana orang tuanya berada.

Jum’at, 2 November 2001
Aparat akan menggusur namun dihentikan oleh warga karena warga berjanji akan merobohkan bangunannya sendiri. Belum sempat warga mengeluarkan barang dan memperoleh ganti rugi seperti yang dijanjikan, pada malam hari perkampungan mereka dibongkar paksa. Ibu-ibu menangis untuk menghentikan kegiatan penggusuran akan tetapi diabaikan oleh aparat.
Pembongkaran dilakukan pada malam dan hari hujan sehingga ibu dan anak-anak yang kehilangan tempat tinggalnya, terguyur derasnya air hujan karena tidak ada tempat berteduh lagi.
Pukul 02.00 dinihari, tim Pemuda Sosialis Jakarta datang ke lokasi penggusuran karena akan mendirikan posko bantuan dan dapur umum.

Sabtu, 3 November 2001
Pemuda Sosialis Jakarta mendatangai warga yang mendirikan bangunan sementara di lapangan dan bersama warga segera mendirikan dapur umum.
Dapur umum segera memulai aktifitasnya, warga melakukan kegiatan memasak untuk kepentingan bersama.

Senin, 5 November 2001
Pukul 15.00 diagendakan pertemuan warga dengan beberapa pendamping di LBH Jakarta. Warga bersama Pemuda Sosialis Jakarta mendatangi LBH Jakarta untuk bertemu pendamping lainnya. Hasilnya warga menginginkan adanya tanah untuk sementara tinggal, disepakati warga akan memakai tanah BPL dengan terlebih dahulu izin kepada pihak BPL pluit. Warga membentuk tim negosiasi, tim ini yang nantinya akan menjadi perwakilan warga yang sifatnya kurang lebih permanen untuk bernegosiasi dengan pihak BPL.

Rabu, 7 November 2001
Pembongkaran mulai dilakukan diseberang tanggul, tepatnya disamping jalan tol Prof. Sedyatomo. Buldozer mulai bekerja pukul jam 10.00 s/d 13.00, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Pada saat itu hanya ada ibu-ibu dan anak-anak yang ada di rumah, karena pada kelapa keluarga sedang bekerja. Meskipun warga sudah berteriak meminta supaya mereka diberi kesempatan untuk menyelamatkan barang-barangnya, namun para aparat tramtib dan banpol tetap saja menggaruk dan merobohkan gubuk-gubuk mereka. Warga merasa diperlakukan seperti binatang saja dan yang melakukan penggusuran kemarin bukan manusia.
Bahkan tanah warga yang memiliki surat juga ikut digusur, padahal pihak keluran menyatakan bahwa tanah tersebut tidak akan digusur. Tanah ini milik H. Juned yang sudah tinggal puluhan tahun dilokasi. Lokasi juga letaknya lebih dari 7 meter dari bantaran kali banjir kanal.

Kamis, 8 November 2001
Diadakan pertemuan warga korban penggusuran di wilayah RW. 013, pertemuan ini dhadiri oleh sekitar 50 kepala keluarga. Meskipun tempat pertemuan di gubug baru seorang warga yang sangat terbatas, tetapi warga tetap antusias mengikuti pertemuan itu. Dalam pertemuan itu warga menyepakati untuk melakukan negosiasi dengan BPL Pluit untuk meminjam lahan dengan surat perjanjian.
- Dari inventarisasi dan pendataan yang dilakukan oleh pendamping didapatkan kerugian warga sekitar Rp. 2 juta – 7 Juta per KK, untuk ukuran bangunan sebesar 3 X 12 sedangkan untuk lokasi lainnya sebesar 3 X 6 meter.
- Besarnya ganti rugi (uang kerohiman:versi pemda) yang diberikan kepada warga sebesar Rp. 500.000 per rumah dan Rp. 100.000 per KK yang agak membingungkan warga, pendataan dilakukan setelah penggusuran sehingga warga yang tidak berada ditempat pada saat penggusuran tidak terdata dan kehilangan hak-haknya.
- Seorang warga (jelas identitasnya) menjelaskan bahwa ketika dia akan mengambil uang kerohiman di kelurahan tadi pagi, ternyata diberitahukan bahwa dana yang disediakan sudah habis. Pihak kelurahan menyampaikan bahwa dana yang disediakan sebesar Rp. 3 Milyar sudah habis.
- Jenis-jenis pekerjaan dari warga korban adalah : satpam, kuli bangunan, buruh cuci di perumahan sekitar, pembantu rumah tangga, buruh pabrik, abang becak, pemulung, tukang ojek serta penjual sayuran dan makanan keliling.
- Jenis-jenis penyakit yang teridentifikasi diderita warga yaitu : diare, luka tertusuk paku, batuk-pilek, ispa, kulit serta kekurangan vitamin.
- Secara khusus, warga meminta pihak kelurahan untuk menghentikan penggusuran selama bulan puasa.

Jum’at, 9 November 2001
Dilapangan warga menerima surat dari Camat pejaringan dengan no surat 141/175 tahun 2001 tentang larangan mendirikan bangunan diatas tanah milik PT. Jakarta Propertindo lingkungan RW.013, kelurahan pejagalan, kecamatan pejaringan jakarta utara.
Surat ini membuat warga panik, dan mengindikasikan bahwa pertemuan warga untuk berdialog dengan pihak BPL Pluit mengalami kebocoran.
Sebagian saham milik Jakarta Propertindo dikuasai oleh Olga Wiranto, isteri mantan jendral wiranto.

Sabtu, 10 November 2001
Bantuan kemanusiaan datang (beras, ikan asin, selimut, handuk dan pembalut wanita). Bantuan disalurkan kepada warga melalui posko yang dibentuk oleh Pemuda Sosialis Jakarta dan pendamping lainnya.
Minggu, 11 November 2001
Diadakan pertemuan khusus antara pendamping dengan 10 orang wakil warga korban, dari pertemuan itu disepakati untuk bertahan di lokasi BPL untuk sementara menunggu bulan puasa.

Senin, 12 November 2001
Warga yang didukung oleh pendamping dari Pemuda Sosialis Jakarta dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang berada di lapangan melakukan blokade untuk menahan laju aparat. Terjadi saling dorong, seorang anggota Pemuda Sosialis Jakarta dipukuli oleh aparat juga serang anggota tim relawan kemanusiaan dipukul kepalanya oleh petugas. Dua orang warga juga mengalami pemukulan, bahkan seorang warga dihantam perutnya menggunakan tongkat kayu.
(Selanjutnya lebih lengkap lihat Kronologis Pembakaran Gubuk Sementara Warga Bantaran Kali banjir kanal)
________________________________________
Kronologi Pembakaran gubuk sementara warga bantaran kali teluk gong oleh aparat pemda pada penggusuran kedua, selasa, 13 Nov 2001

10:40 Aparat pemda, banpol pamong praja dan aparat polri mulai mendatangi lokasi penggusuran.
10:53 Rakyat dan beberapa rekan Pemuda sosialis Jakarta dan Tim Relawan Kemanusiaan yang berada di lapangan mulai membentuk barisan dan menopang poster-poster dari triplek untuk menahan laju aparat.
10:58 Barisan aparat (banpol PP) mempersiapkan kelompok.
11:00 Aparat mulai bergerak dan mulai bersitegang dengan warga
11.02 warga dan pendamping berusa melakukan dialog tapi tidak digubris oleh pimpinan petugas, bahkan anak buah petugas mendorong warga dan tim pendamping.
11:05 Banpol emosi dan mengejar warga dan memukul seorang anggota Pemuda Sosialis Jakarta dan seorang Tim Relawan untuk Kemanusiaan, dua orang warga juga menjadi korban pemulukan, salah seorangnya dihantam perutnya dengan tongkat kayu.
11:13 Aparat mulai bergerak dari lokasi bentrokan dan mulai menyisir bangunan-bangunan sementara yang dibangun warga gusuran dengan membongkar dan merusak bangunan tersebut.
11:30 Aparat terus maju dan terbagi dalam kelompok-kelompok kecil melakukan pengrusakkan bangunan, sementara beberapa kelompok kecil lainnya melakukan pembakaran terhadap bangunan-bangunan tersebut.
11:35 Warga mulai mengambil dan membenahi barang-barangnya yang hendak dibakar tanpa melakukan perlawanan.
11:40 Beko (traktor) mulai bergerak dan mulai mengeruk sisa-sisa bangunan, tramtib istirahat.
11:57 Beko mula masuk ke pemukiman lebih dalam dan warga tidak melakukan perlawanan.
12:00 Aparat tramtib bergerak mengiringi di belakang beko yang meratakan pemukiman warga.
12:15 Aparat istirahat dan makan siang.
13:00 Aparat tramtib, pemda dan polri mulai bergerak kembali menuju lokasi bantaran kali muara angke lama di wilayah pinggiran jalan tol.
13:40 Barisan aparat tramtib mulai memasuki lokasi penggusuran bantaran kali muara angke lama dan langsung melakukan pembakaran.
14.00 Pembakaran semakin meluas, petugas satpol Pamong Praja menyiramkan bensin dan membakar gubuk sementara warga, warga panik dan tidak sempat mengeluarkan barang-barang.
14:10 Beberapa warga terutama para ibu menangis dan berusaha menahan petugas tapi sia-sia karena para bapak dan anak mudanya sedang pergi ke Kecamatan untuk mengambil uang ganti rugi.
14.20 Pembakaran terus berlangsung, para lelaki diberitahu bahwa gubuknya dibakar, mereka segera berlari dari kecamatan ke lokasi gubuknya yang dibakar aparat.
14.25 seorang pendamping berusaha menghentikan pembakaran tapi dipukuli oleh aparat.
14.30 Para lelaki dan beberapa rekan Pemuda Sosialis Jakarta fsn Tim Relawan berusaha memadamkan api yang membakar seluruh gubuk yang tersisa.
15.00 Pembakaran terus berlangsung, petugas semakin merangsek kedalam pemukiman.
15.30 Api semakin membesar, pinggiran jalan tol dan pinggiran bantaran kali banjir kanal berubah menjadi lautan api.
16.00 Ibu-ibu dan anak kecil, diseberangkan dengan perahu oleh warga dan beberapa rekan Pemuda Sosialis Jakarta
16.20 Petugas berusaha membakar pemukiman dekat mushola tapi dihalau oleh warga
16.30 Petugas lari tunggang langgang dan tidak berhasil membakar pemukiman dekat mushola.
17.00 Petugas meninggalkan lokasi dengan kebakaran yang semakin hebat.
17.30 Asap membesar dan menutupi jalan tol Prof. Sedyatomo
18.00 Jalan tol Prof. Sedyatomo macet karena tertutup asap
18.15 Warga mengungsi ke pinggiran jalan tol Prof. Sedyatomo


MARXIFIKASI SEBAGAI MANIPULASI SEJARAH
Marxifikasi adalah sebuah upaya interpretasi berdasarkan marxisme ke dalam berbagai hal yang diyakini oleh para pengikut Marx sebagai bagian dan hasil dari perkembangan gagasan Marxisme. Proses seperti ini ditangan para pengikut Marx bermula dari sebuah keniscayaan absolut tentang gagasan sosial politik yang dihasilkan oleh Karl Marx. Ruang toleransi terhadap upaya-upaya marxifikasi masih dapat diberikan sejauh pada kerangka analisa keilmuan yang obyektif, meski seringkali upaya seperti itu tidak terlepas dari subyektivitas bagaimana memandang dan memperlakukan marxisme sebagai sebuah pisau analisa.
Artinya, pokok bahasan ilmiah tentang wacana situasi sosial politik yang hendak dikupas dengan pisau analisa Marxisme acapkali berlebihan dan keluar melangkah dari kontekstualitasnya. Marxifikasi melenceng dan cenderung mengupas tidak hanya hal-hal yang harus diperlakukan secara obyektif seperti situasi masyarakat tetapi juga simbol-simbol yang ada di masyarakat yang harus diberi label 'made in Marx' itu.
Sebagai contoh tentang bagaimana cara memperlakukan ideologi sosialisme dalam tataran sejarah. Upaya Marxifikasi pertamakali dilakukan oleh Marx sendiri dengan klaimnya tentang sosialisme ilmiah sebagai sebuah antitesa terhadap sosialisme purba yang menurut Marx adalah sosialisme utopis. Meski hal ini sudah menjadi sebuah hal yang dimaklumi hingga saat ini sebagai sebuah gagasan yang lebih tersistematisasi, namun sebagai konsekwensi logis orang selalu beranggapan bahwa sosialisme di luar gagasan Marxisme adalah tidak ilmiah. Kerancuan inilah yang kemudian semakin memperkuat teori-teori Marxisme yang dilihat sebagai sebuah keniscayaan ilmiah bagi para pengikut-pengikutnya terutama yang berdasarkan penafsiran Lenin. Memang ada upaya-upaya balik berupa revisi dan sebagainya seperti yang dilakukan oleh para penganut sosial demokrasi, namun bayangan klaim yang sudah terjadi oleh Marx masih tetap menghantui pola berpikir dan memandang sosialisme.
Marxifikasi yang lebih jauh dilakukan oleh para pengikut-pengikut Marx terhadap berbagai simbol dan gagasan yang sudah ada bahkan sebelum Marx sendiri. Sebagai contoh, marxifikasi terhadap bagaimana terjadinya komune awal The Diggers di era Inggris abad ke-17 yang dikatakan sebagai nenek moyang komunisme Marx, marxifikasi terhadap pergerakan Komune Paris yang dikatakan sebagai cikal bakal Marxisme, marxifikasi terhadap pergerakan Internasionale Pertama yang dikatakan sebagai sebagai gerakan Marxisme padahal forum tersebut merupakan forum sosialis campuran (pengikut Owen, Bakunin, Proudhon) dan Marx sendiri hanya hadir sebagai peserta pasif yang tidak terlalu dikenal.
Marxifikasi tidak hanya terhadap pada sebelum dan selama masa Marx, namun juga pada setiap momen, simbol, gagasan, wacana dan pergerakan yang ada sesudahnya. Lagu Internasionale yang diciptakan oleh Eugene Pottier pada tahun 1871 semasa Komune Paris juga dimarxifikasi baik dalam terjemahan maupun sosialisasi penyampaian lagu tersebut di kalangan sosialis sebagai 'lagu kaum proletariat yang menumbangkan sebuah negara untuk menggantinya dengan negara berdasarkan partai'. Ini sangat menggelikan mengingat teks asli Internasionale sepanjang 6 bait juga sudah dibabat habis menjadi 3 bait dan diterjemahkan sebagai kepemilikan sah para pengikut Marxis-Leninis. Perlu diketahui bahwa gerakan mahasiswa dalam Peristiwa TianAnMen tahun 1989 dalam gelombang perlawanannya melawan Partai Komunis Cina justru menyanyikan secara terus menerus lagu Internationale yang sejatinya merupakan lagu perlawanan terhadap penindasan.
Perspektif tentang gerakan pekerja dan mahasiswa diberbagai negara juga mengalami upaya marxifikasi dengan analogi-analogi sederhana berupa gerakan pekerja dan mahasiswa adalah gerakan perlawanan, gerakan perlawanan adalah kiri dan kiri adalah Marxis. Banyak di kalangan pekerja dan mahasiswa sendiri yang tidak menyadari bahkan menerima sehingga muncul stigma yang tidak diharapkan. Padahal setiap gerakan pembebasan atau perlawanan belum tentu kiri dan kiri sendiri belum tentu marxis.
Dalam perspektif epistemologi juga banyak upaya marxifikasi yang sudah terjadi dan seringkali kelompok intelektual juga lupa menanggalkan pisau analisis Marxisme yang cenderung digunakan secara berlebihan, sepertinya halnya dengan dogmatis mempercayai keniscayaan terminologi Marxis usang 'pertarungan kelas', 'alat produksi', 'materialisme dialektika historis','kediktaturan proletariat' dan sebagainya. Pisau analisis tersebut digunakan bahkan dalam hal-hal yang sudah tidak mampu lagi untuk dijawab hanya dengan sekedar determinisme sejarah dari termonologi marxisme. Misalnya bagaimana menganalisa sebuah sistem sosial yang didasarkan pada wacana tentang pasar global, komunikasi lintas batas dan kebudayaan lintas batas? Bagaimana merumuskan nilai-nilai baru yang sosialistik dalam sebuah masyarakat yang sangat plural, kepemilikan dan dominasi yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan akses informasi serta bukan lagi oleh sekedar modal dan alat produksi yang sangat material?
Upaya Marxifikasi seringkali membelokkan kita tanpa sadar ke dalam jurang misinterpretasi dan kesalahan-kesalahan logika yang tidak perlu terjadi. Manipulasi terhadap data-data sejarah yang awalnya dilakukan sebagai sebuah klaim ideologi terus berlanjut dan pada akhirnya menipu diri kita sendiri!
F R Srivanto
Dokumen resmi Lttbang PSJ, 13 Juni 2001



