Senin, 07 Februari 2011

LOGIKA FORMAL DAN DIALEKTIKA

LOGIKA FORMAL DAN DIALEKTIKA

”Pelajaran ini sejalan dengan ide-ide dialektika materialis¬me, logika marxisme.”
”Terkejutkah anda betapa istimewanya proyek ini? Inilah para anggota dan simpatisan sebuah partai politik yang revolusioner di bawah ancaman pemerintah dalam PD II, perang terbesar sepanjang sejarah dunia. Kaum pekerja ini, kaum revolusioner profesional ini, secara bersama-sama, bukan mendiskusikan soal-soal dan memutuskan ukuran-ukuran perlunya aksi-aksi segera, tapi bagi tujuan mengka¬ji suatu ilmu yang nampaknya sebanding dengan matematika yang lebih tinggi yang berasal dari perjuangan politik sehari-hari.”
”Betapa kontras dengan gambaran harapan gerakan marxis yang digambarkan terbelenggu oleh tangan kapitalis! Kelas pemilik denggambrkan kaum sosialis revolusioner sebagai individu-individu gila yang membohongi diri dan yang lainnya dengan pandangan-pandangan fantastik dari suatu dunia pekerja. Kaum penguasa kapitalis seperti kanak-kanak yang tak bisa menggambar sebuah gambar dunia di mana mereka tidak ada dan di mana mereka bukan figur sentral.”
”Mereka mengklaim dipandu oleh logika dan akal sehat. Sekar¬ang saatnya ini dunia mengambil satu pandangan untuk menentukan siapa yang irasional dan siapa yang berakal sehat: kaum kapita¬lis atau kaum penentang mereka yang revolusioner. Monarki masyar¬akat jaman ini mengamuk dan bertingkah laku seperti orang gila. Mereka menjbloskan dunia ke dalam pemunuhan massa untuk kedua kalinya dalam seperempat abad; membakar peradaban; dan ancaman merusak dasar-dasar kemanusiaan. Dan juru bicara bagi orang-orang miring ini menganggap kita gila dan perjuangan kami bagi sosia-lisme bukti ketidakrealistisan.”
”Tidak, justru sebaliknya. Di dalam berjuang melawan kegilaan kapitalisme terhadap sistem sosialis bebas dari penghisapan dan penindasan, perang-perang, krisis-krisis, perbudakan imperialis, dan barbarisme, kami marxis adalah orang-orang yang paling berakal sehat hidup. Itulah mengapa, tak seperti kelompok-kelom¬pok politik dan sosial yang lain, kami ambil ilmu logika sebegitu seriusnya. Logika kami adalah alat yang sangat penting untuk membantu perjuangan melawan kapitalisme dan bagi sosialisme.”
”Logika dialektika materialis adalah, pasti, begitu berbeda dari logika yang ada dari dunia borjuis. Metode kita, seperti ide-ide kita, adalah, seperti yang kita ajukan untuk membuktikan, lebih ilmiah, lebih praktis, dan juga jauh lebih logis daripada logika yang yang lain. Kita mengutamakan pemhaman yang lebih luas dan kepemahaman prinsip-prinsip fundamental dari ilmu yang di sana ada suatu logika terdalam dari hubungan-hubungan menembus semua ralitas dan bahwa hukum dari logika bisa diketahui dan disebarkan kepada yang lainnya. Dunia sosial di sekitar kita hanya merupakan indrawi sperfisial. Ada metode pun dalam kegilaan kelas kapitalis. Kesulitan kita adalah menemukan hukum apa yang paling umum dari logika dalam dari alam, masyarakat, dam pikiran manusia.Sementara kaum borjuis hilang ingatan, kita harus berusaha meningkatkan dan memperjelas punya kita.”