MENCARI FORMAT GERAKAN SOSIALISME
“Sedikit telaah sejarah dan prospek masa depan”
B. Dwi Djanuarto*
Terkuburnya orde otoritarianisme Soeharto membawa angin segar bagi terbukanya alam demokrasi di Indonesia. Rezim yang dulu melakukan hegemoni pemikiran maupun politik demi melanggengkan kekuasaan kini telah berganti, rezim baru mengusung tema demokrasi sebagai tuntutan jamannya. Demokrasi membuka ruang-ruang yang dahulu sangat “sakral” yaitu ruang ideologi. Asas tunggal pancasila kini tidak lagi menjadi pilihan satu-satunya, berbagai ragam ideologi dari kanan mentok hingga kiri habis sudah mulai disebarluaskan oleh para aktivisnya secara terbuka. Partai politik sebagai salah satu prasarana demokrasi juga tidak lagi mencantumkan asas tunggal pancasila. Partai politik yang mengikuti pemilu 1999 menjual beragam ideologi dari “islam” sampai “sosialis demokrasi kerakyatan”.
Sosialisme sebagai sebuah ideologi tentu juga merupakan suatu pilihan bagi pengikutnya untuk mulai disebarluaskan secara terbuka. Memori kolektif yang dibangun oleh orde baru selama 32 tahun memang sangat memukul gerakan sosialisme, orde baru selalu menggunakan stigma yang membuat sebagian masyarakat merasa antipati terhadap kata “sosialisme”, bahkan orde baru membangun stigma bahwa sosialis sama dengan komunis. Akhirnya sosialisme kerakyatan hanya memiliki ruang-ruang sempit selama 32 tahun pemerintahan soeharto, gerakan sosialisme kerakyatan tidak pernah membesar. Kalaupun membesar tidak pernah mengusung bendera sosialisme kerakyatan, hanya sifat gerakannya sosialisme kerakyatan karena diusung oleh kader-kader sosialisme akan tetapi menggunakan bendera lain karena sangat riskan menggunakan bendera sosialisme pada saat itu. Pola-pola pengorganisiran kader-kader sosialis pada saat Soeharto berkuasa lebih cenderung menggunakan organ-organ taktis untuk membuka ruang demokrasi. Aktivis-aktivis yang memiliki ideologi sosialisme kerakyatan membangun kekuatan-kekuatan organ untuk melawan kediktatoran Soeharto tanpa label sosialis, hal tersebut dipergunakan sebagai taktik untuk melawan. Situasi yang begitu represif pada waktu itu memang tidak memungkinkan kader sosialis kerakyatan untuk mengibarkan bendera, apalagi begitu antipatinya rezim soeharto mendengar kata “sosialis”.
Gerakan sosialisme kerakyatan memang telah “hilang” setelah partai yang mengusung ideologi tersebut dilarang oleh pemerintahan Soekarno pada tahun 1960. Praktis pacsa tahun 1960 gerakan sosialisme kerakyatan hilang dari percaturan politik nasional. Walaupun kemudian ada gerakan komunisme yang masih sanggup bertahan sampai tahun 1966 yang memunculkan orde baru, nyatanya gerakan tersebut juga mengalami kehancuran yang fatal. Setelah orde baru berdiri tahun 1966 keadaan lebih parah lagi karena adanya pelarangan penyebaran ajaran marxis melalu ketetapan MPR. Pelarangan ini menyebabkan masyarakat akhirnya tidak dapat lagi membedakan antara gerakan sosialisme dan komunisme.
Lalu setelah runtuhnya orde baru, mungkinkah gerakan sosialisme kerakyatan akan membesar, akankah aktivisnya mampu melakukan suatu redefinisi maupun reorganisasi terhadap kekuatan sosialisme kerakyatan yang hampir punah ? lalu masih relevankah ideologi sosialime kerakyatan dalam situasi masyarakat sekarang yang jelas jauh berbeda daripada 42 tahun yang lalu. Pola pengorganisasian apakah yang harus diterapkan oleh para aktivis sosialisme kerakyatan untuk membangun kekuatannya kembali. Tidak mudah tentu untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, tapi ada baiknya kita coba untuk mencari jawabannya. Tulisan ini adalah sebuah telaah sederhana dan pasti jawaban tersebut tidak sempurna sehingga memerlukan perbaikan serta analisa yang tepat untuk menemukan jawabannya.
Format gerakan sosialisme tahun 1945 - 1948
Suasana revolusioner pada waktu ini memang sangat mendukung sekali gerakan-gerakan sosialisme di Indonesia. Para pemuda mempunyai semangat yang tinggi untuk mempertahankan kemerdekaanya, sebagai kelompok penyokong gerakan kemerdekaan peran pemuda memang yang patut diperhitungkan. Situasi revolusioner dan peran pemuda itulah yang mempengaruhi besarnya gerakan sosialisme pada waktu itu. Hal itulah yang membuat Soetan Sjahrir mendirikan Partai Rakyat Sosialis (Paras) pada tanggal 20 November 1945. Sedangkan beberapa minggu sebelumnya telah berdiri pula sebuah partai bernama Partai Sosialis Indonesia (parsi) yang didirikan oleh Amir Sjarifudin.1 Format gerakan kedua partai sosialis tidak memiliki perbedaan yang prinsipil, kedua tokoh ini sama-sama antifasis. Kesamaan gerak pada antifasisme jepang yang mempertemukan kedua partai ini. Masuknya Jepang ke Indonesia pada waktu itu memang menjadi latar belakang gerakan antifasis membesar. Kecenderungan antifasis juga terjadi di kalangan pemuda revolusioner pada waktu itu.
Dalam hal perekrutan kader, kedua partai ini juga memiliki kesamaan target perekrutan kader yaitu kalangan pemuda revolusioner pada waktu itu. Pada waktu itu memang kalangan pemuda menjadi sasaran untuk melakukan perekrutan bagi kalangan partai politik karena dianggap sebagai kekuatan yang mempunyai semangat untuk melakukan perlawanan. Tidak cuma oleh kedua partai ini kalangan pemuda dijadikan sasaran perekrutan, banyak pihak lainnya yang mencoba mendekati kalangan pemuda.
Kesamaan target sementara yaitu antifasis dan proses perekrutan yang sama, akhirnya mereka mengusulkan agar kedua partai ini bergabung. Atas usaha beberapa aktivis pemuda, diadakan kongres fusi Partai Rakyat Sosialis yang didirikan oleh Soetan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia pimpinan Amir Sjarifudin.2 . Dari hasil kongres fusi tersebut maka berdirilah Partai Sosialis (PS) dengan komposisi Amir Sjarifudin sebagai salah satu dewan pimpinan pusat. Ternyata hasil fusi tersebut merupakan kombinasi yang tepat sehingga Partai Sosialis menjadi sebuah partai besar yang beraliran kiri di Indonesia. PS juga menjadi partai yang menyokong kerja politik Sjahrir selama menjadi Perdana Menteri.
Dalam proses pengorganisiran dan penguatan barisan kebawah PS memang mengutamakan kaum pemuda seperti yang dilakukan oleh kedua partai sebelum berfusi. Pada tanggal 10 November 1945 di Yogyakarta diadakan kongres organisasi-organisasi pemuda yang ada pada waktu itu. Kongres ini menghasilkan lahirnya Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang merupakan gabungan tujuh buah organisasi pemuda. Organisasi pemuda yang bergabung di Pesindo antara lain, Angkatan Pemuda Indonesia (Jakarta), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (Yogyakarta), Angkatan Muda Republik Indonesia (Semarang), Angkatan Muda Kereta Api, Angkatan Muda Gas dan Listrik, Angkatan Muda Pos dan Telegram dan Pemuda Republik Indonesia.3 . Pesindo memang tidak mutlak menjadi “milik” PS karena didalamnya diinfiltrasi juga oleh kelompok komunus, akan tetapi kelompok komunis didalamnya justru tidak terlalu kuat. Perkembangan pesat Pesindo justru sangat pesat karena bantuan Sjahrir dan Amir. Selain pola penggorganisiran massa, pesindo juga menerbitkan majalah. Di Yogyakarta terbit majalah Revolusioner milik pesindo, yang secara aktif mendukung aktivitas politik Sjahrir dan Amir. Selain itu, di Magelang, Pesindo menerbitkan majalah Penghela Rakyat. Dengan kondisi demikian, maka dalam waktu relatif singkat Pesindo menjadi sebuah organisasi pemuda yang terkuat didaerah republik. Sebagai sebuah organisasi pemuda terkuat maka Pesindo juga menjadi andalan dalam menopang kekuatan di PS.
Selain pemuda yang dijadikan sasaran perekrutan oleh kelompok kiri di Indonesia, petani juga dijadikan salah satu sumber daya yang dapat diandalkan. Sjahrir adalah orang pertama yang mengambil inisiatif untuk mengorganisir petani. Dari hasil pengorganisiran petani yang dilakukan oleh Sjahrir, maka lahirlah Baritan Tani Indonesia (BTI) dibawah pimpinan Wijono (ketua grup Sjahrir) pada awal desember 1945. Dalam perjalanan waktunya ternyata BTI tidak mampu meluas seperti Pesindo, karena aktivisnya banyak yang tidak mengetahui persoalan agraria di Indonesia.
Kaum sosialis pada waktu itu memang tidak bisa lepas untuk melakukan aliansi taktis dengan kaum komunis, walaupun dalam catatan sejarahnya kaum komunis banyak mengkhianati kaum sosialis. Didalam sayap kiri yang terdiri dari tiga partai berdasarkan Marxisme; PS, PKI, PBI terjadi pengkhiatan dalam program politik. Yang pertama terjadi pada diri Sjahrir yang menyebabkan ia mundur dari jabatan Perdana Menteri dan yang kedua terjadi pada diri Amir juga pada jabatan yang sama. Konsesi-konsesi Sjahrir yang dikecam oleh grup “radikal” ternyata juga diulangi oleh Amir dalam kadar yang lebih tinggi, hal inilah yang menyebabkan Amir akhirnya jatuh. Akibat pengkhianatan akhirnya pemerintahan sayap kiri berakhir pada tahun 1948.
Gerakan Sosialisme Kerakyatan 1948 - 1960
Proses jatuhnya Sjahrir membuat hubungan kedua kelompok menjadi tidak baik, cepatnya perubahan politik yang terjadi menyebabkan kedua kelompok ini memiliki cara pandang politik yang berbeda. Walaupun sebelumnya kedua kelompok ini memiliki beberapa kesamaan, pada akhirnya memang akhirnya masing-masing kelompok menentukan jalannya masing-masing. Apalagi kondisi tersebut diperparah dengan adanya unsur ketiga yaitu pihak komunis yang menempatkan kader-kadernya didalam tubuh PS. Dengan merenggangnya hubungan kedua kelompok ini, maka elemen komunis didalam PS semakin menguat. Akhirnya kelompok Sjahrir memutuskan untuk mendirikan partai baru. Tanggal 12 Februari 1948 Partai Sosialis Indonesia berdiri. PSI mengidentifikasi ideologinya sebagai kelompok Sosialisme Kerakyatan yang lebih beraliran Sosialis Demokrasi. Sementara kelompok Amir Sjarifudin segera bergabung dengan PKI.
Pecahnya kedua kelompok ini merupakan pukulan yang dahsyat bagi gerakan sosialisme di Indonesia, karena pada dasarnya kedua orang ini adalah sebuah kombinasi yang tepat. Amir adalah “gas” yang menentukan lajunya organisasi, sementara Sjahrir adalah “rem” yang mengontrol organisasi. Akibat pecahnya kedua kelompok ini maka PS kehilangan “rem” yang membuat organisasi ini berjalan tanpa rem, semakin lama makin radikal dan akhirnya terbawa oleh arus yang mereka bangkitkan sendiri. Sementara Sjahrir dengan PSI kehilangan “gas” , akhirnya mandeg kehilangan vitalitas dan keberanian dalam merintis pemikiran-pemikiran politik baru.4
Pada tahun inilah munculnya gerakan Sosialisme Kerakyatan yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir atau biasa dipanggil bung kecil. PSI sebagai partai yang mengusung ide Sosialisme Kerakyatan pada saat itu memiliki pengaruh yang cukup besar. Hal tersebut disebabkan saratnya PSI dengan tokoh-tokoh intelektual didalamnya. Gerakan PSI pada saat itu akhirnya cenderung sebagai gerakan modern yang intelek, sementara kondisi masyarakatnya masih feodal. Sjahrir memang berusaha mendewasakan masyarakat Indonesia dengan pemikiran-pemikiran yang rasional, akan tetapi justru itu yang melemahkan gerakannya. Masyarakat Indonesia mempunyai dasar yang masih berbudaya patuh kepada kaum priyayi, borjuasi menengah dan pemimpin yang kharismatik. Masyarakat indonesia senang tokoh demagog macam Soekarno yang mampu memuaskan emosi mereka, membangkitkan emosi memang lebih mudah diterima masyarakat ketimbang harur berfikir modern dan rasional yang penuh perhitungan. Hal inilah yang dilupakan PSI dalam membangun kekuatan politiknya.
Pola gerakan PSI semakin terkesan elitis dan kehilangan garis massanya, yang pada saat perpecahan PS memang garis massa dipegang oleh Amir. Tapi tampaknya hal tersebut tidak disadari oleh Sjahrir, sehingga sebelum Pemilu 1955 masih tampak kepercayaan diri yang tinggi dari kelompok PSI. Pada saat itu memang hanya ada dua partai yang sudah terorganisasi dengan baik, yaitu PSI dan PKI. Sebagai kekuatan politik utama di Indonesia banyak yang meramalkan PSI akan mendapatkan kemenangan.
Pukulan telak justru harus diterima oleh PSI ketika pemilu 1955 berakhir, PSI tidak mampu mendapatkan suara yang memuaskan. Pemilihan yang diadakan pada tanggal 29 Desember 1955 sesuai dengan rencana, dan diawal oktober hasilnya diketahui. PSI memperoleh kurang dari 800.000 suara_kira-kira dua persen dari suara yang masuk. Delapan setengah orang memberikan suara untuk Pendidikan Nasional Indonesia, sedikit dibawah delapan juta untuk Masyumi, tujuh juta untuk Nahdatul Ulama, enam juta lebih sedikit untuk Partai Komunis. Bahkan parta kelas dua, seperti partai islam PSII atau Parkindo (Kristen) dan partai katolik mendapat suara lebih banyak dari PSI.5
Politik tidak bisa lepas dari massa, itulah yang tampaknya dilupakan oleh gerakan Sosialisme Kerakyatan dibawah bendera PSI. Praktis memang PSI kehilangan kader-kader lapangan pasca pecahnya PS, kader-kader lapangan memang lebih banyak dimiliki kelompok Amir yang akhirnya bergabung dengan PKI. Menurut Leon Salim_kader lama PSI dan pendidikan dari Minangkabau_Sjahrir, ketika memimpin partainya ke pemilihan umum, “lupa dengan kekuatan emosi.......slogan....monumen dan pentas teater”.6 .
Setelah pemilihan umum jelas PSI mengalami penderitaan yang berat, Sjahrir akhirnya menyadari potret masyarakat Indonesia pada massa itu. Seperti yang dituliskannya dalan Tajuk Rencana yang berjudul “Pemilihan Umum” diterbitkan oleh Sjahrir bulan januari 1956, dia menjelaskan :
“rakyat banyak baru-baru ini bukan memberikan suara berdasarkan kesadaran dan kasih sayang mereka tentang semangat nasionalisme, demokrasi dan revolusi, atau atas dasar motif lain yang agung dan tinggi, melainkan karena mereka mengikuti pemimpin dan yang mereka hormati dalam kehidupan sehari-hari....bukan pahlawan, bukan pula pemuda revolusi, melainkan kyai, guru mengaji, luran dan mandor.”
“Pemilihan mencerminkan jiwa dan pandangan yang sejelas foto terdekat mengelilingi mereka dalam kehidupan sehari-hari_oleh agama, adat, pemerintah setempat dan lain-lain....Pengaruh agama tampaknya paling kuat dan paling tersebar luas, khususnya di jawa, (maupun) pengaruh ketaatan tunduk atau rasa takut kepada pejabat resmi seperti lurah, camat, wedana, bupati dan lain-lain....dengan kata lain, (rakyat) berjiwa kawula menghadapi ratu atau gusti;(juga) tipu daya dan demagog yang harus dialami rakyat sangat kuat, khususnya di jawa. Pemilihan umum menjelaskan bahwa pengaruh yang menyebabkan rakyat memilih seperti yang mereka lakukan, adalah pengaruh yang dirasakan setiap hari, pengaruh sarjana islam, pengaruh lurah atau “jago” yang ditakuti dan dihormati....7
PSI akhirnya menegaskan dalam rapat Dewan Partai PSI pada bulan Maret-April 1956 untuk mengevaluasi hasil pemilu 1955, PSI membuka keanggotaan seluas-luasnya dengan pimpinan yang ketat dan terseleksi (rigid and Strict leadership).8 Refleksi terhadap kekalahan di pemilihan umum memang menjadikan program PSI lebih progresif, lebih terbuka terhadap rakyat. Pelajaran itulah tampaknya yang paling berharga yang didapat setelah pemilihan umum 1955. Bahkan Sjahrir yang masih Pemimpin Umum PSI, juga mengeluarkan Pedoman Organisasi No. 1 pada tanggal 6 Januari 1956, partai harus diarahkan lebih dekat dengan rakyat dan membuka diri pada rakyat.9
Perbaikan organisasi tampaknya mengalami kesulitan, apalagi waktu tidak berpihak pada PSI. Akibat pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa aktivis PSI : Soemitro Djojohadikusumo (orangtua Prabowo) maka PSI dilarang oleh pemerintahan Soekarno. Pemberontakan PRRI-Permesta memang tidak sepenuhnya didukung oleh kekuatan PSI di cabang-cabang tapi lebih kepada sikap avonturisme Soemitro. Tapi tentara yang merasa mewakili pemerintahan Soekarno tidak mau ambil perduli. Pada tanggal 5 September 1958, Nasution_sebagai panglima tentara_melarang cabang-cabang PSI, Masyumi dan Parkindo di daerah pemberontakan ini terjadi. Nyatanya ini hanyalah pendahuluan untuk bulan Agustus 1960, ketika “panitia Retooling” dengan Nasution sebagai ketua, kembali mengeluarkan dekrit yang melarang PSI dan Masyumi.10 Dengan dilarangnya PSI maka bubarlah sudah kekuatan gerakan Sosialisme Kerakyatan yang sedang berusaha membenahi diri.
Menjadi Hantu
Pelarangan PSI ternyata tidak membuat organik-organik organisasi menjadi mati. Kader-kader PSI terus melakukan pendidikan terhadap generasi mudanya secara terbatas. Soebadio Sastrosatomo membuat Pusat Dokumentasi Politik Guntur 49, tempat ini banyak didatangi oleh kaum muda untuk belajar dan menggali pengetahuan tentang sosialisme. Orientasi kader-kader PSI juga tidak jauh berbeda ketika masa Revolusi dahulu, pemuda tetap dianggap “bahan” yang potensial untuk dididik menjadi kader-kader andalan. Fadjroel Rahman, aktivis Institut Teknologi Bandung yang mendekam di penjara di nusakambangan karena menentang Soeharto, merasakan bahwa Soebadio tidak menganggap dirinya guru tapi lebih seperti teman yang bisa saling cerita dan berbagi pengalaman.
Tokoh sekelas Soedjatmoko bahkan tidak segan untuk menyapa dan bercengkrama dengan anak muda. Sikap egaliter tersebut yang membuat Arief Budiman_sosialog yang cukup berpengaruh_ sangat terkesan. Arief Budiman mendapatkan pengalaman berharga dari Soedjatmoko untuk menghargai anak muda karena merekalah yang akan meneruskan ide-ide orang tua.
Ternyata pola partai kader yang digunakan sebagai pilihan politik PSI pada waktu itu tidak sepenuhnya salah. Terbukti, pasca pelarangan ternyata PSI tidak hilang justru memunculkan orang-orang pilihan yang sanggup bertahan sampai batas waktu yang tidak tertentu dalam memperjuangkan ideologinya. Hal ini tampaknya membuat takut pemerintahan Soekarno dan Seoharto, sehingga stigma sosialis dibuat menjadi “miring”. PSI seakan-akan menjadi hantu bagi pemerintahan yang otoriter, tidak ada organisasinya tapi sangat terasa geraknya. Orde Baru bahkan menyebutkan itu sebagai organisasi tanpa bentuk (OTB). Tidak cuma pemerintah saja yang takut terhadap “hantu PSI”, bahkan aktivis ideologi-ideologi lain juga mengalami ketakutan yang sama terhadap “hantu PSI”.
Orde Baru bahkan menganggap gerakan-gerakan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah sedikitnya dipengaruhi oleh tokoh-tokoh sosialis. Gerakan anti Jepang pada tahun 1974 dianggap oleh Orde Barusebagai gerakan PSI, beberapa gerakan lain yang menentang Soeharto juga dianggap perbuatan “hantu PSI”.
Perjuangan pada masa ini memang menjadi perjuangan individual yang tidak terorganisir, kader-kader PSI melakukan perlawanan dan pengorganisiran secara pribadi-pribadi. Kelompok intelektual yang memiliki simpati terhadap Sosialisme Kerakyatan Sutan Sjahrir juga menyebarkan pemahaman kepada masyarakat luas. Sementara kelompok-kelompok organisatoris berusaha membuat organisasi-organisasi perlawanan terhadap Soeharto. “Kader-kader tua” PSI memberikan dukungan yang tidak sedikit bagi perjuangan kaum muda menentang tirani Soeharto. Pola ini terus berlanjut hingga kejatuhan Soeharto 20 Mei 1998, lalu mulailah pola pengorganisiran yang baru.
Membentuk Organisasi Ideologis
Kejatuhan Soeharto memang memberikan arti penting bagi gerakan sosialisme, karena dengan runtuhnya rezim otoriter Soeharto maka peluang demokrasi menjadi lebih besar. Orang yang dahulu takut pada kata sosialisme kini justru menjadi ramai memperbincangkannya, buku-buku tentang sosialisme yang dahulu diperjual belikan secara gelap kini sudah beredar bebas di toko-toko buku terkemuka. Era keterbukaan memang menjadi faktor yang menguntungkan bagi gerakan sosialisme di Indonesia. Kader-kader sosialis yang selama ini bekerja dibawah tanah mulai kembali mengkonsolidasikan kekuatannya. Pertemuan demi pertemuan mulai diadakan oleh kalangan anak muda yang percaya terhadap ideologi sosialisme. Satu persatu mulai berdirilah organisasi yang berlandaskan ideologi sosialisme kerakyatan. Kelompok pemuda mulai mendirikan organsasi, di Jawa Barat berdiri organisasi Gerakan Pemuda Sosialis Jawa Barat, di Malang berdiri beberapa organ gerakan sosialis diantaranya Poros Gerakan Sosialis Malang, di Bali berdiri Gerakan Mahasiswa Sosialis Bali, di Surabaya terbentuk Kelompok Belajar Sosialis dan di Jakarta lahir Pemuda Sosialis Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2000. Aktivis-aktivis yang mendirikan organisasi-organisasi tersebut tidak terlepas dari proses pendidikan dan pengkaderan yang dilakukan oleh “generasi tua” PSI.
Selain kelompok pemuda, ada juga kelompok petani yang bergabung dalam Gerakan Tani Indonesia. Bahkan di daerah mulai membentuk partai-partai lokal yang seperti Partai Sosialis Kerakyatan Indramayu sebagai pelopornya, kemungkinan juga akan diikuti oleh berdirinya partai-partai lokal di daerah.
Bangkitnya kembali organisasi-organisasi sosialisme kerakyatan sebenarnya merupakan angin segar setelah “musnahnya” organisasi sejenis sejak tahun 1960. Waktu yang dibutuhkan juga ternyata tidak pendek, 40 tahun baru mulai berdiri kembali organisasi. Dan organisasi yang tumbuh juga adalah organsasi yang baru lahir, masih perlu mencari bentuk dan formatnya untuk menjawab tantangan jamannya.
Pola bangkitnya organisasi tersebut memang merupakan suatu kebutuhan untuk melakukan perlawanan, tidak bisa lagi menyebarkan kader-kader seperti pada waktu tirani masih berkuasa. Pembentukan organisasi adalah suatu kewajiban yang digunakan sebagai alat perjuangan, karena dengan organisasi maka kita dapat mengatur, menyusun, mengorganisir dengan perhitungan yang matang. Seperti yang dikatakan oleh Karl Kautsky, “organisasi adalah senjata, yang akan memerdekakan rakyat proletar, senjata kaum proletar yang sesuai untuk perjuangan kelasnya”.
Saat ini yang bisa dilakukan kaum muda adalah melakukan pengorganisiran melalui organisasi-organisasi yang sudah terbentuk. Salah satu tugas yang terpenting adalah memperkuat organisasi, bukan saja dengan menambah anggotanya melainkan juga setiap hari menyempurnakan strukturnya.11 Lalu bagaimanakah organisasi ini memperkuat organisasinya, tentu membutuhkan format pola gerakan yang jelas berdasarkan analisis yang tepat. Apakah pola organisasi kader seperti yang diterapkan oleh PSI dahulu masih dapat digunakan untuk memperkuat barisan, atau justru harus merubah pola pengorganisiran menjadi lebih berorientasi pada kekuatan massa. Beberapa cetusan dari macam Bondan Gunawan yang menyatakan “sejak kapan sosialis percaya kepada basis massa ?” patut kita perhitungkan, juga pernyataan dari Yusril Ihza Mahendra yang bilang “sosialis itu khan tukang klaim” dalam sebuah acara. Sebenarnya banyak juga pernyataan dari kalangan masyarakat dengan nada yang sama, hal ini mungkin juga stigma yang disebarkan oleh kalangan yang tidak suka terhadap sosialisme. Atau bisa juga ternyata mereka adalah orang-orang yang telah belajar dari sejarah, dan mengetahui persis kekalahan PSI pada pemilu tahun 1955.
Yang pasti bagi kalangan sosialis memang harus mulai berfikir rasional dan objektif dengan kondisi yang ada. Organisasi sosialis yang ada harus terus melakukan evaluasi untuk menyempurnakan pola gerakannya. Yang patut dijadikan pertimbangan adalah kegagalan PSI tahun 1955 dan kuatnya kader-kader sosialis untuk melakukan resistensi selama PSI dilarang.
Gerakan sosialisme yang cenderung elitis jelas mulai harus dihilangkan, pengorganisiran rakyat tertindas sebagai hakikat sosialisme lebih harus diutamakan di lokalnya masing-masing (ditiap-tiap kota tentu berbeda kondisinya). Basis massa harus mulai dibangun semenjak dini, jika tidak ingin mengalami kekalahan lagi seperti dahulu, mulai menghilangkan praktik-praktik klaim subjektif_hal yang memang kadang dilakukan oleh beberapa aktivis sosialis_dan mulai mempelajari kondisi objektif. Memperkuat basis massa bukan berarti menghilangkan kekuatan kader, justru kader adalah pemimpin massa. Seperti yang pernah dirumuskan oleh Gerakan Pemuda Sosialis pada konferensi di Waled, cirebon : kader itu adalah seseorang yang menguasai teori dan praktik sosialisme kerakyatan sekaligus pemimpin massa. Kata kunci dari kader ini adalah pemimpin massa.12
Jelaslah sekarang tugas organisasi yang baru tersebut, bekerja untuk terus melakukan pembangunan basis massa yang dipimpin oleh kader-kader yang terdidik sosialisme kerakyatan. Kekuatan massa yang dibangun juga bukan kekuatan massa mengambang, akan tetapi massa ideologis yang mengerti akan azas dan tujuan organisasi.
Organisasi juga harus menunjukan dirinya sebagai kekuatan yang berpihak kepada rakyat tertindas, walaupun kadangkala perhitungan politik harus dikesampingkan demi kemanusiaas. Sjahrir juga pernah menulis “sosialisme yang tidak berpegang pada Azas kerakyatan, yaitu tidak memihak rakyat banyak, adalah sama dengan sosialisme yang tidak berjiwa kemanusiaan”.13
Beberapa hal lain tentang perjuangan organisasi harus dibicarakan berdasarkan kondisi objektif masyarakatnya. Seperti persoalan ekonomi, sosialis, politik harus dirumuskan dengan analisa yang tepat. Tidak bisa lagi menggunakan seluruhnya analisa teori sosialisme kuno atau justru teori sosial modern yang sangat dipengaruhi kapitalisme. Artinya kita harus memperhitungkan dampak kapitalisme mana yang merugikan dan harus dihilangkan, juga kita harus terus mengedepankan nilai-nilai Sosialisme yang tidak mungkin berkompromis dengan kapitalisme. Harus diperhitungkan juga kondisi masyarakat Indonesia_sudah sejak lama dideteksi oleh Sjahrir dan coba dirubah tapi gagal_adalah budaya feodal yang belum hilang, budaya patronase yang semakin mengental dan budaya religius dan mistik. Hanya sebagian masyarakat di perkotaan saja yang mulai berfikir rasional akan tetapi justru cenderung pragmatis dan apolitis. Hal tersebut sangat perlu diperhitungkan dalam rangka menyusun pola gerakan pengorganisiran.
Prospek masa depan sosialisme juga sebenarnya dapat diperhitungkan, menguatnya arus globalisasi dan perdagangan bebas mencerminkan semakin menguatnya kapitalisme. Penguatan ini akan selalu menumbuhkan “korban-korban” kapitalisme. Sebagai kelompok yang percaya terhadap sosialisme maka peluang itu dapat kita ambil untuk modal perjuangan. Sosialisme Kerakyatan sebagai alat kontrol dari kapitalisme yang menghisap tentu menjanjikan bagi kalangan menengah dan tertindas. Kemudian persoalannya adalah bagaimaan menyampaikan kepada masyarakat tentang perjuangan merebut keadilan dari kaum kapitalis tanpa menakuti masyarakat dengan dogma “revolusi”. Perjuangan merebut keadilan di Indonesia harus dipelopori oleh kaum menengah yang sudah agak sadar secara politik dan ekonomi. Tinggal kesadaran sebagai korban kapitalisme saja yang harus dibangunkan.
Akhirnya dengan analisa dan pengorganisiran yang tepat maka organisasi dapat terus menjadi besar dan berkembang. Analisa yang tepat sebenarnya sudah merupakan setengah dari jawaban persoalan yang ada. Semoga Organisasi Sosialis Kerakyatan terus membesar dan berkembang dengan pola yang sesuai dengan jamannya. Hidup Rakyat, Hidup Sosialisme.
*)Penulis adalah pemuda biasa yang bermukim di Depok, kota pinggiran Jakarta.
**) Ditulis akhir tahun 2001, ketika organisasi-organisasi sosialis mulai bermunculan.

1 George McT. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1952 hlm 158.
2 Soe Hok Gie, Orang Orang Di Persimpangan Kiri Jalan, Kisah Pemberontakan Madiun 1948, Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta, 1997.
3 Sejarah Perjuangan Pemuda Indonesia, hlm 168.
4 Soe Hok Gie, Orang-Orang di Persimpangan..................
5 Rudolf Mrazek, Sjahrir ; Politik dan Pengasingan di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 1996, hal 768.
6 ibid.., hal 769
7 Sutan Sjahrir, “Pemilihan Umum dan Konstituante”, Sikap 8,40 (5 Desember 1955).
8 Faudzie Rizal, Soebadio : Pejuang Kedaulatan Rakyat, Pusat Dokumentasi Politik Guntur 49, 2000.
9 Suara Sosialis, 10, 1-2 (Februari-Maret 1958), hal 27.
10 Rudolf Mrazek, Sjahrir Politik......................
11 Sutan Sjahrir, Pikiran dan Perjuangan, Poestaka Rakjat, 1947, diterbitkan ulang oleh Penerbit Jendela Yogyakarta, 2000.
12 Fauzie Ridjal, Soebadio................
13 Suara Sosialis, Agustus 1956.


NASIONALISME: bentuk yang semakin dipertanyakan !
*) AG. Eka Wenats Wuryanta S.Hum

Pengantar
Nasionalisme pada paruh pertama dan kedua abad 20 dan era modern pernah menjadi ideologi modern paling ampuh. Lintas sejarah perkembangan nasionalisme sampai puncak kejayaan berlangsung selama hampir dua raôus tahun. Dalam sejarah pembentukan dan perkembangan praksis ideologi ini, terdapat masa di mana nasionalisme memberikan kontribusi nyata bagi usaha pemerdekaan dan pembebas?n manusia dari penjajahan; tapi terdapat satu masa pula di mana na?ionalisme dalam bentuk ideologi sempitnya pernah menjadi legitimasi ideologis bagi predator-predator hak asasi manusia.
Makalah ini mau mencoba untuk menguraikan secara sederhana pemahaman bentuk dan sejarah nasionalisme yang berkembang. Tentu saja tinjauan historis sangat kental dalam makalah ini. Tapi yang jelas, makalah hanya menjadi salah satu batu pijakan untuk diskusi yang lebih mendalam.
Sejarah
Nasionalisme sebagai ideologi dapat dilihat sebagai sebuah kesadaran nasional. Tanda pertama pertumbuhan nasionalisme sudah bisa dijejaki pada era Renaissance (tepat ketika terjadi pembakaran reformator agama Jan Hus di Konsili Konstanz, terjadi pula perang Hussit di Bohemia dan Moravia yang menajamkan kesadaran nasional orang Ceko; reformasi Martin Luther dan nada anti-Roma serta terjemahan Kitab Suci dalam bahasa Jerman telah menumbuhkan kesadaran orang-orang Jerman sebagai orang Jerman).
Nasionalisme dalam arti yang sesungguhnya telah ada sejak pasca revolusi Perancis. Dalam paham J.J. Rousseau tentang kedaulatan rakyat, dia mengetengahkan paham "bangsa". Pada era romantik (1700 – 1800’an) konsep kebangsaan dilihat sebagai sumber masyarakat.
Sejak abad 19, nasionalisme telah menjadi motivasi dan sikap politik bangsa di Eropa. Pada awal abad 20, paham nasionalisme berpuncak pada Perang Dunia I dengan mewujudkan peta geo-politik Eropa sampai sekarang, aliansi Jerman-Italia, pembebasan Yunani-Bulgaria-Serbia dari Turki serta kemerdekaan di beberapa negara bagian Slavia dari imperialisme Austria, Turki, Rusia dan Jerman.
Pada permulaan abad ke 20, gelombang nasionalisme terasa di wilayah dunia ketiga. Nasionalisme menjadi senjata moral ampuh untuk melegitimasi perjuangan kemerdekaan.
Definisi
Nasionalisme adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa rasa kebangsaan (entah atas dasar persamaan nasib, entah atas dasar persamaan wilayah) dilihat sebagai perasaan utama dan cenderung dipakai untuk prinsip hidup secara personal atau secara publik. Secara luas juga dapat dikatakan bahwa nasionalisme menyatakan patriotisme (patria=tanah air) yang merupakan prinsip moral dan politik yang mengandung kecintaan pada tanah air, kebanggaan emosional terhadap sejarah dan ketersediaan diri untuk membela kepentingan-kepentingan bangsa.
Dapat dikatakan bahwa nasionalisme per definitionem lebih bersifat emosionalistis, kolektivistik, idolistik dan sarat berisi memori historisitas. Faktor emosi lebih terlihat bahwa nasionalisme selalu melibatkan dimensi emosi atau rasa (seperasaan, sepenanggungan, seperantauan, senasib). Aspek kolektivistik lebih disebabkan karena nasionalisme selalu mengikat secara bersama orang-orang yang terlibat dalam satu kesatuan emosi tersebut. Faktor idolistik adalah faktor "penyembahan" kelompok bangsa tertentu pada suatu cita-cita bersama yang akhirnya melegitimasi perilaku kelompok tersebut. Faktor memori historisitas adalah faktor kecenderungan yang dibangun untuk menumbuhkan rasa-perasaan "bersatu" dalam sebuah konsep kebangsaan tertentu.
Mencari Makna Kebangsaan

Hingga abad ke-20, negara-negara secara fisik masih mempunyai batas wilayah, rakyat, tempat dan syarat-syarat lainnya untuk bisa layak dikatakan sebagai sebuah negara secara definitif. Berbagai konflik dan perdamaian masih dilakukan dengan argumen kedaulatan yang secara fisik bisa dirasakan. Sebagai contoh, Indonesia pada tahun 1945-1949 yang secara definitif pula menyatakan kemerdekaannya, menetapkan wilayah - struktur pemerintahannya serta adanya rakyat di dalam wilayah tersebut. Pergulatan menuju kemerdekaan yang dilakukan melalui bentuk fisik seperti perjuangan dan non fisik seperti diplomasi, dil?kukan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan setiap unsur suku yang berada dan mengklaim diri sebagai ‘bangsa Indonesia’.
Momentum kesepakatan-kesepakatan tersebut telah dilakukan ê?uh sebelumnya yakni pada tahun 1928 sebagai Sumpah Pemuda dengan berdirinya berbagai organisasi perkumpulan pemuda yang berdasarkan kesukuan. Artinya, berdirinya negara tidak terlepas dari adanya keinginan setiap golongan yang menyatakan diri bersama-sama dan membentuk bangsa sebagai penduduk dari negara tersebut.
Akan tetapi, perkembangan sejarah yang terjadi menjelang abad ke-21 ini justru semakin mengaburkan pengertian sebuah negara secara substansial. Sebagai contoh misalnya kemajuan teknologi informasi yang diwujudkan dalam pemindahan modal dari suatu negara ke negara lain secara proses digital tanpa bisa dicegah, akses internet yang bisa dilakukan tanpa sensor di perbatasan, bahkan kemajuan tersebut juga memberi dampak terhadap perdagangan yang bisa menaikkan atau melumpuhkan perekonomian sebuah negara. Artinya, lama kelamaan kedaulatan sebuah negara tidak lagi diganggu secara fisik.
Kalau dulu Indonesia dijajah Jepang dengan kekerasan dan perang selama 3 tahun, kini tanpa disadari sejak 30 tahun yang lalu penjajahan itu dimulai kembali dengan membanjirnya barang-barang produksi Jepang dalam bentuk dan kebutuhan apapun di sekitar kita. Jika demikian, sesungguhnya rasa kebangsaan itu telah bergeser fondasinya. Kita tidak bisa lagi secara jernih bisa menyatakan sebuah kemerdekaan secara substansial. Makna dari rasa kebangsaan itu telah jauh hilang ditelan jaman.
Bergesernya fondasi rasa kebangsaan itu secara substansial membuat kesepakatan-kesepakatan yang sudah ada sejak 50 tahun yang lalu untuk menyatakan diri sebagai suatu bangsa juga mulai goyang. Tentu saja kita tidak dengan naif menyatakan bangsa Indonesia sudah bubar. Ketidaksiapan kita selama ini dalam menghadapi perkembangan zaman membuat masyarakat semakin risau. Terlebih problem berjalannya pemerintahan, kesulitan ekonomi, tidak adanya lapangan pekerjaan dan sebagainya adalah masalah-masalah nyata yang memang pada saat ini butuh untuk segera diselesaikan. Namun karena tiadanya lagi dasar yang kuat berupa rasa kebangsaan maka yang terjadi adalah penambahan masalah-masalah baru seperti disintegrasi masyarakat dan perdebatan pembagian ruang kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah.
Mengapa demikian? Ada kegagapan publik untuk bisa mendefinisikan secara utuh tentang nasionalisme. Masyarakat kini menghadapai persoalan-persoalan diatas yang sifatnya sangat kompleks, global dan lintas sektoral. Kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa disintegrasi masyarakat bisa diselesaikan hanya dengan lagu Indonesia Raya, mengibarkan Merah Putih atau mengatakan bahwa kita bersaudara satu tanah air. Disintegrasi masyakarat bukanlah penyebab melainkan akibat dari ketidaksiapan kita mengikuti zaman.
Oleh karena itu rasa kebangsaan menjadi sebuah dilema, dapatkah ia menyelesaikan persoalan yang ada? Di satu sisi ia masih diklaim dibutuhkan sebagai perekat tambal sulam keutuhan masyarakat, tapi di sisi lain ia telah kehilangan makna dan tidak bisa memberi arti terhadap eksistensi kebangsaan itu sendiri.
Nasionalisme: Sudah Punah atau Masih Tercecer dalam Benak ?
Dalam situasi yang serba baru dan semakin mengglobal, orang semakin dituntut untuk semakin kritis dan siap. Tentu saja perubahan mendasar dalam sistem kehidupan manusia setelah revolusi informasi juga menimbulkan banyak batu uji bagi eksistensi nasionalisme itu sendiri.
Dalam situasi demikian, tentu saja masih ada orang yang berusaha untuk mencari makna kebangsaan untuk bisa memberi legitimasi keberadaan bangsa Indonesia. Banyak hal dilakukan baik dalam menggali pemahaman politik ideologi tentang nasionalisme hingga secara praksis menyatakan pemahaman-pemahaman tersebut dalam bentuk citra ‘nasionalis’ ditengah-tengah disintegrasi masyakat yang masih terus berlangsung.
Masuk dan lepasnya Timor Timur dari Republik Indonesia memberi goncangan tersendiri terhadap pemahaman politik nasionalisme kita. Sejak 1976, sesepakatan menjadi satu dalam sebuah bangsa ternyata ditempuh bukan melalui sekedar konvensi belaka tetapi dengan darah dan kekerasan. Ini menjadi sebuah argumen tentang eksistensi dan rasa kebangsaan yang akhirnya berwujud sebagai faktor pendorong utama lepasnya kembali Timor Timur disamping tekanan internasional yang ada.
Ini menjadi sebuah kebingungan nasional ketika beban ekonomi semakin menghimpit orang harus mencari makna baru tentang jati diri bangsanya. Akhirnya pemahaman politik tentang nasionalisme tumbuh kembali tetapi hanya berhenti hanya sekedar pengertian fisik yang diagung-agungkan.
Kondisi seperti ini sama seperti bangsa Jerman pada tahun 1930-an ketika dilanda depresi ekonomi dan butuh figur kuat yang bisa menaikkan harga diri bangsa yang terpuruk. Idol nasionalisme diwujudkan dalam partai tunggal yang kuat, baris berbaris, lagu-lagu mars perjuangan dan kebencian terhadap segala sesuatu yang dianggap merusak persatuan dan kekuatan bangsa.
Pemujaan terhadap idol seperti itu pada akhirnya memperkokoh bangunan fisik nasionalisme menjadi mengerucut ke arah fasisme. Fanatisme yang didapat karena sebuah kebingungan dan kegagapan melahirkan ketakutan-ketakutan terhadap perkembangan pemikiran yang dianggap ‘tidak nasionalis’. Sebagai contoh aksi pembakaran buku-buku kiri dan pembelaan terhadap orang-orang yang melakukan pembantaian di Timor Timur adalah tindakan-tindakan yang dilakukan untuk menutupi kegagapan tersebut sebagai ungkapan fanatisme terhadap nasionalisme. Mengapa? Salah satu faktor yang sudah dijelaskan di atas adalah definisi nasionalisme yang berakar dari kebanggaan akan masa lampau dan sekarang. Jika masih kini tidak dapat dibanggakan lagi, maka dicarilah nasionalisme dengan mengacu pada kebanggaan di masa lalu. Kebanggaan berupa apa? Kita tidak pernah punya data historis lengkap dan bersifat substansial tentang hal itu dan akibatnya kebanggaan tersebut muncul dari pengamatan fisik belaka. Identitas nasionalisme diwujudkan kembali melalui idol berupa bendera, lagu dan hasil pengamatan fisik lainnya. Hal inilah yang membuat romantisisme dan fasisme berkembang subur ditengah ketidakberdayaan masyarakat terhadap kebobrokan pemerintahan dan ekonomi.
Penutup
Dalam makalah ini, paparan nasionalisme diletakkan dalam dua perspektif. Nasionalisme, di satu pihak, merupakan paham yang mengikat orang dalam kesatuan situasi historis dan dari situ sebuah bangsa mendapatkan kekuatan untuk survive. Di lain pihak, nasionalisme sedang mengalami proses pembusukan alamiah melalui proses perubahan sosial-global.
Para ideolog nasionalisme tetap melihat bahwa nasionalisme merupakan batu inspirasi yang bisa terus digali dan dicari dalam kekhasan generasi sebuah bangsa. Meski demikian, kita tetap melihatnya secara kritis yaitu bahwa nasionalisme dalam pengalaman sejarah pernah menjadi ideologi yang paling destruktif.
Generasi muda sosialis global lebih cenderung untuk melihat nasionalisme merupakan fosil ideologi yang sudah punah. Dalam arti bahwa sebagai ideologi, nasionalisme tidak mampu beradaptasi dengan perubahan sosial yang terjadi. Dengan pandangan ini, kita juga harus kritis, ketika nasionalisme sebagai ideologi punah, tetap saja nasionalisme tetap ada yang tersisa dalam benak otak kehidupan sosial yang ada.
Pertanyaan yang tersisa: apakah nasionalisme modern telah mengubah namanya dengan sebutan lain ? Atau haruskah dan tentu saja berani mengumumkan bahwa memang nasionalisme sudah punah ?