”Kita punya preseden-preseden yang hebat untuk usaha semacam ini. Selama tahun-tahun awal PD I, Lenin, didalam pembuangan di Berne, Swiss, merangkum studi logika Hegel-nya secara simultan dengan mengembangkan program perjuangan bolseviknya menentang perang imperialis. Kesan dari karya teoritis ini dapat dilihat dari semua pemikiran, tulisan, dan tindakannya selanjutnya. Lenin mempersiapkan dirinya dan partainya bagi kedatangan peristiwa-peristiwa lewat penguasaan dialektika. Dalam bulan-bulan pertama PD II, saat mengatur pertempuran menlawan oposisi borjuis kecil dalam partaipekerja sosialis, Trotsky menekankan berkali-kali betapa pentingnya metode dialektika materialis dalam poilitk sosialis revolusioner. Bukunya, In defense of Marxism, berevolusi di sekitar poros teoritis.”
”Inilah, seperti didalam semua aktivitas kami, kami dipandu oleh pemimpin-pemimpin sosialisme ilmiah yang mengajarkan kebe¬naran dialektika yang tak ada yang begitu prkatis dalam politik kaum proletar selain metode berpikir yang benar. Metode tersebut hanya lah metode dialektika materialis yang sedang kita kaji.”

1. Asal Mula Definisi Logika
”Logika adalah suatu ilmu. Setiap ilmu mempelajari suatu bentuk khusus dari gerak dalam hubungan-hubungan dengan bentuk-bentuk gerak material dan mencari untuk menemukan hukum umum dan cara-cara gerak spesifik dari gerakan tersbut. Logika adalah ilmu proses pikiran. Para ahli logika menyelidiki akivitas proses pikiran yang berlangsung di dalam kepala manusia dan merumuskan hukum-hukum, bentuk-bentuk dan interelasi dari proses-proses mental tersebut.”
”Dua tipe utama dari logika telah muncul bnerasal dari dua tahap utama di dalam perkembangan ilmeu logika: logika formal dan dan dialektika. Ini adalah bentuk gerak mental yang telah berkem¬bang begitu tinggi. Mereka memilki sebagaimana fungsi mereka pemahaman yang sadar dari segala bentuk gerak, termasuk punya mereka sendiri.”
”Walaupun kami secara primer tertarik pada dialektika materi¬alis, kami tidak harus memulai sama sekali untuk memahami metode dialektika. Kita harus mendekati tidak langsung lewat pertama-tama ide-ide fundamental dari bentuk berpkir lainnya: metode logika formal, Sebagai suatu metode berpikir, logika formal adalah oposisi dari dialektika materialis.”
”Mengapa, lalu, kita memulai studi dialektika materialis kita lewat mengkaji penentangnya da dalam ilmu logika?”

2. Perkembangan Logika
Ada jawaban-jawaban hebat untuk suatu prosedur semacam itu. Pertama dari semua, dialektika tumbuh dari logika formal di dalam perkembangan sejarah. Logika formal adalah sistem pengetahuan ilmiah besar pertama dari proses pemikiran. Adalah puncak karya filosofis dari Yunani kuno, mahkota kejayaan pemikiran bangsa Yunani. Pemikir-pemikir Yunani awal membuat banyak penemuan-penemuan penting tentang alam dari proses berpikir dan hasil-hasilnya. Pe-sintesa pemikiran Yunani, Aristoteles, mengumpul¬kan, mengkelasifikasikan, mengkritik, dan mensistimatiskan hasil-hasil positif dari pemikiran tentang pikiran dan lalu menciptakan logika formal. Euclides melakukan hal yang sama untuk geometri dasar; Archimedes untuk mekanik dasar; Ptolomeus dari Alexandria kemudian untuk astronomi dan geografi; Galen untuk anatomi.”