Pelajaran-Pelajaran Dari Kudeta 1965 Indonesia
By Terri Cavanagh

BAB PERTAMA
Latar Belakang Sejarah
Pada Bulan Oktober 1965 kaum buruh internasional mengalami salah satu kekalahan yang terbesar dalam period setelah Perang Dunia Kedua.
Sebanyak satu juta buruh dan petani dibantai dalam kudeta militer yang diatur oleh CIA dan dipimpin oleh Jenderal Suharto. Kudeta militer ini dilakukan untuk menyingkirkan rejim burjuis Sukarno yang sedang goyah, menindas pergerakan massa di Indonesia dan mendirikan rejim militer yang brutal.
Mantan-mantan diplomat Amerika Serikat and pejabat CIA, termasuk bekas duta besar AS untuk Indonesia dan Australia, Marshall Green, tahun ini telah mengakui bekerja sama dengan tukang-tukang jagal Suharto dalam pembunuhan ratusan ribu buruh dan petani yang dicurigai sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Mereka memberikan secara perorangan nama-nama dari ribuan anggota PKI dari arsip-arsip CIA, untuk daftar-daftar bantaian angkatan bersenjata.
Menurut Howard Federspeil, seorang ahli soal Indonesia yang sedang bekerja untuk Departemen Luar Negeri AS pada waktu kampanye anti-komunis itu: "Tak seorang pun perduli, asal saja mereka itu komunis, kalau mereka dijagal."
Kudeta itu merupakan hasil dari sebuah operasi panjang CIA, dengan bantuan agen-agen Dinas Intelijen Rahasia Australia (ASIS), untuk melatih dan membangun angkatan bersenjata Indonesia dalam persiapan untuk sebuah rejim militer yang akan menindas aspirasi revolusioner rakyat Indonesia.
Pada waktu kudeta militer itu, PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Cina dan Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3.5 juta; ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3.5 juta anggota dan pergerakan petani BTI yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita, organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Selama perjuangan kemerdekaan melawan Belanda di tahun empatpuluhan dan sepanjang tahun limapuluhan dan enampuluhan ratusan ribu orang buruh yang sadar akan kelasnya menjadi anggota PKI, mengira PKI masih mewakili tradisi-tradisi sosialis revolusioner Revolusi Bolshevik 1917.
Namun pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali.
Pembunuhan-pembunuhan itu sangatlah tersebar-luas, sampai sungai-sungai menjadi penuh dengan mayat-mayat para pekerja dan petani. Sewaktu regu-regu pembantai militer yang didukung CIA mencakupi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Bagaimanakah kekalahan bersejarah ini dapat terjadi? Jawabannya memerlukan sebuah penelitian dari sejarah pergerakan rakyat Indonesia, pengkhianatan oleh kelas burjuis nasional yang dipimpin oleh Sukarno, peranan kontra-revolusioner PKI dan peranan penting yang dimainkan oleh para oportunis Pablois dari "Sekretariat Tergabung" (United Secretariat)-nya Ernest Mandel dan Joseph Hansen dalam membantu pengkhianatan para Stalinis.
'Permata Asia'
Kudeta berdarah di Indonesia merupakan hasil dari niat imperialisme AS untuk mendapatkan kontrol mutlak atas kekayaan alam dan sumber-sumber strategis dari kepulauan yang sering dinamakan 'Permata Asia'itu.
Pentingnya Indonesia bagi imperialisme AS ditegaskan oleh presiden AS Eisenhower di tahun 1953, waktu ia mengatakan kepada konperensi gubernur negara-negara bagian bahwa pembiayaan oleh AS untuk perang kolonial pemerintah Perancis di Vietnam adalah sangat imperatif dan merupakan "jalan termurah" untuk tetap mengontrol Indonesia.
Eisenhower menerangkan:"Sekarang marilah kita anggap kita kehilangan Indocina. Bila Indocina hilang, beberapa hal akan langsung terjadi. Tanjung Malaka, sebidang tanah terakhir yang bertahan di sana, akan menjadi sulit untuk dipertahankan. Timah dan tungsten yang sangat kita hargai dari daerah itu akan berhenti datang, dan seluruh India akan terkepung.
"Birma tidak akan berada di posisi yang dapat dipertahankan. Semua posisi di sekitar sana akan menjadi sangat tak menyenangkan buat Amerika Serikat, karena pada akhirnya jika kita kehilangan semua itu, bagaimanakah dunia bebas akan mempertahankan kerajaan Indonesia yang kaya?
"Jadi, entah dimana, ini harus diberhentikan dan harus diberhentikan sekarang, dan inilah yang kita usahakan.
"Jadi, bila AS memutuskan untuk menyumbang 400 juta dolar untuk membantu perang di Indocina, kita bukannya menyuarakan program bantuan gratis. Kita memilih jalan termurah untuk mencegah terjadinya sesuatu yang akan berarti sangat buruk buat Amerika Serikat, keamanan, kekuatan dan kemampuan kita untuk mendapatkan barang-barang tertentu yang kita butuhkan dari kekayaan-kekayaan wilayah Indonesia dan Asia Tenggara."
Indonesia telah diperkirakan sebagai negara terkaya nomor lima di dunia di bidang sumber-sumber alam. Selain sebagai produser minyak yang nomor lima terbesar, Indonesia mempunyai cadangan-cadangan timah, bauksit, batubara, emas, perak, berlian, mangan, fosfat, nikel, tembaga, karet, kopi, minyak kelapa sawit, tembakau, gula, kelapa, rempah-rempah, kayu dan kina yang sangat besar.
Pada tahun 1939, yang pada waktu itu masih dipanggil East Indies Belanda memasok lebih dari separuh konsumsi total bahan mentah yang penting bagi Amerika Serikat. Kekuasaan atas daerah penting ini merupakan masalah penting dalam perang AS-Jepang di Pasifik. Dalam masa setelah perang kelas penguasa AS bertekad bulat untuk tidak kehilangan kekayaan-kekayaan negara ini ke tangan rakyat Indonesia.
Setelah kekalahan Perancis di Vietnam di tahun 1954, AS menjadi khawatir bahwa perjuangan rakyat Vietnam akan menyulut pergolakan revolusioner di seluruh daerah Asia Tenggara, mengancam kontrol mereka atas Indonesia.
Di tahun 1965, sebelum kudeta di Indonesia, Richard Nixon, yang segera akan menjadi presiden AS, menyerukan untuk pengeboman saturasi untuk melindungi "potensi mineral besar" Indonesia. Dua tahun setelah itu, dia menyatakan bahwa Indonesia merupakan "hadiah terbesar Asia Tenggara".
Setelah kudeta 1965, kegunaan diktatur Suharto untuk kepentingan imperialisme AS telah tergarisbawahi dalam laporan Departemen Luar Negeri AS ke Konggres di tahun 1975, yang menyebut Indonesia sebagai "lokasi yang paling berwenang secara strategis di dunia":
• "Mempunyai populasi yang terbesar di seluruh Asia Tenggara.
• "Merupakan penyuplai utama bahan-bahan mentah di daerah itu.
• "Kemakmuran ekonomi Jepang yang terus berkembang, sangatlah tergantung pada minyak bumi dan bahan-bahan mentah lain yang dipasok oleh Indonesia.
• "Investasi Amerika yang sudah ada di Indonesia sangatlah kokoh dan hubungan dagang kita sedang berkembang cepat.
• "Indonesia mungkin secara meningkat akan menjadi penyedia yang penting untuk keperluan energi AS.
• "Indonesia adalah anggota OPEC, tetapi itu mengambil sikap yang moderat dalam langkah-langkahnya, dan tidak ikut serta dalam embargo minyak bumi.
• "Kepulauan Indonesia terletak pada jalur-jalur laut yang strategis dan pemerintah Indonesia memainkan peranan yang vital dalam perundingan-perundingan hukum kelautan, yang sangatlah penting untuk keamanan dan kepentingan komersiil kita."
Perampasan Kolonial Selama Berabad-Abad
Kolonial Belanda menjajah Indonesia tanpa ampun selama 350 tahun, merampok kekayaan alamnya, membuka perkebunan-perkebunan besar dan memeras rakyatnya secara kejam.
Pada tahun 1940 hanya ada satu dokter untuk setiap 60,000 orang (dibandingkan dengan India, di mana rasionya adalah 1:6,000) dan 2,400 lulusan Sekolah Menengah Atas. Pada akhir Perang Dunia Kedua, 93 persen dari populasi Indonesia masih buta-huruf.
Pada permulaan abad Kesembilan Belas, perkembangan kaum burjuis Inggris makin menantang dominasi Belanda atas daerah ini. Di tahun 1800 East Indies Company milik Belanda menjadi bangkrut dan Inggris mengambil-alih daerah kekuasaannya antara tahun 1811 dan 1816. Di tahun 1824, Treaty of London (Perjanjian London) membagi daerah ini antara keduanya: Inggris mendapat kontrol atas tanjung Malaka dan Belanda tetap menguasai kepulauan Indonesia.
Permulaan abad Keduapuluh, imperialisme Amerika yang baru sedang berkembang mulai menjadi tantangan untuk kekuatan kolonial Eropa, terutama setelah pendudukan Filipina oleh Amerika Serikat di tahun 1898.
Amerika Serikat sedang terlibat dalam perang dagang dengan Belanda atas minyak bumi dan karet. Perusahaan minyak Standard mulai memperebutkan monopoli atas daerah-daerah pertambangan minyak di Indonesia oleh Royal Dutch company. Di tahun 1907, Royal Dutch dan Shell bergabung untuk menandingi kompetisi dari AS. Mengambil keuntungan dari situasi Perang Dunia Pertama, Standard Oil mulai mengebor minyak di Jawa Tengah, dan dalam tahun yang sama perusahaan-perusahaan AS mulai menguasai perkebunan-perkebunan karet. Goodyear Tyre and Rubber membuka perkebunan-perkebunan mereka dan US Rubber membuka perkebunan-perkebunan karet di bawah satu pemilikan yang terbesar di dunia.
Strategi AS di daerah ini sewaktu itu dapat diringkas oleh Senator William Beveridge:
"Filipina adalah milik kita selamanya...dan lewat Filipina adalah pasaran Cina yang tak terbatas. Kita tidak akan mundur dari keduanya. Kita tidak akan meninggalkan tanggung-jawab kita di kepulauan itu. Kita tidak akan meninggalkan tanggung-jawab kita di Asia Timur. Kita tidak akan meninggalkan bagian kita di dalam misi bangsa kita, kepercayaan Tuhan, untuk perdaban di dunia ini...kita akan maju berkarya...dengan rasa terima kasih... dan rasa syukur kepada Tuhan kita yang Maha Besar karena Dia telah memilih kita sebagai orang-orang terpilihNya, dan selanjutnya memimpin dalam regenerasi dunia...Perdagangan terbesar kita mulai sekarang harus dengan Asia. Laut Pasifik itu adalah laut kita... dan Pasifik adalah laut perdagangan masa depan. Kekuatan yang memiliki Pasifik, adalah kekuatan yang menguasai dunia. Dan dengan Filipina, kekuatan itu adalah dan akan selalu menjadi Republik Amerika."
Berkembangnya imperialisme Jepang dan ekspansinya ke Korea, Manchuria dan Cina menimbulkan pertentangan dengan imperialisme Amerika atas penguasaan daerah-daerah itu, yang meningkat dan meletus dalam Perang Pasifik dalam Perang Dunia Kedua. Keinginan kaum burjuis Jepang untuk merebut kekuasaan AS, Perancis dan Belanda membawa pentingnya Indonesia, sebagai gerbang ke Laut India dari Asia Tenggara dan sumber kekayaan alam, ke dalam fokus.
Di tahun 1942 para kolonialis Belanda menyerahkan kekuasaan atas Indonesia ke Jepang, daripada membiarkan rakyat Indonesia berjuang untuk kemerdekaan. Semua kekuatan imperialis mempunyai alasan baik untuk menakuti rakyat Indonesia yang tertindas.
Sejauh tahun 1914 wakil-wakil terbaik dari kelas buruh Indonesia telah mengambil ajaran Marxisme ketika Assosiasi Sosial Demokrat Indies (Indies Social Democratic Association) dibentuk dengan inisiatip seorang komunis Belanda Hendrik Sneevliet. Di tahun 1921 itu berubah menjadi Partai Komunis Indonesia sebagai tanggapan kepada Revolusi Bolshevik di Rusia.
PKI mendapatkan kewenangan besar di antara rakyat dengan memimpin perjuangan melawan kolonialisme Belanda, termasuk pergerakan-pergerakan besar yang pertama di Jawa dan Sumatra di tahun 1926 dan 1927.
Ketika rakyat Cina sedang bergerak dalam Revolusi Cina yang kedua di tahun 1926-27, para pekerja dan petani Indonesia juga bergerak dalam sebuah pemberontakan, yang dipimpin PKI. Bagaimanapun juga, kewenangan kolonial Belanda berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan itu. Mereka menangkap 13,000 orang tertuduh, memenjarakan 4,500 dan mengasingkan 1,308 ke dalam kamp konsentrasi di Irian Barat. PKI dilarang.
Perjuangan Pembebasan Nasional Dikhianati
Pada akhir Perang Dunia Kedua rakyat-rakyat tertindas di Indonesia, India, Sri Lanka, Cina dan di seluruh Asia Tenggara dan dunia maju bergerak dalam perjuangan-perjuangan revolusioner untuk membebaskan diri dari imperialisme.
Pada saat yang sama, kelas buruh di Eropa dan negara-negara kapitalis mengadakan perjuangan-perjuangan yang menggoncangkan. Itu hanya dapat dipadamkan melalui perkhianatan birokrasi Sovyet yang dipimpin oleh Stalin dan partai-partai Stalinis di seluruh dunia. Pengkhianatan pekerja-pekerja Perancis, Itali dan Yunani yang terutama, dan pendirian rejim-rejim yang dikendalikan secara birokratis di Eropa Timur memperbolehkan imperialisme untuk memantapkan diri.
Di tahun 1930an, munculnya sebuah kasta berhak istimewa dalam Uni-Sovyet, yang mengambil kekuasaan politis dari kaum proletar Sovyet, telah menghancurkan partai-partai Komunis. Dari partai-partai Internasional revolusioner, mereka berubah menjadi organisasi-organisasi kontra-revolusioner, yang menekan perjuangan-perjuangan mandiri kelas buruh.
Di negara-negara kolonial, partai-partai Stalinis ini, termasuk PKI, secara sistematis mengebawahkan kepentingan rakyat ke kelas burjuis-nasional yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Gandhi di India dan Sukarno di Indonesia yang berusaha mencari penyelesaian dengan kekuatan-kekuatan kolonial untuk mempertahankan kekuasaan kapitalis.
Perjanjian-perjanjian setelah Perang Dunia Kedua tidak menghasilkan pembebasan nasional yang sejati dari imperialisme, tetapi membebankan kepada rakyat agen-agen baru kekuasaan imperialis. Ini adalah kasusnya di Indonesia di mana kelas burjuis nasional, dipimpin Sukarno, mengadakan perjanjian-perjanjian reaksioner dengan Belanda.
Sukarno, putra seorang guru sekolah Jawa yang berasal dari keluarga aristokratis, adalah lulusan arsitek, bagian dari lapisan sosial tipis kaum petit-burjuis yang berpendidikan. Dia adalah ketua Partai Nasional Indonesia saat itu dibentuk di tahun 1927 dan mengalami penjara dan pengasingan di tangan Belanda karena dia mengajarkan kemerdekaan nasional.
Dalam Perang Dunia Kedua Sukarno dan kelas burjuis nasional bekerja sama dengan pasukan pendudukan Jepang dengan harapan mendapatkan semacam kemerdekaan nasional. Dalam hari-hari terakhir perang itu Sukarno, dengan dukungan separuh-hati Jepang, mendeklarasikan Republik Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Arahan pemimpin-pemimpin kelas burjuis nasional ini bukanlah untuk memimpin sebuah gerakan proletar melawan imperialisme, tetapi untuk mendirikan sebuah administrasi dan memperkuat posisi mereka dalam tawar-menawar dengan Belanda, yang tidak mempunyai tentara di daerah itu.
Tetapi reaksi Belanda adalah mengadakan perang yang kejam untuk menekan rejim yang baru ini. Mereka memerintahkan Indonesia untuk tetap di bawah perintah tentara Jepang sampai tentara Inggris dapat mencapai sana. Inggris dan Jepang kemudian menggunakan tentara-tentara Jepang untuk menekan perjuangan bertekad para pekerja, pemuda dan petani Indonesia. Dengan begitu, semua kekuatan-kekuatan imperialis bergabung melawan rakyat Indonesia.
Ketika perlawanan bersenjata meletus di seluruh Indonesia terhadap tentara Belanda, Sukarno, dengan dukungan dari kepemimpinan PKI, menjalankan sebuah politik kompromi dengan Belanda dan menandatangani Perjanjian Linggarjati di bulan Maret 1947. Belanda mengenali secara formal kekuasaan Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra dan setuju untuk mengundurkan tentara mereka. Tetapi kenyataannya, Belanda hanya menggunakan ini sebagai kesempatan untuk mengambil napas dan memperkuat dan mempersiapkan diri untuk sebuah serangan yang kebrutalannya tak tertandingi di bulan Juli dan Agustus 1947.
Selama waktu ini, ratusan ribu buruh dan petani menjadi anggota atau mendukung PKI karena mereka kehilangan kepercayaan terhadap para pemimpin burjuis dan karena mereka memandang PKI sebagai partai revolusioner. Mereka juga terilhami oleh kemajuan-kemajuan Partai Komunis Cina Mao Tse Tung dalam perangnya melawan Chiang Kai-Shek. Dalam perang melawan Belanda, buruh dan petani menduduki tanah dan bangunan-bangunan berulang-ulang dan serikat-serikat buruh massa dibentuk.
Untuk menanggulangi perkembangan ini, pemerintahan Republik Sukarno, yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin yang saat itu masih Perdana Menteri (juga seorang anggota PKI rahasia), menandatangani Perjanjian Renville di bulan Januari 1948 (dipanggil itu karena ditandatangani di atas USS Renville). Perjanjian ini memberi Belanda kekuasaan atas separuh pabrik-pabrik gula di Jawa, 75 percent dari karet Indonesia, 65percent perkebunan kopi, 95 percent perkebunan teh dan minyak bumi di Sumatra. Tambahan pula, penyelesaian yang diimposisi oleh AS ini menyebutkan penarikan mundur pasukan-pasukan gerilya dari daerah-daerah yang dikuasai Belanda dan menciptakan kondisi untuk pembubaran "unit-unit rakyat bersenjata" yang dipimpin oleh PKI, dan untuk pembentukan "Angkatan Bersenjata Nasional Indonesia" yang dipimpin oleh Sukarno dan jendral-jendralnya.
Di tahun 1948 aksi-aksi pemogokan menentang pemerintah Republik, yang sekarang dipimpin oleh Wakil Presiden sayap-kanan Hatta sebagai Perdana Menteri, dan menuntut sebuah pemerintahan berparlemen. Aksi-aksi ini dipadamkan oleh Sukarno yang mengimbau untuk penciptaan "kesatuan nasional".
Pada saat yang sama, pemimpin PKI Musso yang sebelumnya diasingkan, kembali dari Uni-Sovyet dan beberapa pemimpin-pemimpin penting Partai Sosialis Indonesia dan Partai Buruh Indonesia menyatakan bahwa mereka adalah anggota-anggota rahasia PKI selama bertahun-tahun. Pernyataan ini menunjukkan basis dukungan untuk PKI yang jauh lebih besar dari yang sebelumnya diperkirakan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.
Di bulan Juli 1948 pemimpin-pemimpin burjuis, termasuk Sukarno dan Hatta mengadakan pertemuan rahasia dengan wakil-wakil AS di Sarangan di mana AS menuntut, sebagai bayaran bantuan ke pemerintah, pengadaan pemburuan anggota-anggota PKI dalam angkatan bersenjata dan pegawai-pegawai pemerintah. Hatta, yang juga masih Menteri Pertahanan, diberi $10 juta untuk melakukan "pemburuan merah"
Dua bulan setelah itu, dalam sebuah percobaan untuk menghancurkan PKI, Peristiwa Madiun dilakukan di Jawa. Beberapa perwira angkatan bersenjata, anggota-anggota PKI, dibunuh dan yang lainnya menghilang, setelah mereka menentang rencana-rencana untuk membubarkan kesatuan-kesatuan gerilya angkatan bersenjata yang berada di garis depan perang melawan Belanda.
Pembunuhan-pembunuhan ini menimbulkan pemberontakan di Madiun yang ditekan secara berdarah oleh rejim Sukarno. Perdana Menteri Hatta menyatakan hukum darurat. Ribuan anggota PKI dibunuh, 36,000 dipenjara dan pemimpin PKI Musso dan 11 pemimpin penting yang lainnya dihukum mati.
Konsul-Jendral AS Livergood menelegram atasannya di AS mengatakan bahwa dia telah memberitahu Hatta bahwa "krisis ini memberikan pemerintahan Republik kesempatan untuk menunjukkan tekadnya untuk menekan komunisme."
Terbesarkan hatinya karena pogrom anti-komunis itu, Belanda menjalankan serangan militer baru di Desember 1948, menangkap Sukarno. Tetapi perlawanan yang meluas memaksa Belanda untuk menyerah dalam waktu enam bulan.
Meskipun begitu, konperensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag membebankan pengkhianatan-pengkhianatan baru atas rakyat Indonesia, melibatkan konsesi-konsesi yang lebih besar dari kelas burjuis Indonesia.
Pemerintah Sukarno setuju untuk mengambil alih hutang-hutang koloni dan menjamin perlindungan untuk modal milik Belanda. Belanda mendapat Irian Barat dan Republik Indonesia tetap harus bekerja sama dengan imperialis Belanda dalam Netherlands-Indonesian Union. Pemerintah Sukarno tetap mempertahankan hukum-hukum kolonial. Angkatan bersenjata baru didirikan dengan menggabungkan tentara-tentara Belanda yang berasal dari Indonesia ke dalam "Angkatan Bersenjata Nasional". Dalam kata lain aparatus dan hukum-hukum kolonial lama dipertahankan dibalik aling-aling pemerintahan parlemen di republik yang baru.
Kepemimpinan PKI mendukung pengkhianatan perjuangan pembebasan nasional itu dan berusaha untuk membatasi kelas buruh dan petani ke dalam perjuangan-perjuangan yang damai dan "demokratis". Ini adalah terusan dari posisi PKI selama Perang Dunia Kedua ketika kepemimpinan PKI (dengan Partai Komunis Belanda) mengikuti arahan Stalin untuk bekerja sama dengan imperialis Belanda melawan Jepang dan menyerukan untuk sebuah "Indonesia merdeka dalam Persemakmuran Belanda". Ini tetap menjadi politik PKI meskipun selama perjuangan setelah Perang Dunia Kedua melawan Belanda.
Untuk rakyat Indonesia, kepalsuan "kemerdekaan" di bawah dominasi imperialisme Belanda, Amerika dan dunia yang berlangsung makin menjadi jelas. Hasil-hasil alam, industri-industri penting, perkebunan-perkebunan dan kekuatan keuangan tetap dipegang oleh perusahaan-perusahaan asing.
Contohnya, 70 percent lalu-lintas laut antar kepulauan masih dipegang oleh perusahaan Belanda KPM dan salah satu bank Belanda terbesar, Nederlandche Handel Maatschappij, memegang 70 percent dari semua transaksi keuangan Indonesia.
Menurut perhitungan pemerintah Indonesia, di pertengahan tahun 1950an, modal Belanda di Indonesia berharga sekitar $US 1 milyar. Pemerintah Sukarno mengatakan bahwa meskipun jika mereka ingin menasionalisasikan kemilikan Belanda, mereka tidak mempunyai cukup uang untuk menggantikan kerugian bekas penguasa-penguasa kolonial itu. Dan untuk menasionalisasikan tanpa ganti-rugi adalah komunisme.
Ketidakpercayaan rakyat tercermin di pemilihan umum 1955 ketika jumlah kursi yang dipegang PKI meningkat dari 17 ke 39.
Dalam waktu dua tahun pergerakan rakyat akan meletus dalam penyitaan pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank, toko-toko dan kapal-kapal milik Belanda, Amerika dan Inggris.

BAB KEDUA
Para Stalinis Mengkhianati Pergerakan Massa
Pada bulan Desember 1957 dominasi imperialisme atas ekonomi Indonesia tergoncang oleh pergerakan massa kaum buruh dan petani. Pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank dan kapal-kapal laut banyak yang dirampas dan diduduki.
Rejim burjuis Sukarno bisa bertahan hanya karena pemimpin-pemimpin Stalinis Partai Komunis Indonesia (PKI) menyabot pergerakan massa itu, dengan menegaskan bahwa para buruh dan petani harus menyerahkan semua yang sudah mereka sita kepada pasukan-pasukan angkatan bersenjata yang dikirim oleh Sukarno, dengan dukungan AS, untuk mengontrol situasi itu.
Kabar di New York Times tanggal 8 Desember 1957 memberi gambaran tentang keluasan dan kekuatan pergerakan itu: "Pergerakan pekerja-pekerja di Jakarta, sejauh kita dapat menentukan, terjadi tanpa ijin pemerintah, dan berlawanan dengan kata-kata Perdana Menteri Djuanda, Kepala angkatan bersenjata Jendral Abdul Haris Nasution dan pejabat-pejabat pemerintah yang lainnya, yang mengatakan bahwa pergerakan itu tidak dapat diterima dan orang-orang yang terlibat akan dihukum berat...
"Ketiga bank milik Belanda di sini, the Netherlands Trading Society, the Escompto dan the Netherlands Commercial Bank, diambil-alih oleh delegasi-delegasi pergerakan itu. Mereka membacakan proklamasi di depan kawan-kawan seperjuangan yang penuh semangat dan kemudian di depan para administrator-administrator dari Belanda, mengatakan bahwa atas nama Asosiasi Pekerja Indonesia mereka merampas bank-bank ini dan mulai saat itu akan menjadi milik Republik Indonesia."
Surat kabar Belanda "Volksrant" mengabarkan dengan nada khawatir pada tanggal 11 Desember 1957:"Di Jakarta para Komunis terus mengibarkan bendera-bendera merah di atas perusahaan-perusahaan milik Belanda...Hari ini kantor pusat Philips dan Societe D'Assurances Nillmij di Jakarta diduduki oleh orang-orang Indonesia di bawah pimpinan perserikatan buruh Komunis."
Pergerakan ini tidak hanya terjadi di Pulau Jawa. Menurut "New York Herald-Tribune" tanggal 16 Desember:"Pekerja-pekerja di bawah SOBSI, perserikatan buruh sentral yang didominasi oleh para Komunis, merampas toko-toko roti Belanda dan bank-bank di Borneo (Kalimantan)." Koran "New York Times" pada hari yang sama mengabarkan bahwa di Palembang, ibukota Sumatra Selatan, "pasukan-pasukan keamanan menahan sejumlah pekerja, anggota serikat buruh yang dikontrol oleh para Komunis, karena mereka bertindak tanpa ijin menyita tiga perusahaan Belanda. Tigapuluh tujuh bendera merah yang mereka naikkan di depan rumah-rumah pegawai-pegawai Belanda perusahaan-perusahaan tersebut telah disita."
Surat-surat kabar kapitalis yang lain mengabarkan "situasi anarki di Bali" dan menurut pemilik perkebunan Belanda yang sedang melarikan diri, di Aceh dan Deli, di pantai selatan Sumatra, pergerakan rakyat bukan hanya ditujukan ke perusahaan-perusahaan Belanda, tetapi juga ke perusahaan-perusahaan Inggris dan Amerika. Kabar-kabar serupa juga datang dari Sumatra Utara, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya.
Ada juga kabar-kabar bahwa pergerakan-pergerakan ini menimbulkan perlawanan di Papua New Guinea (Irian Timur) yang diduduki oleh Australia. Di Karema, duapuluh orang terluka ketika orang-orang pribumi melawan anggota-anggota pasukan keamanan setelah seorang jururawat pribumi mengatakan bahwa dia merasa dihina.
Pemberontakan di Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap panggilan dari Sukarno untuk mengadakan pemogokan umum terhadap perusahaan-perusahaan Belanda. Sebelum itu ia juga berbicara tentang penasionalisasian perusahaan-perusahaan milik Belanda pada sebuah pidato umum. Tujuan Sukarno adalah untuk menggunakan ancaman penasionalisasian sebagai cara untuk menekan Belanda untuk meninggalkan Irian Barat, yang tetap dibawah Belanda setelah Konperensi Meja Bundar di tahun 1949, supaya Indonesia dapat mengambil-alihnya.
Dalam usahanya untuk mengimbangkan keserakahan imperialisme Belanda, Amerika dan Inggris; ketidakpuasan massa yang tertindas dan berkembangnya kekuatan militer dengan dukungan Amerika - yang makin lama makin menjadi andalan rejimnya, Sukarno berusaha menggunakan tekanan dari rakyat untuk menekan imperialisme Belanda.
Para buruh mulai merampas dan menduduki perusahaan-perusahaan Belanda tanpa suruhan. Sukarno sama sekali tidak mengharapkan tanggapan seperti ini. Ia langsung memberi anggota-anggota militernya ijin untuk mengambil-alih perusahaan-perusahaan itu dari para buruh.
Biro Politik PKI bergegas membantu Sukarno dengan mengeluarkan resolusi untuk mengimbau rakyat untuk memecahkan secepatnya dengan perundingan perbedaan pendapat tentang cara-cara perjuangan melawan imperialisme Belanda, dengan demikian persatuan rakyat, antara rakyat, pemerintah dan angkatan bersenjata dapat diperkuat."
Bersamaan dengan itu, PKI mengimbau para pekerja "jangan hanya menjalankan perusahaan-perusahaan yang diduduki, tetapi buat mereka bekerja lebih displin dan lebih baik dalam meningkatkan produksi.
"Pemerintah harus mengambil keputusan yang mampu dan patriotis untuk perusahaan-perusahaan ini, dan para pekerja harus menunjang keputusan ini dengan seluruh kekuatan mereka."
Tambahan pula, PKI menegaskan bahwa pengambil-alihan itu hanya berlaku terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, mencoba menentramkan hati imperialisme AS dan Inggris dengan mengatakan bahwa kepentingan mereka tidak akan terganggu:"Semua pergerakan-pergerakan buruh, petani dan organisasi-organisasi pemuda ditujukan ke kapitalis-kapitalis Belanda. Negara-negara kapitalis yang lainnya tidak bersikap bermusuhan dalam perang antara Belanda dan Indonesia di Irian Barat. Karena itu, tidak ada aksi terhadap perusahaan kapitalis-kapitalis dari negara lain."
Mengenali usaha-usaha PKI untuk mematahkan pergerakan massa, Tillman Durdin menulis di "New York Times" tanggal 16 Desember:"Anggota-anggota Badan Penasehat National yang berorientasi Komunis diketahui telah menentang dengan tegas penyitaan-penyitaan yang dilakukan oleh para pekerja dan mengatakan bahwa pergerakan-pergerakan itu adalah 'anarko-sindikalisme' tak berdisiplin. Para Komunis membela program penyitaan yang dilangsungkan oleh pemerintah seperti sekarang ini.
Sukarno sendiri telah bersiap-siap meninggalkan negara untuk sebuah "liburan" di India, tetapi penyerahan perusahaan-perusahaan Belanda kepada pihak militer di bawah instruksi PKI telah menyelamatkan rejim burjuis Sukarno. Para pemimpin Stalinis dalam PKI tidak hanya menyelamatkan pemerintah Sukarno, mereka menimbulkan kondisi yang mengijinkan jendral-jendral militer dan penyokong mereka di AS untuk mempersiapkan kontra-revolusi berdarah mereka delapan tahun setelah itu.
Perspektif para pemimpin PKI adalah teori Stalinis "revolusi dua tahap" _ yang mengatakan bahwa perjuangan untuk sosialisme di Indonesia harus pertama melalui tahap apa yang dinamakan kapitalisme "demokratis". Perjuangan revolusi massa untuk memperlakukan langkah-langkah sosialis harus ditekan dan kepentingannya dikebawahkan ke sebuah "persatuan" dengan kelas burjuis nasional.
Sejalan dengan perspektif reaksioner ini, birokrasi-birokrasi Stalinis di Uni-Sovyet dan Cina mengelu-elukan Sukarno dan rejimnya di dalam period ini. Sebagai contoh, Kruschev mengunjungi Jakarta dan berkata bahwa ia akan memberi Sukarno semua bantuan dalam "segala kemungkinan". Kenyataannya, sebagian besar senjata-senjata yang digunakan dalam pembunuhan massa dalam kudeta 1965 adalah disediakan oleh Kremlin.
Permulaan Persiapan Militer
Di tahun 1956 tentara Indonesia, dengan sokongan Amerika, sudah memulai persiapan-persiapan untuk diktatur militer untuk menekan pergerakan rakyat. Di bulan Agustus Komandan militer daerah Jawa Barat memerintahkan penangkapan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani atas tuduhan-tuduhan korupsi. Di bulan November, Wakil Kepala angkatan bersenjata Kolonel Zulkifli Lubis, mencoba dengan kegagalan untuk menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintahan Sukarno. Bulan berikutnya, ada kudeta militer di daerah Sumatra Tengah dan Utara.
Pada bulan Oktober 1956 Sukarno memperkuat kedudukannya terhadap rakyat dan menenangkan angkatan bersenjata dengan mengimbau partai-partai politik untuk membubarkan diri. Imbauan ini setelah itu diperluas dengan usaha untuk mendirikan Dewan Nasional yang mencakup semua partai, termasuk PKI, untuk mengatur negara. Bilamana para kepala daerah militer menolak rencana ini, dan mengambil-alih kekuasaan provinsi-provinsi mereka, Sukarno mengumumkan keadaan darurat. Akhirnya, kabinet "non-partai" yang baru dibentuk, termasuk dua pengikut PKI.
Sebagai reaksi terhadap pergerakan massa di Desember 1957 itu, operasi imperialisme Amerika segera ditingkatkan. CIA sudah aktif sejak tahun 1940-an, mengeluarkan jutaan dollar untuk menyubsidi elemen-elemen pro-Amerika di dalam kelas burjuis nasional, terutama Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sumiro, kolega Hatta, dan sekutu islamnya yang lebih besar, Partai Masyumi yang dipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara, dengan siapa Hatta juga mempunyai hubungan dekat.
Sepanjang tahun 1957 dan 1958 serangkaian pemberontakan sesesesionis dan sayap-kanan yang dibantu oleh CIA meletus di pulau Sumatra dan Sulawesi yang kaya minyak bumi, di mana PSI dan Masyumi mempunyai pengaruh dominan.
Yang pertama adalah pemberontakan militer Permesta yang mulai di bulan Maret 1957 dan berlangsung sampai ke tahun 1958, yang berakhir dengan percobaan kudeta yang didukung oleh CIA di bulan February 1958.
Pemerintah Amerika Serikat memberikan dukungan keuangan yang cukup besar, penasehat-penasehat militer, senjata dan angkatan udara kecil yang terdiri dari pesawat-pesawat pembom B-26, dipiloti dari basis-basis di Taiwan dan Filipina. Menteri Luar Negeri AS bahkan memberikan dukungan secara terbuka untuk pemberontak-pemberontak sayap-kanan ini. Kapal induk dari armada ketujuh Amerika dikirim ke Singapor dan sewaktu itu kelihatannya Amerika bakal campur-tangan secara langsung di Sumatra dengan alasan melindungi pegawai-pegawai dan pemilikan-pemilikan Caltex Oil.
Komando militer Indonesia akhirnya memutuskan bahwa pemberontakan itu, gagal mendapatkan dukungan massa, harus dihentikan. Pemerintahan Sukarno selamat.
Tetapi, angkatan bersenjata menjadi lebih kuat. Selama enam tahun berikutnya, AS menuangkan uang untuk itu, meletakkan fondasi yang mengijinkan Suharto untuk mulai menempuh jalan ke kekuasaaan setelah memimpin operasi militer untuk mengambil-alih Irian Jaya di tahun 1962.
Antara tahun 1959 dan tahun 1965 Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam rupa bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di Suara Pemuda Indonesia:"Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalion angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap-kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara bebas".
Pada waktu yang sama, Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin"-nya. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, Islam dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.
Dalam mengejar front nasional mereka bersama dengan Sukarno dan kelas burjuis nasional, para pemimpin PKI menimbulkan ilusi-ilusi yang sangat berbahaya tentang angkatan bersenjata.
Hanya lima tahun sebelum kekalahan berdarah itu terjadi kepada para pekerja dan petani di tangan angkatan bersenjata, arahan politis PKI dinyatakan oleh kepemimpinan SOBSI, federasi serikat pekerja yang dipimpin oleh PKI, dalam sebuah pernyataan di Hari Buruh Internasional bulan Mei 1960:
"SOBSI menegakkan bahwa angkatan bersenjata Republik masih merupakan anak dari revolusi rakyat...dan dengan itu dari para perwira sampai ke bawahan mereka dan ke tentara-tentara...mereka tidak akan terlibat dengan aksi-aksi yang mengkhianati Republik. Selain itu, presiden Sukarno, yang memihak rakyat, mempunyai pengaruh besar atas pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata dan ia tidak berkehendak menjadi diktator militer."
Pergerakan Baru
Di tahun 1962, perebutan militer Irian Barat oleh Indonesia mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan perlawanan penduduk Irian Jaya terhadap pendudukan itu.
Di Indonesia sendiri, ketegangan ekonomi dan kelas yang mendasar, yang diakibatkan oleh berlanjutnya pemerasan rakyat oleh perusahaan-perusahaan imperialis dan kelas burjuis nasional, muncul kembali.
Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Dari tahun 1963 terus, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI D N Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi".
Pada bulan April 1964, dalam interview dengan S M Ali dari "Far Eastern Economic Review" Aidit menetapkan untuk kaum burjuis nasional perspektif Stalinis untuk perubahan yang damai dan berangsur-angsur ke arah sosialisme yang terdiri dari "dua tahap" di Indonesia.
"Bila kita sudah mencapai tahap pertama dari revolusi kita, yang sedang berlangsung sekarang, kita akan bisa mengadakan konsultasi yang damai dengan elemen-elemen progresif lain di masyarakat kita dan tanpa perjuangan bersenjata kita akan membawa negara kita ke revolusi sosialis."
Dia memberikan sebuah senario di mana rakyat akan terbatas dalam fungsi mempengaruhi kaum burjuis nasional:"Pengaruh dari tahap sekarang dari revolusi ini akan menetapkan pengaruh revolusioner atas kapitalis-kapitalis nasional Indonesia.
"Tidak akan ada perjuangan bersenjata kecuali bila ada intervensi asing memihak para kapitalis. Dan bila kita berhasil menyelesaikan tahap ini dalam revolusi demokratik nasional kita, kemungkinan satu kekuatan asing bercampur-tangan dalam urusan nasional Indonesia akan menjadi sangat kecil."
Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.
Dalam sebuah pertemuan Komite Sentral PKI Aidit mendorong penindasan pergerakan para petani itu dan mencela kader partai yang "terbawa oleh semangat untuk menyebar-luaskan pergerakan petani dan menjadi tidak sabar dan melakukan tindakan heroisme individual, tidak berpikir untuk mengembangkan kesadaran para petani dan menginginkan suatu kejadian yang tertentu, tidak berhati-hati dalam memisahkan dan memilih target-target mereka."
Para pemimpin PKI menghalalkan pemberhentian perampasan tanah dan pengembalian ke pemilik-pemiliknya dengan menunjuk kepada "kemungkinan yang akan datang untuk pembentukan "kabinet NASAKOM".
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para tukang jagal militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Dengan cara ini, para Stalinis dalam PKI melucuti para pekerja dalam PKI yang paling sadar akan kelasnya. Pengertian dasar Marxis tentang negara sebagai "badan orang-orang bersenjata" yang digunakan oleh kelas penguasa untuk menjaga kekuasaannya telah disangkal secara kriminal.
Aidit berusaha secepatnya untuk menenangkan kaum burjuis dan pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata bahwa PKI menentang mobilisasi revolusioner massa. "Hal yang penting di Indonesia sekarang bukanlah meruntuhkan kekuatan negara seperti halnya di negeri-negeri lain, tetapi memperkuat dan mendalamkan aspek pro-rakyat...dan menyingkirkan aspek anti-rakyat".
Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama sebelum kudeta terjadi, PKI, mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara.
Mereka bahkan menyembah di depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan mereka bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Sampai akhir, kepemimpinan PKI berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia.
Meskipun di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang dirubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara:
"Kekuatan dari aspek-aspek pro-rakyat (dalam aparatus negara) sudah bertambah kuat dan mempunyai inisiatif dan ofensif, dan aspek anti-rakyat, walaupun masih cukup kuat, sedang terpojok. PKI berjuang supaya aspek pro-rakyat akan menjadi bertambah kuat dan akan berkuasa dan aspek anti-rakyat akan dikeluarkan dari kekuasaan negara."
Kaum buruh Indonesia dan seluruh dunia membayar mahal untuk pengkhianatan Stalinis ini waktu Suharto dan jendral-jendral militer bergerak pada tanggal 30 September 1965.

BAB KETIGA
1965-Warisan Berdarah Stalinisme
Kudeta di Indonesia tanggal 1-2 Oktober 1965 adalah hasil dari sebuah operasi yang sudah lama direncanakan secara hati-hati oleh CIA dan komandan-komandan militer TNI yang dilatih oleh AS.
Selama tahun 1965 perselisihan-perselisihan antara kelas meningkat. Tahun itu mulai dengan para petani merampas pemilikan para tuan tanah besar dan pekerja-pekerja di perusahaan-perusahaan karet dan minyak bumi milik AS melakukan aksi pendudukan. Presiden Sukarno telah memasukkan jendral-jendral militer, yang dipimpin oleh Jendral Nasution, dan kepemimpinan PKI ke dalam kabinetnya untuk menekan pergerakan ini.
Kepemimpinan PKI berhasil menekan aksi-aksi pendudukan, tetapi pergerakan massa ini menjadi semakin sulit untuk dikendalikan. Kemarahan massa berkembang dengan dipenjaranya 23 petani, dengan hukuman antara 15 sampai 20 tahun, atas tuduhan memukuli seorang tentara sampai fatal dalam mempertahankan diri mereka terhadap operasi militer untuk menghentikan aksi-aksi perampasan tanah di Sumatra.
Pada malam 30 September 1965, sebuah provokasi yang didalangi CIA dilaksanakan. Sekelompok perwira menengah, yang paling sedikit satu mempunyai koneksi dekat dengan Suharto, menahan dan membunuh komandan angkatan bersenjata Letnan-Jendral Ahmad Yani dan lima jendral tingkat atas yang lain, dan menyatakan pembentukan sebuah Dewan Revolusioner.
Penculikkan jendral-jendral ini tidak mencakup dua orang penting. Yang pertama adalah Suharto, yang pada waktu itu adalah komandan Kostrad, yang terdiri dari tentara-tentara elit angkatan darat. Para pemberontak ini, yang dipimpin oleh Letnan-Kolonel Untung tidak berusaha sedikit pun untuk menangkap Suharto atau menyerang pusat komandonya di Jakarta walaupun ia mempunyai kemampuan untuk melaksanakan hal ini. Menteri Pertahanan Jendral Nasution, juga tidak dicakup. Dia dikatakan sebagai calon korban pemberontakan ini, tetapi dapat menyelamatkan diri secara ajaib.
Pemberontakan oleh Untung ini adalah palsu. Dalam 24 jam Suharto dapat mengalahkan semua pemberontak ini, hampir tanpa ada peluru melayang, dan mengambil-alih kontrol di Jakarta, dengan dukungan dari Nasution.
Di akhir minggu itu, komando yang dibentuk oleh Suharto membersihkan semua kantong-kantong perlawanan, dan melaksanakan pembantaian anti-komunis terbesar di sejarah yang didalangi oleh Kedutaan AS dan CIA. Pentagon dan CIA, yang pada waktu itu sudah terlibat dalam perang rahasia di Vietnam, bertekad untuk menenggelamkan revolusi Indonesia dalam darah.
Diplomat-diplomat AS dan perwira-perwira CIA, dipimpin oleh Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, bekerja sama dengan tukang-tukang jagal Suharto untuk membasmi setiap anggota dan pendukung PKI yang diketahui.
Bencana yang Didalangi CIA
Dalam mempersiapkan kudeta ini, pejabat-pejabat AS sudah menghabiskan paling sedikit dua tahun untuk membuat daftar-daftar maut ini yang diberikan kepada angkatan bersenjata dengan instruksi yang jelas: bunuhlah semuanya. Anak-buah Suharto diperintahkan untuk melapor kembali setiap sejumlah pembunuhan telah dilaksanakan supaya nama-nama korban mereka dapat dicocokkan dengan nama-nama di daftar-daftar itu.
Beberapa perwira-perwira AS yang berikut-serta mengatakan baru-baru ini apa yang terjadi. "Itu adalah bantuan yang besar untuk angkatan bersenjata," kata seorang bekas pejabat bagian politik di Duta Besar AS di Jakarta, Robert Martens. "Mereka mungkin membunuh banyak orang dan saya mungkin punya darah di tangan saya, tetapi itu tidak semuanya jelek."
"Suatu waktu kamu harus memukul keras pada waktu yang tepat."
Martens memimpin pejabat-pejabat CIA dan Departemen Luar Negeri di kedutaan besar AS, yang dari tahun 1962, menyusun keterangan mendetil tentang siapa saja yang duduk di dalam kepemimpinan PKI. Itu termasuk nama-nama anggota komite-komite PKI di tingkat provinsi, kota dan lokal; dan pemimpin-pemimpin perserikatan-perserikatan kerja yang didukung PKI, dan perserikatan-perserikatan wanita dan pemuda.
Operasi ini didalangi oleh bekas direktur CIA William Colby, yang pada waktu itu adalah direktur Divisi Asia Timur CIA, dan dengan itu menjadi bertanggung-jawab atas pengarahan strategi rahasia AS di Asia. Colby mengatakan bahwa mencari pengetahuan tentang kepemimpinan PKI menjadi latihan untuk program Phoenix di Vietnam, yang merupakan usaha untuk memusnahkan semua pendukung Front Kemerdekaan Nasional di akhir dekade 1960-an.
Colby mengakui bahwa mengecek nama-nama di daftar-daftar maut itu dianggap sangat penting sampai itu diawasi oleh direktorat intelijen CIA di Washington. "Kita berkesimpulan bahwa dengan perlakuan secara keji seperti itu, PKI telah mengalami kemunduran yang besar."
Wakil kepala pos CIA menggambarkan dengan rasa senang yang tak tersembunyi bagaimana markas Suharto di Jakarta memberikan kedutaan besar AS laporan secara berlanjut tentang pencakupan dan pembunuhan pemimpin-pemimpin PKI. "Kita mendapatkan laporan yang jelas di Jakarta tentang siapa yang dicakup. Angkatan bersenjata mempunyai 'daftar penembakan' untuk sekitar 4,000 sampai 5,000 orang.
"Mereka tidak punya cukup tentara untuk membinasakan mereka semua, dan beberapa orang masih berharga untuk diinterogasi. Rangka dasar organisasi mereka telah runtuh hampir seketika itu. Kita tahu apa yang mereka kerjakan. Kita tahu bahwa mereka akan menyelamatkan beberapa untuk pengadilan pura-pura mereka, tetapi Suharto dan penasehat-penasehatnya berkata bila kamu biarkan mereka hidup kamu harus memberi mereka makan."
Semua ini dijalankan dengan persetujuan Green yang setelah itu dilantik menjadi duta besar AS untuk Australia, di mana ia memainkan peranan penting dalam pembubaran pemerintah Whitlam di tahun 1975.
Paling sedikit satu juta orang dibantai dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Ini adalah perkiraan dari sebuah kelompok lulusan Universitas Indonesia yang diperintah oleh angkatan bersenjata itu sendiri untuk menyelidiki kesebar-luasan pembunuhan-pembunuhan ini.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Laporan lain mengatakan bahwa di Batu di Jawa Timur banyak sekali yang dibunuh di halaman kecil kantor polisi di sana sampai mayat-mayat itu dikubur di bawah semen.
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35,000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesianya Sukarno, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan anti-cina terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Baru-baru ini empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu, tanda jelas bahwa rejim Suharto masih menakuti kebangkitan kaum proletar Indonesia dan petani-petani yang miskin.
Pengkhianatan Stalinis mendalam
Ketika ratusan ribu anggota dan pendukung PKI sedang diburu dan dibinasakan, kepemimpinan PKI dan rekan-rekannya di Kremlin, Beijing dan Partai Komunis Australia (CPA) menganjurkan kader PKI, pekerja dan massa petani untuk tidak melawan, memberikan lampu hijau untuk jendral-jendral militer untuk melakukan eksekusi massa itu.
Para Stalinis mendalamkan posisi reaksioner mereka yang meminta rakyat untuk mengebawahkan kepentingan mereka untuk kaum burjuis nasional dan Sukarno, yang digunakan oleh Suharto sebagai presiden boneka dan untuk angkatan bersenjata.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune":
"Setelah mempelajari seruan ke Panglima Tertinggi angkatan bersenjata Republik Indonesia, dari pemimpin revolusi Indonesia, presiden Sukarno, Biro Politik Komite Sentral Partai Komunis Indonesia menyatakan dukungan penuh untuk seruan itu dan memohon kepada semua komite dan anggota partai dan para pendukung, juga organisasi-organisasi revolusioner massa yang dipimpin oleh anggota-anggota PKI untuk memungkinkan pelaksanaan seruan itu."
Sementara itu, Sukarno, "pemimpin revolusi Indonesia", sedang bekerjasama dengan penindasan militer itu berharap untuk menyelamatkan lehernya sendiri. Dia memerintahkan pembasmian menyeluruh semua yang dianggap terlibat dalam "peristiwa 30 September" (percobaan kudeta yang dituduhkan dipimpin oleh Kolonel Untung), dan mengijinkan pencakupan dan pembunuhan pemimpin-pemimpin PKI. Pada tanggal 15 Oktober ia melantik Suharto sebagai Panglima angkatan bersenjata.
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dihukum mati oleh angkatan bersenjata pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto. Dalam sebuah interview dengan seorang koresponden koran Jepang dia menekankan:
"PKI hanya mengenal satu kepala negara, satu komandan tertinggi, satu pemimpin besar revolusi kita - Presiden Sukarno...Presiden Sukarno menyatukan semua kekuatan-kekuatan rakyat yang akan memutuskan nasib Indonesia."
Semua anggota, kata Nyoto, harus "mendukung penuh perintah-perintah Presiden Sukarno dan berjanji untuk melaksanakan semua itu tanpa ragu...Partai kita berusaha dalam segala kemampuannya untuk mencegah perang saudara."
Dalam kata-kata lain, sementara tukang-tukang jagal militer dan penasehat-penasehat CIA mereka sedang melakukan likuidasi sistematis bukan saja pemimpin-pemimpin PKI, tetapi juga seksi-seksi masyarakat Indonesia yang paling sadar-kelas, PKI memerintahkan kader mereka untuk tidak melawan.
Kebangkrutan dan kebusukan teori "dua-tahap" Stalinis yang bersikeras bahwa rakyat harus mengikat nasib mereka ke Sukarno dan kaum burjuis nasional tidak dapat ditunjukkan secara lebih jelas.
Pengkhianatan oleh PKI dipuji dan didukung oleh birokrasi-birokrasi Stalinis di Moskow dan Beijing. Kremlin menyalahkan elemen-elemen "pemberontak" dan "petualang" dalam PKI untuk kekalahan ini dan mengimbau berulang-ulang untuk "persatuan" revolusi Indonesia dalam NASAKOM-nya Sukarno.
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno:"Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Dalam sebuah Konperensi Tiga Benua di Havana di bulan February 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan teror kontra-revolusi yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Demikian, pengkhianatan para Stalinis adalah sangat jelas sampai parlemen piaraan junta militer ini dapat mengatakan bahwa kejadian yang diatur oleh CIA pada tanggal 30 September adalah percobaan kontra-revolusioner!
Para Stalinis di Beijing juga mencuci tangan mereka dari nasib rakyat Indonesia. Mereka bahkan datang ke Jakarta untuk Konperensi Dunia melawan Pangkalan-Pangkalan Asing dan berdiri tanpa protes waktu kamerad-kamerad mereka dari Indonesia sedang dicakup di dalam ruang konperensi itu.
Warisan 'Blok Empat Kelas'
Pengkhianatan Stalinis di tahun 1965 adalah puncak dari lebih dari duapuluh tahun pengkhianatan di mana PKI, bekerja berdasarkan teori Stalinis "dua-tahap" dan, khususnya, ideologi Maois "blok empat kelas", mengikat kelas pekerja dan para petani ke rejim burjuis nasionalis Sukarno.
Aidit mengatakan susunan ideologi kekalahan berdarah revolusi Indonesia tidak lama setelah kembalinya dari 18 bulan di Cina di Juli 1950 dan merebut kepemimpinan PKI:
"Kelas pekerja, para petani, kelas menengah dan kelas burjuis nasional harus bersatu dalam sebuah front nasional."
Aidit mengikuti dengan patuh jalan rejim Maois di Cina yang menindas pergerakan mandiri kelas pekerja dan berusaha untuk mendirikan sebuah "Demokrasi Baru", sebuah negara burjuis, dalam kerjasama dengan bagian-bagian dari kelas burjuis nasional dan kelas petit burjuis setelah runtuhnya diktatur Chiang Kai-Shek.
Membeokan Mao, dia menyerukan untuk sebuah "demokrasi rakyat" dan sebuah "front gabungan semua elemen-elemen anti-imperialis dan anti-feodal dalam negeri. Yaitu, kaum pekerja, para petani, kaum petit-burjuis dan kaum burjuis nasional."
Sesuai dengan teori kontra-revolusioner "dua-tahap" Stalinisme, "Tugas dari persekutuan ini adalah untuk membawa keadaan untuk, bukan sosialisme, tetapi perubahan ke arah demokrasi."
Aidit memminta para pekerja dan petani mendukung bukan hanya kelas burjuis nasional, tetapi juga "semua elemen patriotik dan anti-kolonial termasuk kelompok tuan-tanah sayap kiri (agak progresif).
Jurusan inilah, yang dikatakan oleh Aidit tanpa henti, yang digunakan untuk menekan pergerakan-pergerakan kaum pekerja dan para petani, mengikat kaum pekerja ke rejim Sukarno, dan menciptakan keadaan yang mengijinkan angkatan bersenjata untuk menyerang.
Berkali-kali anggota-anggota dan para pendukung PKI diperintahkan untuk menahan perjuangan kelas dan semangat revolusi rakyat yang tertindas untuk mempertahankan "front bersatu nasional".
"Prinsip dasar yang harus kita ikuti dalam melancarkan perjuangan nasional adalah membawahkan kepentingan rakyat untuk perjuangan nasional."
Teori "dua-tahap" Stalinisme bersikeras bahwa di negara-negara koloni dan semi-koloni seperti Indonesia, rakyat tidak boleh mengadakan pergerakan-pergerakan yang mengancam kelas burjuis nasional atau mengemukakan program revolusi sosialis. Perjuangan kelas harus ditahan untuk mendukung kelas burjuis nasional dan mendirikan sebuah demokrasi kapitalis nasional.
Akibat kontra-revolusi berdarah dari arahan Stalinis ini menunjukkan diri pertama kali di Cina di tahun 1926-27 ketika tukang jagal Chiang Kai-Shek menundukkan kelas pekerja di Cina setelah Partai Komunis di sana diberi perintah oleh Kremlin untuk menggabungkan diri dengan kaum burjuis nasionalis dalam Kuomintang.
Pembunuhan-pembunuhan besar yang dilakukan oleh Chiang Kai-Shek menegaskan peringatan-peringatan Trotsky bahwa kaum-kaum burjuis yang lemah dan yang munculnya terlambat dalam sejarah, pada dasarnya tidak dapat untuk melancarkan perjuangan konsisten terhadap imperialisme dan feodalisme. Itu karena untuk melakukan perjuangan itu diperlukanlah penggerakan rakyat dalam sebuah perjuangan revolusioner dan perjuangan seperti itu akan segera menjadi berlawanan dengan posisi kelas kaum burjuis nasional sebagai pemeras kaum pekerja dan petani.
Seperti Trotsky jelaskan dalam tulisannya tentang pengkhianatan Revolusi Cina:
Penggerakan kaum pekerja dan petani terhadap imperialisme hanya dapat dicapai dengan menghubungkan isu-isu dasar dalam kehidupan mereka dengan tujuan kemerdekaan negara. Sebuah aksi mogok pekerja - besar atau kecil - sebuah pemberontakan agraris, pergerakan para rakyat tertindas di kota dan desa terhadap para lintah-darat, terhadap birokrasi, terhadap militer lokal, semua itu membangkitkan banyak hal, yang menggalang mereka bersama, yang mendidik, menguatkan, adalah merupakan sebuah langkah maju yang nyata di jalan ke pembebasan sosial dan revolusioner untuk rakyat Cina...Tetapi segala yang membuat rakyat yang tertindas dan tereksploitasi bertindak akan pasti akan mendorong kaum burjuis nasional ke dalam blok dengan para imperialis. Bentrokan kelas antara kaum burjuis dan para pekerja dan petani tidak akan diperlemah, tetapi sebaliknya akan diperkuat oleh penidasan imperialis, sampai ke perang saudara pada setiap ketegangan serius. (Trotsky, Problems of the Chinese Revolution, New Park 1969 p5).
Peranan kriminal PKI dalam mengikat rakyat Indonesia ke rejim burjuis Sukarno membuat analisa Trotsky bersifat ramalan secara tragis.
Tugas-tugas untuk mengadakan kemerdekaan nasional yang sejati, pembagian kembali tanah, demokrasi dan perkembangan ekonomi yang tak terselesaikan di Indonesia dan negeri-negeri lain yang tertindas menurut sejarah, hanya dapat dilaksanakan dengan kelas pekerja memimpin para petani dalam revolusi sosialis. Yaitu, penentuan nasib sendiri hanya akan terjadi sebagai hasil tambahan dari revolusi sosialis yang dipimpin oleh kaum proletar.
Kemenangan perjuangan ini terikat erat dengan perkembangan revolusi sosialis dunia untuk menggulingkan imperialisme sedunia.
Ini adalah dasar dari teori Marxis Revolusi Permanen yang dikembangkan oleh Leon Trotsky dan dibuktikan oleh kemenangan Revolusi Rusia Oktober 1917.