Logika Aristoteles mendapat pengakuan dalam bidang pemikiran” selama lebih dari 200 tahun. Ia tak mempunyai saingan samapi ia tertantang, disingkiran dan dilangkahi oleh dialektika, sistem ilmu logika besar kedua. Dialektika merupakan hasil dari suatu gerakan ilmiah revolusioner menutup berabad-abad tenaga kerja intelektual. Ia datang sebagai puncak dari kerja otak pemahaman para filsuf borjuis dari revolusi borjuis demokratis di Eropa barat dari abad ke 16 sampai abad ke 16. Hegel, Raksaksa mazab filsafat idealis borjuis jerman, merupakan mahaguru yang merubah ilmu logika yang pertama, seperti marx jelaskan," menerangkan bentuk-bentuk umum dari gerakan (dari dialektika) dalam suatu cara yang komprehensif dan penuh sadar."
”Marx dan Engels adalah pengikut Hegel dalam bidang logika."Mereka pada gilirannya mengakibatkan suatu revolusi dalam revolu¬si ilmu logika Hegel dengan menghilangkan elemen mistik dari dialektikanya dan menempatkan dialektika idealisnya pada suatu fondasi materialis yang konsisten.” Bila, jadi, kita mendekati dialektika materialis dengan cara logika formal, kita harus menelusuri langkah-langkah dari kema-juan ilmu logika secara historis aktual yang berkembang lewat logika formal dan dialektika." Bila, kemudian, kita mendekati dialektika material lewat cara logika formal, kita harus melacak langkah-langkah dari kemajuan historisaktual ari ilmu logika yang berkembang lewat logika formal ke dialektika.”
Adalah salah menilai dari gambaran singkat dari sejarah logika ini pun bahwa bangsa Yunani tak tahu apa-apa tentang dialektika atau Hegel dan Marx gigih menolak ide-ide logika formal. Seperti kata Engels:" para filsuf yunani kuno semua secara alamiah adalah kaum dialektis an aristoteles, yang paling cerdas diantara mereka, pun telah menganalisa bentuk-bentuk yang paling esensial dari pemikiran dialektika." Sebaliknya dialektika menjadi suatu elemen embrio dalam pemikiran Yunani. Para filsuf Yunani tak berhasil dalam mengembangkan pandangan-pandangan mereka menjadi bentuk ilmiah yang sistematis. Mereka mewariskan dalam bentuk akhir logika formal Aristoteles. Pada saat yang sama, obsservasi dialektis mereka, kritisisme pemikiran formalan mereka, dan sifat paradoks mereka pertama-tama memunculkan prblem-problem dan mengekspos keterbatasan-keterbatasan logika formal yang telah ilmu logika singkirkan pada abad-abad gemilang dan yang mana dialektika kaum Hegelian dan Marxis telah pecahkan.”
”Ahli-ahli dialektika moderen ini tidak memandang logika formal sempit. Sebaliknya. Mereka menggambarkan logika formal bukan hanya metode pemikiran yang penting secara historis namun juga sangat penting pun sekarang bagi pemikiran yang benar. Namun di dalam dirinya logika formal jelas punya kekurangan. Elemen masuk akal-nya merupakan suatu bagian dari dialektik. hubungan-hubungan antara logika formal dan dialektika telah diperbaiki. Sementara diantara para filsuf Yunani sisi formal dari logka menjadi menonjol dan aspek dialektika tidak penting, di dalam mazhab dialektika moderen menduduki rangking terdepan dan sisi formal murni dari logika berada dibawahnya.”
”Karena dua tipe pemikiran berlawanan ini memilki begitu banyak poin dalam logika formal dan kebanyakan masuk sebagai material struktural menjadi kerangka pikir dari logika dialek¬tis, akan memuaskan menduduk diri kita pertama dengan llogika ” formal. Di dalam megkaji logika formal kita telah menyiapkan jalan menuju dialektika. Dengan menjelaskan kegagalan-kegagalan, atau batas-batas, dari logika formal, kita harus kenyataannya telah mengakhiri Jurang pemisah logika formal dari dialektika.
Hegel menyatakan pemikiran yang sama ini dalam Logika-nya sebagai berikut: " Adalah imanen di dalam batas-batas itulah merupakan suatu konttradiksi yang mengirimkan sesuatu kepada...”. Akhirnya, dari prosedur ini kita dapat mengambil suatu pelajaran yang penting dalam pemikiran idalektis. Hegel mengata¬kan bahwa sesuatu tak begitu diketahui sampai kau tahu apa lawan secara sosio-ekonomis, kapitalis. Kalian tak bisa mengetahui apakah Trotkisme itu sampai kalian tahu sesensi dari antitesisn¬ya, Stalinisme. Jadi kalian tak bisa mengambil alam yang paling dalam dari dialektika pertama-tama mengambil suatu terobosan pemahaman dari para pendahulunya dan antitesis teoritis, logika formal.”

3. Tiga Hukum Dasar dari Logika Formal
Ada tiga hukum fundamental dari logika formal. Pertama dan yang paling penting adalah Hukum identitas. Hukum ini bisa nyata¬kan dalam berbagai cara seperti: Suatu benda selalu sama atau identik dengan dirinya. dalam istilah aljabar: A sama dengan A. Formulasi khusus dari hukum ini tak begitu penting sewaktu ide terlibat. Pemikiran asensual tercakup dalam hukum identitias. Mengatakan bahwa suatu benda selalu sama terhadap dirinya adalah sama juga menilai bahwa dibawah semua kondisi ia tetap satu dan sama. Suatu benda yang ada berada secara absolut pada setiap momen yang ada. Seperti ahli fisis katakan: "Materi tak bisa diciptakan dan dihancurkan," contohnya, materi selalu menjadi materi.
Penilaian yang tak kondisional dari hukum identitas absolut dari suatu benda dengan dirinya sendiri menimbulkan perbedaan dari esensi benda-benda dan pikiran. Bila suatu benda selalu dan dalam semua kondisi sama arau identik dengan dirinya, tak pernah bisa tidak sama atau berbeda dari dirinya. Kesimpulan ini mengambil secara logis dan tak terhindarkan dari hukum iden¬titas. Bila A selalu sama dengan A, tak bisa pernah sama dengan non-A.
Kesimpulan ini dibuat eksplisit dalam hukum kedua dari logika formal: Hukum kontradiksi. Hukum kontradiksi menyatakan: A adalah bukan non-A. Ini tak lebih dari formulasi negatif dari penilaian positif yang dinyakan dalam yang pertama hukum logika formal. Bila A adalah A, berikutnya, menurut pemiran formal, bahwa A tak bisa menjadi non-A. Jadi Hukum logika formal kedua, hukum kontradiksi, membentuk tambahan esensial bagi hukum yang pertama. Beberapa contoh: seorang manusia tak bisa menjadi bukan manusia; Demokrasi tak bisa menjadi tidak demokrasi; seorang buruh tak bisa menjadi seorang buruh.
Hukum kontradiksi menyiratkan hasil perbedaan dari esensi benda-benda dan pikiran tentang benda-benda. Bila A selalu perlu identik dengan dirinya, tak bisa berbeda dari dirinya. Perbedaan dan persamaan adalah, menurut dua aturan logika ini, berbeda sekali, benar-benar tak berhubungan, karakter ekslusif saling menunjang dari baik benda-benda maupun pikiran-pikiran.
Kwalitas ekslusif saling menunjang dari benda-benda hukum pertukaran nilai-nilai persamaan membentuk pondasi dari masyara¬kat pemroduksi komoditi.