BAB KEEMPAT
Antek-Antek Kontra Revolusi Pablois
Dalam bulan-bulan setelah kudeta militer yang diatur oleh CIA tanggal 1-2 Oktober 1965, semua anggota dan pendukung PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi untuk disiksa dan diinterogasi.
Pemusnahan sistematis dan penindasan yang kejam oposisi kelas buruh ini semakin bertambah setelah 11 Maret 1966 waktu Sukarno, pemimpin nasionalis burjuis yang dipertahankan oleh aparat militer sebagai presiden, memberi Jendral Suharto kekuasaan tak terbatas.
Pengkhianatan pergerakan besar revolusioner rakyat Indonesia oleh kepemimpinan Stalinis PKI adalah sebuah kekalahan yang mendalam dengan implikasi-implikasi besar untuk kelas pekerja seluruh dunia.
PKI berkali-kali menahan usaha-usaha para pekerja dan petani untuk menduduki pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan. Mereka mengikat pergerakan ini dengan rejim burjuis Sukarno dan pada akhirnya bergabung dengan aparat-aparat tingkat atas militer yang didukung AS, calon-calon tukang jagal massa, dalam kabinet Sukarno. Setelah kudeta itu, para Stalinis memerintah kader mereka untuk menjalankan imbauan Sukarno untuk menciptakan "persatuan" dengan para aparat militer dan untuk mencegah segala perlawanan terhadap pembantaian yang sedang dilaksanakan.
Pukulan terhadap revolusi Indonesia bergema di seluruh Asia dan dunia. Khususnya itu memudahkan dan memungkinkan peningkatan penyerangan Vietnam oleh AS, menghancurkan harapan dan semangat revolusi rakyat di Malaysia, Thailand, Filipina dan memperkuat rejim-rejim burjuis yang sedang goyah di anak benua India.
Mandel dan Hansen menutupi pengkhianatan Stalinis
Tetapi jawaban para revisionis Pablois dalam "Sekretariat Tergabung" (United Secretariat) yang dipimpin oleh Ernest Mandel dan Joseph Hansen, adalah untuk meremehkan akibat dari pengkhianatan di Indonesia itu, menutupi peran kontra-revolusioner para Stalinis dan, yang terpenting, menutupi tanggung-jawab mereka sendiri dalam pertumpahan darah ini.
Pada saat rakyat Indonesia sedang mengalami pembunuhan massa, Profesor Mandel berusaha untuk menggambarkan prospek-prospek yang cerah untuk revolusi Indonesia, untuk menumpulkan kesadaran kelas pekerja internasional.
"Tentu saja perjuangan di Indonesia masih belum berhenti," tulisnya di dalam keenakkan kursi universitas Belgia-nya dalam artikel yang dicetak dalam jurnal Pablois "World Outlook" tanggal 11 Maret 1966.
"Sebagian dari kader komunis telah berhasil bersembunyi di bawah-tanah," dia teruskan. "Kemarahan rakyat yang kelaparan tumbuh setiap hari; perut-perut para pekerja dan petani yang kosong tidak akan terisi oleh pembunuhan-pembunuhan itu. Pemberontakan itu akan menyebar-luas melawan rejim yang korup itu. Sukarno mengerti masalah ini dan akan memulai pengimbangannya lagi; dia baru saja membasmi jendral-jendral yang paling ganas dari kabinetnya. Para rakyat akan kembali mendapat giliran mereka untuk beraksi."
Penutupan pengkhianatan besar rakyat Indonesia ini menunjukkan konsekuensi kontra-revolusioner oportunisme Pablois, yang muncul dalam jajaran gerakan Trotskyis mulai dari tahun-tahun 1940-an ke 1950-an.
Dipimpin oleh Michel Pablo, elemen-elemen seperti Mandel berusaha menyesuaikan diri dengan stabilisasi kapitalisme setelah Perang Dunia Kedua dan keadaan dimana birokrasi-birokrasi Stalinis yang menekan pergerakan revolusioner kaum pekerja internasional tidak lama setelah akhir Perang Dunia Kedua, kelihatannya makin kuat. Mereka meninggalkan perjuangan Trotsky untuk mendirikan Internasional Keempat sebagai partai dunia revolusi sosialis dan mangajukan bahwa para birokrasi Stalinis seperti di Moskow dan Bejing akan didorong oleh rakyat untuk melakukan peranan progresif. Dengan dasar ini, mereka berusaha melikuidasi Internasional Keempat ke dalam segala bentuk Stalinis atau Demokrat sosial yang sedang memegang kendali pergerakan pekerja dalam tiap negara, mengatakan bahwa jalan ke sosialisme terdiri dari pendirian dari negara-negara pekerja yang cacat sejak lahir, seperti yang didirikan di Eropa Timur dan Cina, yang berlangsung selama beberapa abad.
Pada tahun 1953 arah likuidasi ini dilawan dengan pembentukan Komite Internasional Internasional Keempat (International Committee of the Fourth International) sebagai jawaban kepada sebuah Surat Terbuka yang ditulis oleh pemimpin Partai Pekerja Sosialis (Socialist Workers Party) Amerika James P Cannon yang memanggil untuk pemertahanan "Trotskyisme ortodox". Bagaimanapun juga, pada permulaan tahun 1960-an para pemimpin PPS sendiri mulai terpengaruh oleh berkepanjangannya pertumbuhan ekonomi setelah perang. Mereka menganjungkan elemen-elemen burjuis dan petit-burjuis nasional seperti Castro di Kuba yang kelihatannya dapat meraih sukses, sebagai pengganti pengambilan kekuasaan oleh kelas pekerja yang dipimpin oleh partai-partai Marxis revolusioner. Mereka mengajukan bahwa sosialisme dapat dicapai dengan "senjata tumpul". Ini adalah arah yang menyatukan mereka kembali dengan para Pablois di tahun 1963 yang menjadi "Sekretariat Tergabung".
Dasar dari penolakan para Pablois kepada revolusi kaum proletar adalah metoda obyektifis yang bersifat reaksioner ywng menggambarkan perjuangan sosialisme sebagai "proses sejarah" quasi-otomatis yang dicapai dengan pergerakan massa spontan yang dipimpin oleh pergerakan politik apa saja, tidak penting apa program dan komposisi kelasnya.
Dengan begitu "rakyat" Indonesia akan menang bagaimanapun buruknya krisis pimpinan yang telah diakibatkan oleh kebusukan partai Stalinis itu. Sukarno, yang diperalat oleh Jendral Suharto tanpa perlawanan, dianggap telah mengontrol jendral-jendral yang paling ganas. Dan setelah pengkhianatan yang tak tertanding itu, Mandel masih memanggil PKI partai "komunis".
Penipuan oleh Mandel ini disahkan oleh "Sekretariat Tergabung" dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan tanggal 20 Maret 1966. Pernyataan itu menyimpulkan bahwa kenaikan Suharto sebagai "orang kuat" dari gerakan kontra-revolusi tidak berarti banyak, karena "Itu adalah kemungkinan yang sangat kecil bahwa para kontra-revolusionis yang berkuasa di Jakarta sekarang akan dapat menciptakan kestabilan yang dapat tahan lama."
Duapuluh lima tahun setelah itu, dengan junta militer Suharto masih duduk tanpa kasihan di atas punggung jutaan rakyat Indonesia yang tertindas, itu sangatlah penting untuk mempelajari bagaimana para oportunis Pablois memberikan PKI dan Sukarno kerudung politik yang sangat mereka perlukan.
Pernyataan "Sekretariat Tergabung" itu menciptakan ilusi yang berbahaya yang mengatakan bahwa pembunuh-pembunuh dibawah Suharto pun, yang dilatih oleh AS, akan terdorong untuk melaksanakan kepentingan rakyat Indonesia dalam "konfrontasi" palsu Sukarno dengan Malaysia, negara yang pada saat itu baru dibentuk: "Para pemimpin militer sendiri tidak akan menanggalkan ke-anti-imperialisme-an dan ke-nasionalis-an mereka yang menunjukkan konflik kepentingan yang nyata dengan imperialisme Inggris dan kaum burjuis komprador dan tuan tanah semi-feodal yang berkuasa di Malaysia.
Ketika rakyat Indonesia tidak punya pemimpin dalam menghadapi penjagalan keji Suharto, para Pablois menyatakan dengan angkuh bahwa entah bagaimana rakyat akan menang.
"Rakyat, walaupun tanpa pemimpin dan tergoncang secara mendalam, belum kehilangan semua potensi perlawanan, khususnya di desa-desa. Mengusir para pemogok dari perkebunan-perkebunan milik imperialis atau yang sudah "dinasionalisasi" dan dijalankan oleh perwira-perwira militer yang korup, atau memaksa para pekerja perusahaan minyak bumi dan perkebunan untuk menerima kembali kondisi kerja jaman kolonial akan terbukti sulit terjadi."
Yang terpenting, para Pablois terus bersikeras bahwa rakyat harus percaya kepada para pemimpin Stalinis PKI, mengajukan bahwa mereka dapat dipengaruhi untuk memainkan peranan revolusioner, meskipun mereka sudah menahan setiap pergerakan massa terhadap rejim Sukarno.
"Jika mereka berhasil bergabung kembali dan mendapat kembali dukungan massa di beberapa daerah pedesaan dengan mengimbau para petani untuk segera menyita tanah milik para tuan-tanah, perkebunan dan adminstrasi militer, mereka dapat mencapai keuntungan secara bertahap karena ketidak-mampuan dari reaksi Indonesia untuk memecahkan nasib ekonomi dasar negara dan karena perselisihan dalam jajaran angkatan bersenjata yang tanpa ragu akan dibangkitkan oleh ketidak-mampuan itu."
Di tahun 1957, dan sekali lagi di tahun 1964-65, PKI telah mengarahkan para pekerja dan petani untuk menyerahkan pabrik-pabrik, bank-bank, instalasi-instalasi minyak, perkebunan-perkebunan dan perusahaan-perusahaan lain yang mereka duduki, yang membantu kedudukan Sukarno dan kaum burjuis Indonesia. Sekarang, para Pablois mengatakan bahwa mereka dapat memainkan peranan progresif.
Artikel Mandel dan pernyataan "Sekretariat Tergabung" dicetak bersama dengan artikel oleh seorang anggota PKI Pablois, oleh Partai Pekerja Sosialis AS dalam sebuah pamflet bernama "Bencana di Indonesia" tertanggal Desember 1966. Lengkap dengan sebuah kata awal oleh Joseph Hansen, seorang pemimpin PPS yang memainkan peranan busuk dalam pergabungan kembali dengan para Pablois. Hansen, yang setelah itu diungkapkan sebagai agen Stalinis yang menjadi alat FBI dalam PPS, merupakan penghasut utama dalam perpecahan PPS dari KIIK di tahun 1963. Hansen berusaha untuk menenangkan para pembaca pamflet ini bahwa "salah satu ciri politik dunia sekarang" adalah "kecepatan rakyat untuk dapat memulihkan diri dari kekalahan-kekalahan yang dulunya akan membuat mereka tunduk selama puluhan tahun."
Ketidakperdulian para Pablois kepada nasib rakyat Indonesia bukan hanya hasil dari ketebalan kulit dan sikap merendahkan kelas pekerja mereka, yang merupakan ciri-ciri golongan petit-burjuis, tetapi juga merupakan usaha mereka untuk menutupi faktor kritis dalam pengkhianatan di Indonesia - peranan yang dimainkan oleh para Pablois dan wakil-wakil mereka di Indonesia sendiri.
Itu adalah ukuran dari sinisme para Pablois dan sikap tunduk mereka kepada para Stalinis dan kaum burjuis nasional bahwa tidak satupun dari artikel-artikel dan pernyataan-pernyataan yang dicetak dalam pamflet mereka di tahun 1966 menyebut keberadaan sebuah badan anggota dari "Sekretariat Tergabung" di Indonesia, apalagi menerangkan peranan badan itu dalam kejadian-kejadian sebelum kudeta.
Hanya ada satu pernyataan pendek untuk pelegalisasian dan pembebasan semua anggota PKI, Partai Murbah dan Partai Acoma, meskipun Partai Akoma mempunyai hubungan dengan para Pablois sedikitnya mulai tahun 1953 dan disahkan sebagai seksi "Sekretariat Tergabung" di tahun 1960, ketika PPS Amerika sedang meningkatkan manuver-manuver tak berprinsip mereka untuk bergabung kembali dengan para Pablois.
Penyebutan pendek tentang anggota-anggota mereka ini adalah pernyataan bersalah oleh para Pablois untuk menyembunyikan peranan yang mereka dan anak-anak didik mereka mainkan dalam memberi Stalinis-Stalinis PKI kepercayaan yang sangat mereka perlukan di tahun-tahun 1950an dan 1960an.
Bagaimana Munculnya Pabloisme di Indonesia
Partai Acoma berasal sebagai pecahan dari PKI di tahun 1948. Dengan memanggil diri mereka Trotsyis tanpa kebenaran, mereka menjadi pengalih dan penjebak oposisi kelas pekerja dan para petani terhadap dukungan yang diberikan PKI untuk rejim burjuis nasional Sukarno. Dipimpin oleh seorang anggota parlemen bernama Ibnu Parna, dokumen-dokumen program mereka menggambarkan PKI sebagai sebuah partai "Marxis-Leninis seperti kita." Sebagai kita akan tunjukkan, ini adalah sebuah kebohongan dalam hal PKI dan Partai Acoma.
Kebutuhan atas sebuah katup pengaman "Trotskyis" palsu seperti itu, ditunjukkan oleh kejadian-kejadian di tahun 1948.
Keterlibatan PKI di dalam administrasi Sukarno setelah akhir Perang Dunia Kedua dan dukungan mereka untuk perjanjian-perjanjian busuk kaum burjuis Indonesia dan para kolonialis Belanda menimbulkan oposisi kuat di kalangan kelas pekerja.
Dari 5 Juli 1947 sampai 23 January 1948 administrasi Republik di bawah Sukarno dipimpin oleh Amir Syarifuddin yang berjabatan Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan. Syarifuddin adalah anggota rahasia PKI, juga Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri. Tambahan pula, dua menteri lain adalah anggota PKI secara terbuka. Administrasi ini menandatangani Perjanjian Renville dengan Belanda yang menetapkan kekuasaan Belanda atas sebagian besar dari industri gula, karet, kopi, teh dan minyak bumi; menentukan pengunduran semua kesatuan-kesatuan perang gerilya dari semua daerah yang dikuasai Belanda dan melikuidasikan kesatuan-kesatuan rakyat bersenjata yang dipimpin PKI ke dalam ABRI yang di bawah Sukarno dan jendral-jendralnya.
Begitu kuatnya oposisi terhadap penandatanganan pakta yang diadakan oleh AS ini sampai pemerintah turun dan diganti oleh pemerintahan sayap-kanan yang dipimpin oleh Wakil Presiden Hatta sebagai Perdana Menteri.
Aksi-aksi pemogokan meletus, menuntut pemerintahan parlemen. Kepemimpinan PKI mendukung penekanan pergerakan ini oleh Sukarno, yang mengimbau untuk pengadaan "kesatuan nasional". Ketika pengkhianatan ini dilawan oleh sebuah bagian PKI, pemimpin-pemimpin PKI menjawab dengan kejam, mengeksekusi pemimpin-pemimpin dari faksi oposisi ini.
Partai Acoma muncul dari grup yang menentang ini. Walaupun mereka tidak menyetujui tindakan kepemimpinan PKI, Partai Acoma tetap berpendapat bahwa revolusi Indonesia harus dilakukan oleh PKI sebagai sebuah "partai Marxis-Leninis". Selanjutnya pemimpin-pemimpin Partai Acoma menjalin hubungan dengan "Sekretariat Tergabung" yang mendorong posisi pro-Stalinis dan ilusi-ilusi tentang Maoisme mereka.
Itu jelas bahwa Partai Acoma mengarahkan para pekerja dan petani yang mencari jalan lain ke program kolaborasi antar-kelas PKI.
Dari tahun 1953 sampai 1955 misalnya, kekuatan pengaruh Acoma dalam SAKTI, Asosiasi Petani Indonesia yang beranggotakan 200,000 orang, membuat kepemimpinan PKI menunda sampai dua tahun rencana mereka untuk menggabungkan SAKTI dengan dua organisasi petani lainnya yang di bawah pengaruh PKI, RTI dan BTI.
Para Pablois mempersiapkan pengkhianatan
Sebuah artikel yang dicetak bulan Februari 1958 dalam jurnal Pablois "Quatrieme International" mengajukan sebuah tuduhan yang jelas atas peranan yang dimainkan oleh Pabloisme dalam melawan perjuangan untuk sebuah kepemimpinan Marxis Revolusioner dalam kelas pekerja.
Artikel itu,"Revolusi Indonesia Bergerak Maju", oleh Sal Santen, seorang kolega dekat Pablo, ditulis pada puncak pergerakan-pergerakan revolusi di bulan Desember 1957, ketika para pekerja dan petani merampas perkebunan-perkebunan dan perusahaan-perusahaan milik Belanda dan negara imperialis lainnya.
Artikel itu merupakan kerudung kriminal untuk peranan-peranan kontra-revolusioner PKI, yang memerintahkan rakyat untuk mengembalikan rampasan-rampasan mereka kepada angkatan bersenjata untuk mendukung pemerintahan Sukarno.
Menurut Santen:"Itu mesti ditambahkan bahwa para pejuang komunis, kader dasar dan biasa PKI dan SOBSI, organisasi besar pekerja Indonesia, tidak memiliki sifat birokratis Aidit dan kawan-kawan. Mereka ada di garis depan; mereka adalah yang mengambil alih inisiatip dalam menduduki pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank dan kapal-kapal laut. Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa yang paling sadar-kelas antara mereka terbakar oleh api keberanian revolusioner Tan Malaka, oleh ide-ide revolusi permanen Leon Trotsky."
Bertindak menurut arah ini, para Pablois Indonesia melucuti secara politis puluhan ribu pekerja dan petani yang bergerak maju untuk berjuang, hanya untuk menyadari bahwa jalan mereka dilintangi oleh PKI. Pada saat di mana tugas yang paling penting adalah mendidik para pekerja yang paling sadar-kelas dalam pentingnya sebuah perjuangan tanpa kompromi melawan teori "dua tahap" dan "blok empat kelas" Stalinis PKI, dan pentingnya sebuah penguatan mendalam teori Revolusi Pemanen, para Pablois bekerja sebaliknya.
Oportunis secara mendalam, mereka menyamakan Trotsky dengan Tan Malakka, pemimpin PKI yang menentang rencana untuk sebuah pemberontakan di tahun 1926 dan meninggalkan PKI untuk mendirikan organisasinya sendiri. Mereka memalsukan teori Revolusi Permanen Marxis, merubah itu dari sebuah strategi sadar untuk memandu perjuangan-perjuangan untuk diktatur kaum proletar menjadi sebuah perspektif yang terjadi secara spontan.
Ajaran utama teori Revolusi Permanen Trostky adalah kekhianatan kaum burjuis nasional dan ketidakmampuannya untuk memimpin perjuangan sejati melawan imperialisme. Hanya kelas pekerja lah yang dapat membebaskan rakyat dari penekanan atas kelasnya dan penekanan nasional, dengan mengadakan revolusi sosialis dan menyatukan diri mereka dengan saudara-saudara sekelas di seluruh dunia dalam sebuah perjuangan untuk menggulingkan imperialisme secara internasional.
Perjuangan itu hanya dapat dilakukan secara sadar di bawah panji-panji Internasional Keempat dalam sebuah perjuangan tanpa kompromi melawan para Stalinis dan kekuatan-kekuatan petit-burjuis, seperti para Pablois, yang mencoba melucuti kelas pekerja secara politis dan mengikat kepada kaum burjuis mereka.
Di tangan para Pablois, program Revolusi Permanen menjadi alasan untuk penyesuaian diri mereka kepada kaum burjuis nasional dan para Stalinis. Kelas pekerja tidak memerlukan partai revolusioner mereka sendiri untuk mengambil-alih kekuasaan karena PKI sedang merupakan instrumen melalui apa Revolusi Permanen itu sedang dinyatakan, walaupun secara tidak sadar.
Dengan demikian, Santen, berbicara untuk Pablo dan Mandel, menyatakan: "Bagaimanapun juga itu adalah jelas bahwa Indonesia secara menyeluruh sedang bergerak. Pergerakan rakyat sudah tidak bisa dimundurkan -- walaupun proses itu tetap bertentangan -- dan sudah mencapai tahap kekuasaan rangkap di sebagian besar Indonesia, terutama di Jawa. Pendudukan perusahaan-perusahaan, perkebunan-perkebunan, armada dan bank-bank oleh rakyat hanya berarti satu: Itu adalah tentang permulaan klasik revolusi proletar. Revolusi Indonesia sedang dalam proses membobol batas-batas revolusi nasional di bawah pimpinan kaum burjuis nasional. Itu berkembang menurut hukum-hukum revolusi permanen." (Tekanan di dalam dokumen asli).
Para Pablois mengulurkan prospek sebuah perubahan secara damai ke "kekuasaan pekerja dan petani":
"Sebuah kemenangan yang damai dan cepat revolusi itu ke kekuasaan pekerja dan petani (terutama di Jawa) dapat dicapai, bila PKI, pada saat pertama terdorong semangat rakyat, tidak berusaha mengebiri aksi rakyat dengan meletakkannya di bawah kontrol pemerintah."
Apa yang dimaksudkan oleh para Pablois dengan "kekuasaan pekerja dan petani" adalah bertentangan dengan perjuangan untuk diktatur kaum proletar. Para Pablois berjajar sebagai penyorak untuk perspektif kontra-revolusioner Stalinis "dua-tahap" yang menuntut kaum proletar untuk menghentikan perjuangan untuk revolusi sosialis.
Untuk menghalalkan pertentangan mereka terhadap penggerakan mandiri kelas pekerja dan penempaan sebuah kepemimpinan revolusioner proletar, yaitu, partai Trotskyis, para Pablois bersikeras bahwa PKI, meskipun sudah mengkhianati aksi-aksi pendudukan di bulan Desember 1957, akan terdorong ke kiri oleh rakyat:
"Pada saat yang sama, pada setiap perkembangan situasi, rakyat mempunyai kecenderungan untuk mendorong SOBSI dan PKI lebih jauh. Banyaklah yang sekarang tergantung pada keberanian, pada pengertian Marxis revolusioner, kader-kader Komunis. Kita merasa solider sepenuhnya dengan mereka, terilhami dan terantusiasi oleh inisiatip mereka, keberanian mereka yang -- kita harap dengan penuh semangat -- tidak akan berhenti karena tabu-tabu para Aidit. Kita memberi hormat untuk kader-kader Trotskyis Indonesia yang menggabung ke dalam PKI dengan perspektif revolusioner yang benar bahwa radikalisasi rakyat akan terjadi terutama melalui PKI dan SOBSI."
Ini adalah kejahatan terbesar Pabloisme -- pelikuidasian kader Trotskyis, dan semua yang tertarik ke Trotskysime, ke dalam kamp Stalinisme.
Santen menambahkan sebuah catatan untuk menekankan bahwa sikap khianat ini dinyatakan dalam pertentangan secara langsung terhadap perjuangan yang dilakukan oleh Komite Sedunia Internasional Keempat sejak pembentukannya di tahun 1953 untuk mempertahankan Trotskysime terhadap likuidasionisme Pablois. Santen secara khusus mencela perjuangan KSIK untuk pendirian badan-badan bagian Internasional Keempat untuk mengalahkan Stalinisme kontra-revolusioner:
"Bertentangan dengan beberapa orang `ortodoks` yang picik, Internasional ini tidak membiarkan dirinya untuk terpesona oleh politik reaksioner Stalinisme, tetapi mengarahkan dirinya, terutama ke dinamisme situasi itu sendiri, sebuah dinamisme yang mendorong rakyat dan melalui rakyat, PKI sendiri ke dalam pertentangan dengan keadaan di Indonesia saat ini."
Kata-kata ini perlu dicapkan di pikiran setiap pekerja sebagai ringkasan dari pekerjaan licik pro-Stalinis Pabloisme. Dalam pertentangan langsung dengan KSIK, para Pablois secara sadar mendorong ilusi-ilusi fatal dalam Stalinis-Stalinis PKI, tepat pada saat di mana masalah yang sangat penting saat itu adalah untuk membeberkan peranan kriminal para Stalinis dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan rakyat secara mantap dari PKI untuk mendirikan sebuah kepemimpinan Trotskyis revolusioner.
Perjuangan yang berkepanjangan dan yang berkeras Komite Internasional Internasional Keempat (International Committee of the Fourth International) melawan para oportunis Pablois, yang bertahun-tahun tampak sebagai perjuangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil terpencil dalam Internasional Keempat, menjadi masalah hidup mati untuk jutaan buruh dan petani Indonesia.
Pembantu-pembantu kontra-revolusioner
Dalam waktu beberapa minggu dari penulisan kata-kata Santen, buah-buah busuk dari pengkhianatan PKI atas pergerakan di bulan Desember 1957 mulai muncul. Sebuah pemerintah kontra-revolusioner dibentuk di Sumatra Tengah di bulan Februari 1958 oleh pemimpin kudeta Kolonel Achmed Hussein dan dipimpin oleh Dr Syafruddin Prawiranegara. Operasi yang didukung CIA ini, yang dimungkinkan oleh pengebirian pergerakan Desember 1957 oleh PKI, merupakan percobaan untuk kudeta yang akan terjadi tujuh tahun setelah itu.
Mengerti bahwa ini adalah percobaan untuk kontra-revolusi, tanggapan para Pablois adalah untuk menambah pembesaran mereka atas PKI. Editor Quatrieme International menambahkan sebuah catatan yang berklimaks dengan kata-kata ungu berikut:
Karena tujuan utama para `pemberontak` adalah untuk menghancurkan 'demokrasi' terpimpin Sukarno, dalam mana PKI termasuk, maka kompromi akan merugikan PKI. Dalam kasus ini, arahan jangka-pendek adalah PKI di bawah tekanan rakyat, akan terpaksa melakukan pemutaran-balik politik besar, seperti yang dilakukan oleh Partai Komunis Cina dalam situasi yang mirip di tahun 1949, dan untuk melewati tahap nasionalis-burjuis dan langsung ke tahap sosialis kekuasaan pekerja. Ini, sesungguhnya, tetapi sekali lagi tanpa pemberitahuan, bergerak menurut dan membuktikan teori revolusi permanen Trotskyis."
Di situ, PKI, tukang gantung revolusi Indonesia digambarkan sebagai instrumen tak sadar Revolusi Permanen!
Ditambahkan di situ, adalah kebohongan bahwa para Stalinis Cina, guru Aidit dan pemimpin PKI yang lain, telah melakukan "tahap sosialis dari kekuasaan pekerja" di tahun 1949. Kenyataanya tentara-tentara petani para Maois menekan secara brutal pergerakan proletar di tahun 1949, membunuh semua oposisi Trotskyis, dan mendirikan sebuah negara pekerja yang cacat sejak lahir yang berdasarkan atas perspektif Stalinis pengadaan kerjasama dengan kaum burjuis nasional, kaum petit-burjuis urban dan para petani. Ini adalah model yang merupakan dasar bagi kepemimpinan PKI sendiri.
Tidak puas dengan menganjungkan para Stalinis, catatan spesial editor itu kemudian menunjukkan kemungkinan kelas burjuis-nasional merubah diri secara progresif juga. Itu mengusulkan senario lain yang berdasarkan atas pemerintah Sukarno memimpin perjuangan melawan "pemberontak-pemberontak" yang diatur oleh CIA.
Dalam kemungkinan lainnya dimana pemerintah Sukarno memberikan perlawanan dan pertahanan yang lebih kuat terhadap `para pemberontak`, pemisahan yang lebih jauh antara kekuatan-kekuatan burjuis dan kontra-revolusioner semi-feodal akan tampak; menghadapi sebuah pemerintah bayangan nasionalis-burjuis dan rakyat. Konfrontasi antara rakyat dan pemberontakan `pemilik budak` baru ini, `Kornilov putsch` baru ini, akan menimbulkan gejolak baru revolusi, dan pengalaman dari aksi revolusi semacam ini akan meninggalkan kemungkinan kecil untuk sebuah rejim nasionalis-burjuis untuk kembali ke stabilitas."
Peristiwa-peristiwa Oktober 1965 akan membuktikan bahwa rejim Sukarno tidaklah kurang ramah terhadap tukang-tukang jagal Suharto dibandingkan dengan pemerintahan Kerensky terhadap kudeta Jendral Kornilov di tahun 1917. Sukarno menunjukkan intisari nasionalisme burjuis dengan mengakhiri karir politisnya sebagai presiden bonekanya junta militer Suharto.
Kesimpulan dari catatan editor itu seharusnya ditulis di batu nisan Pabloisme:"Dalam kasus yang mana saja, arahan optimistis kita adalah benar. Revolusi Indonesia sedang maju! Kemenangannya sebagai sebuah revolusi sosialis sedang terjadi.(Tekanan dalam dokumen asli)
Dari tahun 1957 sampai 1965 para Pablois di seluruh dunia melakukan penutupan obyektivis ini atas bahaya-bahaya yang menghadapi revolusi Indonesia.
Pekerjaan dari organisasi bagian Pablois di Indonesia adalah sangat penting untuk seluruh perspektif sedunia Pablois. Itu dibicarakan secara intensif di yang dinamakan Kongres Dunia Kelima dari "Sekretariat Tergabung" di tahun 1957.
"Kongres Dunia Kelima kita, dalam membicarakan kemajuan dan jalur revolusi kolonial sedunia, memberikan perhatian serius terhadap perkembangan-perkembangan di Indonesia. Mengenali situasi Indonesia sebagai pra-revolusi, itu mengharapkan sebuah ledakan revolusioner sebentar lagi." Kata artikel Santen.
Seluruh "Sekretariat Tergabung" Pablois mempunyai tangan berdarah. Mereka membantu pengkhianatan Stalinis terhadap pekerja-pekerja dan petani-petani Indonesia.
BAB KELIMA
Para Pablois menutupi kekhianatan Stalinis.
Krisis kepemimpinan kelas pekerja tidak pernah terungkap setajam seperti di Indonesia antara tahun 1963 dan 1965.
Nasib para buruh dan petani Indonesia tergantung kepada penanggulangan dan pengalahan arah kontra-revolusioner PKI yang mengikat kelas pekerja ke rejim nasionalis-burjuis Sukarno ketika angkatan bersenjata, dengan dukungan AS, mempersiapkan sebuah kudeta berdarah.
Stalinis-Stalinis PKI, dipimpin oleh sekretaris-jendral Aidit, berulang-ulang menuntut para pekerja dan petani untuk mengembalikan pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan yang telah mereka sita. Mereka kemudian bergabung dengan jendral-jendral angkatan bersenjata duduk dalam kabinet pemerintah Sukarno dan mendukung pelarangan aksi-aksi mogok kerja.
Bertambah jelas kalau para jendral sedang mempersiapkan sebuah kudeta berdarah, bertambah keras pemimpin-pemimpin PKI bekerja untuk menenangkan kelas burjuis dan angkatan bersenjata bahwa PKI menentang mobilisasi revolusioner rakyat.
Aidit berulang-ulang menyatakan bahwa aparatus negara di Indonesia tidak perlu dihancurkan tetapi dapat dirubah dari dalam untuk memperkuat "elemen-elemen pro-rakyat," yang termasuk presiden Sukarno. Pemimpin PKI ini memberi ceramah-ceramah di sekolah-sekolah militer di mana dia menggembar-gemborkan "perasaan kebersamaan dan persatuan yang setiap hari bertambah kuat antara seluruh angkatan bersenjata republik Indonesia dan kelompok-kelompok lain rakyat Indonesia, termasuk para komunis."
Kepemimpinan PKI hanya dapat mengajukan posisi-posisi ini karena para Pablois Indonesia bekerja sama kerasnya untuk mencegah para pekerja memisahkan diri dari para Stalinis. Mereka menentang keras pendirian sebuah kepemimpinan revolusioner yang baru.
Tanggung jawab untuk akibat kontra-revolusioner berdarah arahan ini dapat diusut secara langsung ke Kongres Reunifikasi Pablois di mana Partai Sosialis Pekerja (SWP) Amerika melakukan pemutusan dengan Komite Internasional Internasional Keempat dan bergabung dengan "Sekretariat Tergabung" Pablois Ernest Mandel.
Setelah memimpin perjuangan melawan likuidasionisme Pablois di tahun 1953, para pemimpin SWP di akhir 1950an makin lama makin menyerah ke tekanan perkembangan ekonomi cepat setelah Perang Dunia Kedua yang berlangsung dan tampak ketenangan kaum buruh. Mereka meninggalkan perjuangan untuk revolusi proletar yang dipimpin oleh partai macam Bolshevik dan mencari "persatuan kembali" dengan para radikal petit-burjuis dan Stalinis yang tidak puas. Di tahun 1963 mereka bergandeng tangan dengan para Pablois dalam menyatakan bahwa bukan saja partai-partai Stalinis, seperti PKI, tetapi juga kekuatan-kekuatan nasionalis-burjuis di negara-negara berkembang, seperti Castro di Kuba dan Sukarno di Indonesia dapat menjadi sarana penyataan sosialisme.
Resolusi pemersatuan kembali ini menyatakan bahwa tidak ada krisis kepemimpinan revolusioner di negara-negara tertindas: "Di negara-negara kolonial dan semi-kolonial...kelemahan kapitalisme, seluruh struktur sosio-ekonomis yang aneh yang dihasilkan oleh imperialisme, kesengsaraan permanen sebagian besar populasi dalam ketidakadaanya revolusi radikal agraris, stagnasi dan malah menurunnya standar kehidupan sementara industrialisasi berjalan dengan cepat secara relatip, menciptakan situasi-situasi di mana kejatuhan satu gejolak revolusi tidak secara otomatik menciptakan stabilisasi ekonomis dan sosial yang relatip atau sementara. Sebuah rentetan perjuangan-perjuangan rakyat yang tampaknya tak ada habisnya terus berlangsung, seperti dialami Bolivia selama 10 tahun."
Dalam kata lain, bagaimanapun menghancurkannya kekalahan-kekalahan dan pengkhiatan-pengkhianatan yang dibebankan kepada rakyat, mereka akan bangkit kembali. Tidak ada perlu untuk partai Trotskyis. Sifat kriminal dari kepuasan diri oportunis ini akan segera ditunjukkan dalam darah rakyat Indonesia.
Konperensi tahun 1963 ini didasarkan atas penolakan kepentingan bersejarah pembangunan seksi-seksi pergerakan Trotskyis di negeri-negeri terbelakang. Resolusi Pablois mengatakan:"Kelemahan musuh di negeri-negeri terbelakang telah menciptakan kemungkinan untuk merebut kekuasaan meskipun dengan instrumen tumpul."
Di Indonesia, "instrumen tumpul" ini adalah PKI.
Pengkhianatan besar di Sri Lanka
Kekhianatan Pablois di Indonesia adalah sangat berhubungan dengan pengkhianatan besar di Sri Lanka di tahun 1964 ketika Partai Lanka Sama Samaja (LSSP), organisasi Pablois, memasuki koalisi burjuis Ibu Bandaranaike, bersama dengan para Stalinis Partai Komunis Sri Lanka, untuk memenggal pergerakan massa kaum buruh melawan kekuasaan kapitalis.
LSSP telah menentang pembentukan Komite Internasional di tahun 1953 dan mengikuti itu memainkan peranan penting dalam mempersiapkan persatuan kembali SWP Amerika dengan para Pablois. Pertentangan mereka terhadap perjuangan menentang oportunisme dalam Internasional Keempat berakar di orientasi mereka yang makin bertambah nasionalis dan peninggalan program dan prinsip-prinsip Trotskyis untuk mengakomodasi para Stalinis dan partai kapitalis Bandaranaike SLFP di Ceylon (Sri Lanka).
Konggres Reunifikasi Pablois di tahun 1963 menutupi oportunisme nasional LSSP dengan mengajukan:"Seksi Ceylon kita sudah perlahan-lahan membetulkan orientasi salah yang diadopsi di tahun 1960 yang mendukung pemerintahan burjuis-liberal SLFP. Sejak rakyat mulai beraksi, mereka tidak ragu-ragu untuk menaruh diri mereka di kepala pergerakan ini melawan sekutu elektoral mereka yang kemarin." Hanya setahun setelah itu aling-aling "Trotskyis" palsu yang diberikan oleh para Pablois digunakan oleh LSSP untuk memasuki pemerintahan kapitalis.
Pengkhianatan oleh sebuah partai yang dianjung-anjungkan oleh para Pablois sebagai "partai Trotskyis terbesar di dunia" ini mempunyai akibat yang membawa bencana di seluruh dunia, yang pertama di Indonesia. Itu memperkuat tangan partai-partai Stalinis dan Maois, seperti PKI, yang kemampuannya untuk menekan dan melucuti kaum buruh akan sudah hancur bila LSSP berpegang ke program revolusi permanen dan berjuang untuk penggulingan kekuasaan burjuis di Sri Lanka.
Pablois memperkuat PKI
Setelah masuknya seksi Sri Lanka mereka ke dalam pemerintahan kapitalis itu, dengan para Stalinis, para Pablois terus mengikuti arahan pro-Stalinis dan pro-burjuis-nasional yang sangat mirip di Indonesia.
Pamflet Pablois "Bencana di Indonesia" bukan saja menutupi peranan yang dimainkan oleh seksi Pablois Indonesia, Partai Acoma, seperti kita ungkapkan di bagian terakhir seri ini. Meskipun setelah kudeta berdarah di Indonesia, pamflet ini terus mengajukan kemungkinan kelas burjuis-nasional dan PKI dapat memainkan peranan progresif.
Itu termasuk sebuah artikel oleh T Soedarso, yang digambarkan oleh pemimpin SWP AS Joseph Hansen dalam kata depan pamflet ini sebagai "anggota muda PKI yang berhasil mengasingkan diri". Hansen memuji secara bersemangat artikel Soedarso sebagai "tanda dari tekad sebuah sektor penting dalam PKI untuk mempelajari apa yang terjadi dan menggunakan pelajaran-pelajaran sehingga dapat menjamin kemenangan bila rakyat bergejolak maju lagi, yang pasti akan terjadi."
Artikel Soedarso melihat program kontra-revolusioner kepemimpinan PKI sebagai sejumlah "kesalahan" termasuk "kekeliruan-kekeliruan...mencoba mendirikan sosialisme dengan jalan damai" dan untuk mengikuti "politik" teori revolusi dua tahap dan front tergabung dengan kelas burjuis-nasional.
Soedarso tidak mengutarakan perbedaan-perbedaan yang mendasar dengan para Stalinis, setuju, contohnya, bahwa "Pergerakan revolusioner dapat dan sebaiknya mendukung sikap-sikap atau aksi-aksi progresif kelas burjuis nasional." Kalau bukti pernah diperlukan bahwa kelas burjuis semi-kolonial, dilambangkan oleh Sukarno, adalah pada dasarnya tidak mampu untuk melakukan program "progresif" tetapi akan mendukung pembantaian kelas pekerja, pertumpahan darah itu memberikannya. Selama 18 bulan Sukarno menjadi presiden boneka diktatur Jendral Suharto, dan setelah itu, mulai dari Maret 1967, dia dipertahankan sebagai "presiden tanpa kekuasaan".
Para Pablois juga meremehkan pentingnya pemasukan PKI ke dalam koalisi NASAKOM Sukarno dengan para tukang jagal militer. Soedarso mengimbau PKI untuk membalik arahan ini, sepertinya itu hanyalah sebuah kesalahan kecil.
Peminta maafan Soedarso untuk kekhianatan kelas mendasar ini bukanlah kebetulan. Inti dari Pabloisme adalah pembalikan perjuangan Trotsky melawan Stalinisme. Evolusi Stalinisme menjadi sebuah birokrasi kontra-revolusioner ditetapkan tanpa keraguan di tahun 1933 ketika Komintern (Internasional Komunis) Stalinis menyetujui tanpa ada suara perlawanan satu pun kekhianatan Partai Komunis Jerman yang menyerahkan kelas buruh Jerman kepada Hitler tanpa adanya peluru melayang. Mulai dari saat itu Trotsky bersikeras bahwa Internasional Ketiga telah secara pasti menyeberang ke kamp burjuis, dan bahwa Internasional Keempat harus dibangun sebagai partai dunia revolusi sosialis untuk memastikan kelangsungan Marxisme.
Artikel Soedarso adalah sebuah penutupan secara sadar, yang diatur oleh Mandel dan Hansen, atas peranan reaksioner Stalinisme. Artikel itu secara sadar tidak menggunakan kata "Stalinisme", tetapi secara curang memanggil PKI "Komunis". Dan kemudian untuk membuat posisinya sangat jelas, Soedarso menyimpulkan:"Kecaman di atas tidaklah dimaksudkan untuk merusak peranan PKI atau untuk membangkitkan ketidakpercayaan kepada Komunisme Indonesia."
Demikian, setahun setelah kudeta militer itu, pada saat mana satu juta pekerja dan petani sudah binasa, para Pablois sedang menutupi pelajaran-pelajaran tahun 1965 dan masih menganjurkan para pekerja dan petani Indonesia untuk tetap mempercayai PKI.
`Pelajaran-Pelajaran` Pablois Indonesia
Artikel Soedarso bukanlah sebuah contoh terisolasi. Kenyataannya arah yang diajukan di artikel itu memberikan tema-tema penting sebuah pernyataan yang diterbitkan tanggal 20 Maret 1966 oleh "Sekretariat Tergabung" Pablois. Berjudul "Pelajaran-Pelajaran Indonesia", itu menentang segala pemisahan dari PKI dan tidak mengeluarkan panggilan untuk pembangunan sebuah seksi Internasional Keempat. Sebaliknya, itu menyatakan bahwa "Komunis-Komunis Indonesia" dapat "menanggulangi akibat dari kekalahan saat ini" dengan mengasimilasi pelajaran-pelajaran tertentu.
"Pelajaran" pertama diajukan secara berikut:"Walaupun itu benar dan penting untuk mendukung semua pergerakan-pergerakan rakyat anti-imperialis, dan bahkan mendukung secara kritis semua tindakan-tindakan yang dilakukan oleh wakil-wakil kelas burjuis kolonial seperti Sukarno, untuk sebuah revolusi kolonial mendapat kemenangan, itu adalah sangat penting untuk mempertahankan kemandirian organisasi-organisasi proletar secara politis maupun secara keorganisasian dari kelas burjuis nasional."
Para Pablois bukan hanya mendorong ilusi-ilusi berbahaya tentang kepura-puraan "anti-imperialis" kelas burjuis nasional, kata-kata mereka tentang "kemandirian" politis organisasi-organisasi proletar adalah penuh dengan kepalsuan. Kemandirian politis kelas pekerja hanyalah dapat ditetapkan dengan membangun sebuah partai Trotskyis dalam perjuangan yang berani dan tak mengenal kasihan melawan para Stalinis yang sedang dicoba untuk disadarkan oleh para Pablois.
"Pelajaran" Pablois kedua mengajukan bahwa: "Meskipun itu benar dan penting dalam fase-fase pertama revolusi di negara-negara terbelakang untuk menekankan masalah pemenangan kemerdekaan nasional, mempersatukan negara dan menyelesaikan masalah agraris (yaitu, tugas-tugas bersejarah dari revolusi demokratis burjuis yang merupakan masalah yang paling penting di mata 80 percent sampai 90 percent populasi), itu adalah sangat penting untuk mengerti bahwa penyelesaian tugas-tugas ini hanyalah mungkin bila kelas buruh, dalam persekutuan dengan para petani miskin, telah memenangkan kepemimpinan revolusi, mendirikan diktatur proletar dan petani miskin dan mendorong revolusi itu ke fase sosialisnya."
Dengan arah oportunis "dua fase", para Pablois mencoba untuk menghidupkan kembali teori "dua-tahap" Stalinis yang telah kehilangan kepercayaan, yang menuntut "fase sosialis" revolusi ditunda sampai selesainya revolusi demokratis dan nasional. Arahan para Pablois adalah kebalikan dari teori Revolusi Permanen Trotsky yang didasarkan atas sifat internasional revolusi sosialis dan peranan revolusioner proletariat internasional. Trotsky menekankan pelajaran inti dari Revolusi Rusia bahwa, dalam jaman ini, tugas-tugas demokratis dan nasional di negara-negara terbelakang dan tertindas hanya dapat dicapai melalui revolusi proletar dan penyebarannya ke seluruh dunia.
Seruan para Pablois untuk "diktatur proletar dan para petani miskin" mencoba untuk menghidupkan kembali formula "Bolshevik Lama" tentang "diktatur demokratis proletar dan petani" yang diganti oleh Lenin di tahun 1917. Lenin mengadopsi posisi Trotsky yang tegas bahwa proletariat adalah kelas revolusioner satu-satunya yang dapat memimpin para petani dan melaksanakan tugas-tugas demokratis dan sosialis negara-negara terbelakang sebagai bagian dari perjuangan kelas buruh seluruh dunia.
"Pelajaran" ketiga yang diajukan oleh para Pablois adalah:"Meskipun itu adalah penting untuk memenangkan basis rakyat seluas mungkin di desa-desa, sebuahpartai revolusioner yang dapat melaksanakan politik ini haruslah berdasarkan atas kader proletar kuat yang dididik secara menyeluruh dalam teori dan praktek revolusioner Marxis."
Sifat ganda dari "pelajaran" ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa itu ditujukan kepada para Stalinis. Penyebutan-penyebutan "kader proletar kuat" dan "teori Marxis" adalah palsu.
Kenyataannya, "Sekretariat Tergabung" menasehatkan anggota-anggota kepemimpinan PKI yang selamat untuk mengambil jalan perang gerilya di daerah pedesaan.
Pernyataan mereka menunjukkan harapan bahwa "apa yang tertinggal dari kepemimpinan dengan kader-kader partai yang selamat -- terutama yang berpendidikan terbaik, mereka yang dikuatkan oleh pengalaman mengerikan yang mereka alami dalam enam bulan terakhir -- akan mengambil jalan perang gerilya, jika hanya untuk pertahanan diri.
Mereka menganjurkan para Stalinis untuk berbelok ke perang gerilya yang menggunakan para petani, meniru para Maois di Cina. Maoisme adalah semacam Stalinisme, berdasar atas permusuhan para petani terhadap kekuasaan kelas buruh. Berasal dari kekalahan revolusi Cina dan penghancuran keanggotaan buruh Partai Komunis Cina di tahun 1926-27, pembelokan Mao ke arah para petani menghasilkan aborsi di tahun 1949 revolusi Cina. Itu menghasilkan negara buruh yang sangat cacat di kelahirannya yang berdasarkan atas "blok empat kelas" Mao -- kelas burjuis nasional, kelas petit-burjuis urban, petani dan kelas buruh.
Itu adalah doktrin ini yang memandu kebulatan tekad Aidit dari kepemimpinan PKI untuk mencegah sebuah revolusi sosialis proletar di Indonesia. Dalam kata-kata Aidit: "Kelas buruh, petani dan kelas petit-burjuis dan kelas burjuis nasional haruslah bergabung dalam satu front nasional".
Pamflet para Pablois adalah percobaan sinis untuk mengalihkan para buruh yang sadar akan kelasnya dari pelajaran yang paling penting dari pengkhianatan di Indonesia -- pentingnya untuk sebuah partai Trotskyis untuk mengalahkan para Stalinis dan pembantu-pembantu Pablois mereka yang berfungsi sebagai agen-agen petit-burjuis kontra-revolusioner dalam pergerakan rakyat. Hanya ada satu partai revolusioner, dulu dan sekarang, yang dapat membalas pengkhianatan di tahun 1965 dengan membimbing kelas buruh Indonesia ke kekuasaan -- sebuah seksi Indonesia Komite Internasional Internasional Keempat.
Kesimpulan
Di tahun 1951 kepemimpinan PKI telah menggambarkan secara jelas jalan pengkhianatan yang akan diikutinya. "Dalam perjuangan untuk menyatakan pendapat politis mereka, para komunis tidak akan menggunakan kekerasan sementara kelas penguasa masih membiarkan jalan damai, keparlemenan terbuka. Bila ada penggunaan kekerasan, pertumpahan darah, perang saudara, itu bukan para komunis yang memulai, tetapi kelas penguasa sendiri."
Arahan kontra-revolusioner ini hanya dapat dibebankan kepada rakyat Indonesia karena para Pablois mengikat seksi-seksi yang paling sadar akan kelasnya ke panji-panji dan program PKI.
Pengkhianatan-pengkhianatan para Pablois di Sri Lanka dan Indonesia menunjukkan sifat kontra-revolusioner Pabloisme. Seperti Komite Internasional Internasional Keempat menyatakan dalam Arahan-arahan resolusi 1988-nya, Krisis Kapitalis Sedunia dan Tugas-Tugas Internasional Keempat:
"Dalam bantuan yang mereka berikan kepada Stalinisme, sosial-demokrat dan nasionalisme burjuis, oportunisme para Pablois sentris memainkan peranan vital dalam memperbolehkan imperialisme menjalani tahun-tahun penting antara 1968 dan 1975 ketika orde dunia sedang tergoncang oleh gejolak ekonomi dan pergerakan internasional kaum buruh dan rakyat yang tertindas di negara-negara terbelakang. Ini membuktikan taksiran Trotsky tentang sentrisme sebagai agen sekunder imperialisme. Para pengalah petit-burjuis yang mengajar tentang nasib proletar yang akan selalu berakhir dengan bencana dan sementara itu menemukan pandangan-pandangan baru tentang kelas burjuis, tidak pernah menganalisa secara konkrit bagaimana kapitalisme yang sudah jompo dapat hidup sampai dekade 1980an. Para Pablois adalah yang paling tidak peduli untuk mempelajari hasil-hasil politik-politik mereka. Sebanyak-banyaknya semua persaudaraan petit-burjuis sentris, para radikal dan cendekiawan yang tidak berkelas menolak a priori kemampuan revolusioner kelas pekerja dan menerima kekalahan-kekalahannya sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan, mereka tidak pernah memikirkan bagaimana konsekuensi-konsekuensi sebuah politik Marxis yang benar akan bekerja di Sri Lanka di tahun 1964, di Perancis di tahun 1968, di Chili di tahun 1973, dan di Yunani dan Portugis di tahun 1974.
"Komite Internasional, sebaliknya, mengambil pengalaman-pengalaman strategis proletar dalam periode setelah Perang Dunia Kedua pelajaran-pelajaran penting yang akan menjadi dasar dari persiapan mereka untuk pergejolakan revolusioner yang akan datang: pembangunan Internasional Keempat sebagai Partai Dunia Revolusi Sosialis untuk memastikan kemenangan kelas buruh internasional memerlukan sebuah perjuangan yang tanpa henti dan tanpa kompromi melawan oportunisme dan sentrisme.
Sebuah kepemimpinan revolusioner yang baru harus didirikan untuk memimpin rakyat Indonesia untuk menghancurkan diktatur Suharto, menggulingkan kelas burjuis dan menghentikan pemerasan imperialis dalam perjuangan untuk revolusi sosialis sedunia. Menentang para Stalinis dan Pablois yang sedang mempersiapkan jebakan berdarah satu lagi untuk rakyat, seksi Indonesia dari Komite Internasional Internasional Keempat (ICFI) harus dibangun untuk memimpin perjuangan ini.
Sumber : www.wsws.org (situs sosialis)