”Ijinkan saku menempatkan suatu contoh menarik dari jenis pemikiran ini berasal dari tulisan-tulisan Aristoteles. di dalam Posterior Abalytics (Buku I; bab 33, hal, 158), Aristoteles berkata bahwa seorang tak bisa secara simultan memahaminya, bahwa manusia secara esensial adalah binatang-and kedua, bahwa manusia secara esensial bukan binatang, itulah, mungkin menganggap bahwa dia lain daripada binatang. Begitulah, seorang manusia secara esensial seorang manusia dan tak pernah bisa atau berpikir tak menjadi seorang manusia. ”
”Ini pasti tentulah menurut diktat dari hukum logika for¬mal. Kini kita semua tahu ternyata bertentangan dengan fakta. Teori evolusi alam mengajarkan bahwa manusia secara esensial adalah binatang dan tak bisa lain daripada binatang. Secara logis berbicara, manusia adalah seekor binatang. Namun kita tahu juga dari teori evousi sosial, yang merupakan kelanjutan dan perkem¬bangan dari evolusi binatang secara murni, bahwa manusia tak lebih dari dan lain dari seekor binatang. Dengan kata lain, dia secara esensial bukan seekor binatang melainkan manusia, yang merupakan spesies mkhluk hidup yang sangat berbed dari semua binatang lainnya. Kita dan kita tahu bahwa kita, dua benda ekslusif yang saling bergantung pada satu dan saat yang sama, Aristoteles dan hukump-hukum secara ekspresif adalah catatan yang diambil dari dalam hukum ketiga dari logika formal. Ini adalah hukum pertengahan khusus. Menurut hukum ini, setiap benda adalaj dam pasti juga salah satu dari dua benda-benda ekslusif. Bila A sama dengan A, ia tak bisa sama dengan non-A. A tak bisa jadi bagain dari dua kelas yang berlawanan pada satu atau saat yang sama. Di mana saja dua pernyataan yang saling belrlawanan atau hubungan bermusuhan satu sama lain, baik itu mungkin benar atau juga salah. A adalah juga B atau ia bukan B. Kebenatran dari suatu pendapat menyiratkan ketidakbenaran kebalikannya.
”Hukum ketiga ini adalah suatu kombinasi dari dua pertama dan mengalir secara logis dari mereka. ”Ketiga hukum ini merupakan basis dari logika formal. Semua jawabanjawaban formal dihasilkan dari aturan dari proposisi-proposisi ini. Selama dua ratus tahun mereka merupakan aksioma tak terbantahkan dari sistim pikiran Aristoteles, hanya sebagai logika formal sebaliknya tak kokoh berdiri.

4. Isi Material dan Realitas Obyektif dari Hukum-Hukum Ini
”Kalian dapat lihat dari contoh ini bagaimana cepatnya dan spontaninatsnya karakter dialektis dari benda-benda dan pikiran-pikiran dari suatu pemahamn kritis dari pemikiran formal. Disamp¬ing tujuan-tujuan baik menekankan pandangan saya terhadap logika formal, kalian akan meneliti bahwa saya membuat langkah kepada batasan-batasan dari logika itu momen yang aku inginkan mendap¬tkan kebenaran dari benda-benda. Sekarang mari kita kembali kepada daerah logika formal."
”Aku menyatakan sebelum para ahli dialetika moderen tak membantah semua kebenaran terhadap hukum logika formal. Semacam suatu sikap akan berbalik kepada ruh dialektika yang melihat beberapa elemen dari kebenaran dalam semua penilaian. Pada saat yang sama dialektika membuat kita bisa mendeteksi pembatasan-pembatasan dan kesalahan-kesalahan dalam memformulasikan pemikiran tentang benda-benda.
”Hukum logika formal berisi elemen yang terbantahkan dan penting dari kebenaran. Mereka merupakan generalisasi-generalisa¬si,bukan ide-ide murni yang digabung dari entah di mana dan tiada. Mereka tidak dibentuk atas proses pemikiran dan atas dunia nyata oleh Aristoteles dan para pengikutnya dan lalu membudak meniru selam ratusan tahun sesudhnya. Milyaran orangtak pernah mendengar tentang Aristoteles atau pikiran tentang logika berpi¬kir dan masih berpikir dalam kepatuhan kepada hukum yang ia formulakan pertama. Dalam seperti gaya semua tubuh jatuh paling tidak menurut hukum gerak Newton meskipun, kecuali bagi tubuh manusia, mereka tak memahami teori-teorinya. Mengapa orang berpi¬kir dan benda-benda bertindak dalam dunia obyektif sejlan dengan generalisasi-generalisasi teoritis dari Aristoteles dan Newton? Karena alam esensial dari realitas membuat mereka berpikir dan bertindak demikian. Hukum-hukum pemikiran Aristoteles memilki banyak isi material dan sebanyak suatu basis dalam dunia obyek¬tif sebgaimnana hukum-hukum gerak mekanis Newton."... metode pemikiran kita baik formal maupun dialektika,, bukan konstruksi arbitrer dari rasio kita namun cenderung ekspresi dari antar hubungan nyata dalam alam itu sendiri." (Trotsky, In Defense of Marxism, hlm. 84.).
”Karakteristik realitas material apa yang direfleksikan dan direproduksi secara konseptual dalam hukum-hukum pemikiran for¬mal? Hukum identitas merumuskan fakta-fakta material yang memba¬tasi benda-benda, kwalitas khusus benda-benda, melanjutkan dan mengutamkan kesamaan yang dapat dikenal diantara semua perubahan-perubahan fenomenal mereka. Di manapun kontinyuitas yang esensial berada dalam realitas, hukum identitas dapat diterapkan.
”Kita tak bisa bertindak ataupun berpikir secara benar tanpa secara sadar dan tidak sadar mematuhi hukum ini. Bila kita tidak bisa mengenal diri kita sendiri sebagai orang yang sama dari momen ke momen dari hari ke hari -dan ada orang-orang yang tak bisa, yang lewat amnesia atau gangguan mental yang lain kehilan¬gan kesadaran identias diri mereka -kita akan hilang. namun hukum identitas tak kurang rasional bagi dunia daripada untuk kesadaran manusia. Ia diterapkan setiap hari dan di mana saja bagi kehidupan sosial. Bila kita tidak dapat menal bagian yang sama dari metal lewat aneka ragam operasi, kita tak bisa menda¬patkan begitu jauh dengan produksi. Bila seorang petani tak bisa mengikuti jagung yang ia rawat dari kecil hingga besar dan kemu¬dian sewaktu makan, pertanian tak akan mungkin.
”Anak kecil mengambil suatu langkah besar dalam memahami alam dunia ketika berhasil memahami untuk pertamakalinya kenya¬taan bahwa sang bunda mnyuapinya merupakan orang yang sama lewat aneka ragam tindakan menyuapi. Pengenalan kebenaranini tak lain adalah kemampuan khusu pengenalan hukum identitas.
”Bila kita tak bisa bilang apakan suatu kondisi pekerja lewat semua perubahannya, kita dapat dengan mudah keluar dari jalur yang benar dddalam lingkaran-lingkaran rumit dari perjuangan kleas kontemporer. Kenyataannya, kaum oposisi borjuis kecil salah dalam melihat masalah Rusia, bukan hanya menentang dialetika, namunterutama karena mereka tidak bisa secara benar menerapkan hukum identitas dalam proses perkembangan Uni Soviet. Mereka tak melihat itu, disamping segala perubahan dalam USSR dihasilkan oleh degenarari dibawah rejim politik Stalinis, Uni Soviet memil¬ki fondasi ekonomi dari kondisi pekerja yang diciptakan oleh kaum buruh dan Tani lewat Revolusi Oktober.
”Klasifikasi yang benar, muncul dari perbandingan kemiripan dan ketidakmiripan, adalah basis yang perlu dan tahap pertama dalri semua penelitian ilmiah. Kelasifikasi dan, penempatan benda-benda dalam kelas-kelas yang sama dan pemisahan dari benda-benda yang lain dan pengelompokkan dalam klsa-kelas yang berbeda, tak akan mungkin tanpa hukum identitias. Teori revolusi organi bera¬sal dalam dan bergantung pada pengenalan dari identias esensial dari semua makhluk yang berbeda di bumi ini. Hukum gerak mekanis Newton berasal dari suatu kepala tunggal semua gerakan-gerakan masa, dari batu yang jatuh ke planet-planet yang berutar dalam sistem solar. Semua ilmu sebagaimana semua tindakan yang cerdas bersandar didalam sebagian atas hukum identitas ini.
”Hukum identitas mengarahkan kita mengenal kemiripan diantara perbedaan, permanen diantara perubahan-perubahan, menyatukan kemiripan-kemiripan dasar diantara bentuk-bentuk yang berbeda dan terpisah dengan nyata, membuka ikatan-ikatan nyata dari keatuan antara mereka, melacak hubungan0hubungan antara fase-fase yang berbeda dan ikut dalam tatanan rapi tetap ari fenomena yang sama. Itulah mengapa penemua dan peningkatan hukum ini begitu hebat dialam sejarah pemikran ilmiah dan mengapa kita tetap menghargai Aristoteles bagi pemahaman siknifikansi kekhususannya. Itu juga mengapa umat manusia terus bertindak dan berpikir menurut hukum dasar logika formal ini.
"Apa yang begita khas dialam hukum identitas ini?" Kalian bisa bertanya. Ia berkata tak lebih daripada fakta-fakta yang jelas bahwa "suatu benda adalah benda," atau "ini adalah ini."
”Sebaliknya hukum ini tidak begitu membuktikan ataupun begitu kecil seperti yang tampak pada sisi pertama. Adalah sangat penting bahwa hukum yang momentum secara tepat dinilai dan signifikansi historis dari penemuannya dipahami.
”Adalah suatu kemajuan besar dalam pengetahuan dunia ketika manusia menemukan bahwa awan, uap, hujan, es semuanya adalah air atau bahwa surga dan dunia-sampai sekarang diyakini sebagai subtansi yang berlawanan dan berbeda-adakbenar-benar satu dan sama. Ilmu biologi berevolusi dengan penemuan bahwa semua tingkat makhluk hidup antara organisme satu sel dan manusia terdiri dari subtansi yang sama. Ilmu fisika berevolusi dengan demontrasi bahwa semua bentuk gerakan material dapat berubah ke dalam suatu yang lain dan hadir secara esensial identik.
”Tidakkah langkah yang menakjubkan kemajuan dalam pemahaman sosial dan poitis ketika seorang pekerja menemukann pada satu sisi bahwa seorang pekerja upahan apadalah seorng pekerja upahan, dan di lain sisi bahwa kapitalis adalah kapitalis? Dan bahwa di mana-mana memilki kepentingan kelas yang sama dan mengatasi semua batas-batas pabrik, nasional dan ras. Jadi suaatu pengena¬lan dari kebenaran tercakup didalam hukum identitas adalah suatu syarat yang perlu untuk menjadi seorang sosialis revolusioner.
”Adalah suatu hal, bagaimanapun, mematuhi suatu hukum dan menggunakannya dan begitu suatu hal yang berbeda meahami dan merumuskan nya dalam suatu yang ilmiah. Setiap orang makan sesuai hukuk fisiologis tertentu, namun mereka tidak tahu hukum digesi apa dan bagaimana mereka bekerja. Adalah sama dengan hkum logi¬ka. Setiap orang berpikir, namun tak semua orang tahu hukum apa yang mengatur aktivitas pemirannya. adalah warisan gemilang Aristoteles bahwa ia membuat dengan eksplisit dan mengekspresi¬kannya dalam istilah-istilah logis hukum identitas ini yang mengalir lewat proses pikiran kita.
”Hukum kontradiksi merumuskan kenyataan material yang memban¬tu keberadaan benda-benda dan macam-macam benda, atau keadaan dari benda yang sama yang bertalian, berbeda dari dan saling meniadakan. Nyatalah saya bukan jenis yang sama dari manusia seperti kalian; saya benar-benar berbeda. Juga saya bukan orang yang sama dari saya yang kemarin; saya berbeda. Uni Soviet tidak¬lah sama dengan negara-negara yang lain, tidak juga sama dengannya 20 tahun yang lalu. Ia berbeda.”
”Hukum formal dari kontradiksi, atau melihat perbedaan