PELOPOR DAN PENGAWAL REVOLUSI DEMOKRASI:
GERAKAN MAHASISWA SEBAGAI GERAKAN POLITIK NILAI.

(Analisis singkat sejarah gerakan mahasiswa Indonesia 1966-2001)

oleh : M. Fadjroel Rahman

DUA TAHAP REVOLUSI DEMOKRASI DAN PERAN OPOSISI ADHOC

Puncak revolusi mei 1998 adalah penggulingan Jenderal Besar (purn) Soeharto, didahului oleh pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa Indonesia. Namun, revolusi mei 1998 hanyalah awal dari tahap pertama (first strage) revolusi demokrasi yang dipelopori gerakan mahasiswa. Tahap pertama revolusi demokrasi ini merupakan tahap pembongkaran kesadaran massa dan mahasiswa terhadap struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menindas atau eksploitatif. Proses pembentukkan tahap pertama revolusi demokrasi ini berlangsung sepanjang sejarah rezim Orde baru (ditandai sejumlah "puncak" perlawanan gerakan mahasiswa 1974, 1987,1989, dan 1998). Peran oposisi adhoc gerakan mahasiswa merupakan peran historis yang dipaksakan secara struktural oleh rezim Orde baru yang menjalankan satu jenis faasisme baru yaitu fasisme pembangunan (developmental fascism). Peran ini menjadi permanen sepanjang sejarah rezim Orde baru karena diberangusnya semua kekuatan oposisi formal (dalam kondisi demokrasi merupakan peran partai politik) dan ditundukkannya masuarakat sipil secara korporatis-fasistis, maupun melalui kekerasan terbuka.
Peran oposisi adhoc ini kembali dijalankan gerakan mahasiswa dibawah rezim Abdurrahman Wahid karena; Pertama: agenda reformasi total tidak dilaksanakan oleh semua lembaga politik baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif; kedua: tidak ada satupun partai politik yang menegaskan kekuatan politik oposisional dan memperjuangkan pelaksanaan agenda reformasi total tanpa kompromi politik dengan rezim Orde baru; ketiga: semua partai politik peserta pemilu 1999 (48 parpol) adalah legitimator UU pemilu yang cacat demokrasi karena mensyahkan keberadaan TNI/POLRI di legislatif (DPR/MPR, DPRD I dan DPRD II) dan keikutsertaan partai Golongan Karya dalam pemilu tanpa pertanggungjawaban hukum terhadap kejahatan politik, ekonomi dan HAM sepanjang 32 tahun rezim Orde baru. Dengan demikian semua partai politik berkhianat terhadap agenda reformasi total dan revolusi demokrasi, karena menjadi kolaborator politik rezim Orde baru .
Tahap pertama revolusi demokrasi ini berawal pada tergulingnya Jenderal Besar (purn) Soeharto da berakhir pada pelaksanaan seluruh agenda reformasi total. Bila seluruh agenda reformasi total dijalankan maka terbentuklah demarkasi politik demokrasi/reformasi total terhadap politik anti-demokrasi/anti reformasi total. Oleh karena agenda reformasi total belum dijalankan hingga rezim Abdurrahman Wahid sekarang, maka gerakan mahasiswapun terus menerus menjalankan oposisi adhoc-nya. Dapat dicatat dengan sejumlah "puncak lain" selain Mei 1998 (pendudukan DPR/MPR dan penggulingan Soeharto), November 1998 (Semanggi I, penolakan terhadap SI MPR), September 1999 (Semanggi II, Penolakan terhadap UU Penanggulangan Keadaan Bahaya), Oktober 1999 (Penolakan terhadap Habibie dan Wiranto), Januari 2001 hingga sekarang (tuntutan terhadap penurunan Abdurrahman Wahid serta pembubaran dan pengadilan Partai Golkar).
Dalam skala waktu,tidak dapat ditetapkan kapan tahap pertama revolusi demokrasi atau pelaksanaan agenda reformasi total berakhir. Bukan tidak mungkin, bahkan rezim berikutnyapun yang berasal dari pemilu 1999 yang cacat demokrasi, bila Abdurrahman Wahid mengundurkan diri, tidak akan mampu dan mau menyelesaikan tahap pertama revolusi demokrasi tersebut. Tetapi secara teoritis, tahap kedua (second stage) dari revolusi demokrasi dapat diawali bila semua agenda reformasi total sudah dijalankan. Tahap kedua ini merupakan tahap pembongkaran struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menindas atau eksploitatif. Pada tahap keduainilah pemantapan dan pengembangan demokrasi dijalankan melalui proses konsolidasi dan pendalaman demokrasi.

GERAKAN POLITIK NILAI VERSUS GERAKAN POLITIK KEKUASAAN

Apakah gerakan mahasiswa bebas kepentingan politik? Tentu tidak, karena kepentingan pertama dan terutama yang diperjuangkannya adalah nilai-nilai (values) atau sistem nilai (values system) yang sifatnya universal seperti keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi dan solidaritas kepada rakyat yang tertindas. Karena itu oposisi adhoc gerakan mahasiswa di Indonesia merupakan gerakan politik nilai (values political movement) dan bukan gerakan politik kekuasaan (power political movement) yang merupakan fungsi dasar partai politik.
Nilai-nilai universal tersebut juga hidup dalam konteks kesejarahan suatu gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa di Indonesia menterjemahkan nilai-nilai tersebut dalam konteks politik kontemporer Indonesia dalam bentuk agenda reformasi total sekarang ini berupa:
1. Amandemen UUD '45 menjadi konstitusi demokrasi,
2. Pencabutan Dwifungsi ABRI (TNI/Polri) atau penghapusan peran politik, bisnis dan teritorial TNI/Polri.
3. Pengadilan pelaku KKN sepanjang pemerintahan Soeharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid,
4. Pengadilan pelaku kejahatan HAM sepanjang pemerintahan Soeharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid.
5. desentralisasi atau otonomi daerah seluas-luasnya,
6. reformasi perburuhan dan pertanian.

Dibandingkan dengan gerakan politik kekuasaan yang menjadi ciri khas partai politik, dimana penetapan agenda dan target politik maupun pemilahan lawan dan kawan politik semata-mata sebagai urusan taktis dan strategis untuk memperkuat dan mengukuhkan posisi politiknya dalam percaturan kekuasaan sekarang dan di masa depan. Maka gerakan politik nilai yang menjadi ciri khas gerakan mahasiswa walaupun melakukan penetapan agenda dan target politik maupun pemilahan lawan dan kawan politik, tetapi samasekali tidak untuk memperkuat dan mengukuhkan posisi politiknya dalam percaturan kekuasaan. Contohnya, ketika gerakan mahasiswa menolak pemilu 1999 dimasa rezim Habibie, lebih disebabkan oleh perhitungan bahwa pemilu tersebut cacat demokrasi dan mnegkhianati agenda reformasi total. Tetapi, untuk 48 parpol peserta pemilu 1999, pemilu tersebut merupakan peluang untuk meraih dan mengukuhkan kekauasaan politik atau sekedar memperoleh legitimasi hukum untuk keberadaan partainya, bahkan sekedar memperoleh sedikit jabatan dan sejumput uang.

GERAKAN POLITIK NILAI UNTUK MENUNTASKAN REVOLUSI DEMOKRASI

Karena berdiri sebagai gerakan politik nilai, maka gerakan mahasiswa angkatan 2001 sekarang pun dengan luwes menetapkan sejumlah agenda dan target politik baru yang menghindarkan mereka dari jebakan dan manipulasi kepentingan elite maupun partai politik tertentu. Melalui pertarungan gagasan yang cukup tajam antar kelompok dan gerakan mahasiswa, sekarang secara praktis semua elemen gerakan mahasiswa "bersatu lagi" sebagai gerakan politik nilai, membela dan mengawal revolusi demokrasi dengan memperjuangkan agenda reformasi total yang mereka cita-citakan bahu membahu. Kini, kita semua menyaksikan sinergi gagasan dan kekuatan gerakan mahasiswa "bersatu" memperjuangkan agenda reformasi total atau enam visi reformasi ditambah dengan agenda menurunkan Abdurrahman Wahid, menolak kenaikan harga BBM dan sembako dan menjadikan KKN orde baru -partai Golkar sebagai musuh bersama (Common Enemy).
1966 1974 1978 1989 1998 2001
Visi Nilai-nilai: keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi dan solidaritas kepada rakyat tertindas Nilai-nilai: keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi dan solidaritas kepada rakyat tertindas Nilai-nilai: keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi dan solidaritas kepada rakyat tertindas Nilai-nilai: keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi dan solidaritas kepada rakyat tertindas Nilai-nilai: keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi dan solidaritas kepada rakyat tertindas Nilai-nilai: keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi dan solidaritas kepada rakyat tertindas
Sasaran Strategis Pimpinan Nasional Strategi Pembangunan Pimpinan Nasional Pimpinan Nasional dan perubahan struktural Pimpinan Nasional dan perubahan struktural Pimpinan Nasional dan perubahan struktural
Organisasi Ekstra Kurikuler (KAMI dan Ormas Pemuda) Dewan Mahasiswa Dewan Mahasiswa Komite Solidaritas Mahasiswa, buruh, tani, dan kelas menengah Jaringan Mahasiswa formal dan non formal (Forkot, FKSMJ dll) Jaringan Mahasiswa formal dan non formal (BEM, Forkot, FPPI, KAMMI dll)
Aliansi strategis Angkatan Darat Intelektual politisi oposisi Intelektual politisi oposisi Buruh, tani, intelektual, kelas menengah Intelektual politisi oposisi, kaum miskin kota, kelas menengah dan profesional Intelektual politisi oposisi, kaum miskin kota, kelas menengah, profesional, buruh dan tani
Kondisi Politik (Birokrasi dan Militer) Friksi tajam Soekarno, AD dan PKI Friksi tajam Jend. Soemitro dan Aspri Soeharto Friksi politik relatif kecil Friksi politik relatif kecil Friksi tajam Soeharo versus 14 menteri, Jend. Wiranto Versus Letjen. Prabowo. S. Friksi tajam Eksekutif Versus Legislatif
Friksi "kecil" Gusdur Versus Megawati Versus Angkatan Darat
Kondisi Ekonomi Inflasi 600% Pertumbuhan relatif tinggi Pertumbuhan relatif tinggi Pertumbuhan rata-rata 7% Depresiasi 708% dan Inflasi 82,4%
Pertumbuhan – 14% Depresiasi sektoral 165% dan Inflasi 9,4%
Pertumbuhan 4-5%
Korban Mahasiswa 5-7 meninggal, rakyat sekitar satu juta orang Mhs luka-luka, sejumlah rakyat meninggal Mhs luka-luka Mhs luka-luka Mahasiswa 12 orag meninggal, ratusan luka, 1500 rakyat meninggal Mhs luka-luka, ribuan rakyat meninggal karena kerusuhan SARA
Aktivis dan Pemimpin Mahasiswa Tidak ada penahanan dan pemecatan Penahanan rata-rata 1-2 tahun Penahanan rata-rata 1 tahun Penahanan rata-rata 3-8 tahun dan pemecatan Penahanan harian dan denda Belum ada penahanan
Hasil Soekarno digulingkan, PKI dibubarkan Soeharto tetap berkuasa, perbaikan kebijakan ekonomi Soeharto tetap berkuasa, tidak ada perubahan kebijakan signifikan Soeharto tetap berkuasa, tidak ada perubahan kebijakan signifikan Soeharto dan Habibie digulingkan, agenda reformasi macet total
Disarikan dari berbagai sumber



POLITISASI, EKONOMISASI
DAN DUNIA YANG SEDANG BERUBAH

*) AG. Eka Wenats Wuryanta


Fakta telah menyatakan bahwa:
Rezim Orde Baru yang berkuasa tak tergoyahkan selama hampir tiga dekade tahun menjadi tak berdaya karena mantan Presiden Soeharto turun. Pengunduran diri Soeharto ini lebih sumir disebabkan karena keadaan ekonomi Indonesia yang amburadul, nilai tukar rupiah yang merosot tajam, IHSG di bursa saham Jakarta yang drastis lumpuh, terakhir pengunduran diri dan penolakan sejumlah menteri bidang ekonomi, keuangan serta industri.
Majalah Time edisi awal tahun 1999, pernah membuat liputan khusus yang diberi judul “The Three Marketeers” yang kurang lebih artinya tiga pemain pasar yang ulung – sebuah plesetan dari The Three Musketeers, judul novel karangan Alexander Dumas. Pada heading judul terlihat gambar Allan Greenspan (presiden Federal Reserve Bank), Robert Rubin (menteri keuangan Amerika waktu itu) dan Lawrence Summers (Deputi menteri Keuangan Amerika). Time sebagai sebuah majalah terkemuka rupanya mengakui keunggulan kualitas tiga orang itu. Karena berkat tiga orang itu, perekonomian Amerika sempat mencapai kemakmuran yang tinggi dan stabil. Perekonomian Amerika yang tinggi dan stabil ini serta merta mempengaruhi politik dalam negeri dan luar negeri pemerintahan Bill Clinton. Gabungan tiga pemain pasar ini memperlihatkan kepada kita adanya usaha kombinasi bagaimana membuat satu kebijakan politik dan sosial yang komprehensif yang meliputi kebijakan pemerintahan dan mekanisme pasar.
Situasi keamanan yang rentan di ibukota dan pemboman gedung Bursa Efek Jakarta yang sementara orang dan pengamat politik dilihat sebagai sabotase politik sempat membuat Rupiah keok sampai tembus angka psikologis Rp. 9000 per dolar Amerika serta indeks harga saham gabungan sampai menyentuh titik 400-an, sebuah titik indeks terendah pada masa pemerintahan Gus Dur dan Megawati.

Fakta Ranah Jalinan Politik dan Ekonomi

Dari rangkaian fakta dan berita di media massa, terutama sedikitnya dari tiga fakta deskriptif di atas tadi, hal tersebut memperlihatkan bahwa ekonomi dan politik saling mempengaruhi, terutama jika bidang ekonomi politik dan politik ekonomi ini masuk dalam konteks negara yang sedang membangun – seperti Indonesia.
Kesalingterpengaruhan antara politik dan ekonomi sebenarnya bukan diskursus yang baru. Dari sejarah, pemikiran politik dan ekonomi terlihat bahwa politik dan ekonomi memang saling mengandaikan. Dalam diskursus klasik, politik selalu diartikan sebagai persoalan kekuasaan atau lebih tepat dikata politik berbicara bagaimana mengelola dan mempertahankan kekuasaan. Sementara itu, ekonomi didefinisikan sebagai persoalan hajat hidup manusia. Lebih banyak ekonomi dikatakan sebagai bagaimana mengusahakan, mengelola dan mendistribusikan secara lebih baik sumber daya yang pada kenyataannya mempunyai keterbatasan atau langka.
Dari margin pembatasan istilah di atas maka sebetulnya ekonomi dan politik sekaligus sebaliknya memuat sebuah sinergi pengaruh. Sinergi dua bidang itu adalah ketika ekonomi melingkupi, mengelola dan mengorganisasikan sumber daya (barang dan jasa) yang langka mau tidak mau hal tersebut selalu harus melibatkan aspek kekuasaan. Kekuasaan yang mempunyai kemampuan memberikan proses jaminan dan kepastian cara bermain dan berbagi hasil dalam konteks manajemen sumber daya yang langka. Dan itu soal politik.
Sebaliknya ketika sebuah struktur kekuasaan politis menjadi tujuan tetap saja harus didukung dengan kemauan dan kemampuan pengaturan, pengelolaan hajat hidup yang layak bagi para warganya. Kekuasaan politis yang legitim bukan semata-mata harus mempunyai legitimasi sosial tapi juga harus mempunyai legitimasi ekonomis yang terwujud dalam sistem manajemen kehidupan ekonomis yang layak atau setidaknya adil. Kekuasaan politis akan mengalami “delegitimasi”apabila politik tidak memberikan jaminan kehidupan ekonomi yang adil, jaminan kepastian hukum dan jaminan solidaritas warga negara yang plural.
Sinergi dalam titik pandang bersama politik dan ekonomi memperlihatkan bahwa antara politisasi sebagai proses kekuasaan dan ekonomisasi sebagai proses kesejahteraan adalah dua hal yang saling meniscayakan. Niscaya karena politik dan ekonomi menyentuh hajat hidup manusia.
Sinergi Politik-Ekonomi dan Dunia yang Sedang Berubah

Apabila kita mau mendaratkan sinergi politik-ekonomi dalam sesuatu yang konkret, mau tidak mau kita harus menempatkan sinergi tersebut dalam konteks dunia yang sedang berubah. Dinamika perubahan dunia semakin nyata terlihat dalam proses globalisasi. Globalisasi sebagai sebuah fenomena komprehensif atas seluruh tatanan kehidupan mengharuskan setiap segi dan bidang kehidupan bekerja sama membentuk tatanan masyarakat yang baru
Setidaknya ada tiga pilar segi yang sensitif dalam konteks globalisasi, yaitu politik yang menyangkut demokratisasi dan peningkatan peran publik individu, ekonomi yang menekankan soal kesejahteraan dan prinsip keadilan yang jelas, terakhir soal kepekaan atas pengelolaan lingkungan hidupa sebagai wahana yang meski terbatas menjadi tempat bersama hidup manusia.
Maka untuk lebih mempertajam analisis hipotetis di atas perlu ada beberapa kesadaran baru yang perlu dipertimbangkan terutama bagi cara pandang kita terhadap dunia kita yang sedang berubah berikut aspek ekonomi-politik yang ada di dalamnya.
Tidak berlebih apabila pemikiran Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul “The Third Way; The Renewal of Social Democracy” (1998), “The Runaway World” (1999) dan terakhir “The Third Way and It’s critics” (2000) perlu dipertimbangkan sebagai masukan.
Pertama, perlu ada kesadaran bahwa ekonomi dan politik lebih merupakan seni. Sampai titik tertentu, banyak ekonom dan ahli politik menyatakan bahwa mereka sering membuat kebijakan yang tidak selalu dapat memecahkan seluruh persoalan. Pengalaman Indonesia memberikan gambaran yang jelas: pembentukan DEN yang diketuai oleh Emil Salim dan keberadaan DPUN yang dipimpin Sofyan Wanandi tidak serta merta memperbaiki ekonomi Indonesia.
Kedua, perlu ada kesadaran bahwa energi kebijakan ekonomi dan politik masih banyak berhitung dengan fakta sosial yang tumbuh dalam masyarakat, yaitu pertumbuhan real ekonomi rakyat, fluktuasi masalah ekonomi dan sosial, kemiskinan, soal pengangguran dan pemerataan hasil ekonomi yang cepat berubah dalam hitungan detik dan menit.
Ketiga, perlu ada kesadaran bahwa negara harus memperhatikan meritokrasi terbatas dan kebijakan negara investasi sosial. Dalam meritokrasi terbatas, kebijakan sosial dan ekonomi berpusat pada kesempatan yang sama dan “fair”. Kesempatan untuk memdapatkan sumber barang dan jasa yang langka tetap harus dibuka meski kemampuan untuk mencapainya tidak sama. Negara berinvestasi secara sosial dengan tetap memperhatikan jaminan dan perlindungan sosial tapi tidak serta merta bahwa negara menciptakan “generasi malas” atau masalah ketidakadilan dalam prinsip pemberian jaminan sosial.
Keempat, masalah welfare-state (negara sejahtera) bukan semata-mata soal ekonomi. Tapi negara sejahtera mempunyai akar historis dan ideologis, di mana negara wajib menyelenggarakan dan menjamin kesejahteraan warganya. Dan ini adalah soal politik.
Kelima, skema kapitalisme yang berhati nurani (compassionate capitalism) adalah preseden politik dalam skema ekonomi politik yang berkembang sampai sekarang. Politik dan ekonomi tidak lagi selalu berada dalam ranah ideologi yang berbeda. Kenyataan sekarang banyak negara yang menganut sistem mixed economy dan mengambil “jalan ketiga” daripada sekedar soal negara kapitalistis (dengan dasar ekonomi liberalisme klasik dan Keynesianisme) atau negara sosialis. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan partai jalan tengah yang merangkul kapitalisme dan memeluk sistem sosial seperti Inggris dengan kebijakan Tony Blair, Italia dengan ekonomi mixed-nya Romano Prodi, Jerma dengan sosial demokratnya Gerard Schoeder, ekonomi Amerika yang gilang gemilangnya Clintonomics.
Keenam, modifikasi mixed-economy ini mengakibatkan timbulnya gejala dan agenda ekonomi politik global dan multilateral. Dan ini melibatkan perusahaan multinasional. IMF, World Bank, WTO, EU justru menjadi multinational enterprises yang mempunyai kekuatan hegemoni bagi sistem politik dan ekonomi lokal.
Terakhir, kesadaran bahwa politik-ekonomi selalu menempatkan ide bersiasat dengan pasar. Negara dan masyarakat takkan mampu melawan pasar, tapi menyiasati pasar adalah keharusan dan selalu dimungkinkan. Siasat kepada pasar membutuhkan institusi sosial yang sah, yaitu negara. Toh negara masih penting.

Politik-Ekonomi adalah Tubuh-Jiwa
Dari tujuh tesis di atas nampak bahwa kebijakan dan praksis sosial politik dan ekonomi adalah ranah diskursus dan praksis yang secara kasat inderawi saling meniscayakan, bahkan dalam dinamika dunia yang begitu cepat. Ekonomi-politik bukan masalah siapa yang duluan: ayam atau telur tapi soal ekonomi-politik adalah soal tubuh dan jiwa. Dua forma yang berbeda tapi terbentuk dalam satu substansi yang sinergis.
_________________________
Catatan:
1. Lihat sejarah kapitalisme. Tumbuhnya kapitalisme yang paling kuno sekalipun tetap menyertakan bidang ekonomi sebagai tujuan utamanya dan politik sebagai sarana pencapaiannya. Lihat juga perdebatan klasik antara kapitalisme dan sosialisme. Debat kapitalisme dan sosialisme tidak jauh dari soal bagaimana distribusi ekonomi dijalankan dan soal siapa menguasai siapa.
2. Globalisasi di sini tidak hanya diartikan sebagai fenomena ekonomi belaka. Globalisasi tetap dilihat sebagai fenomena atau gejala peradaban yang melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu kebudayaan, politik, sosial, ekonomi, hukum, sistem sosial, keamanan dan lain-lainnya.
______________________________
Penulis adalah Direksi Institut Studi Sosial Demokrasi
dan Staff Pengajar Univ. Atmajaya Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar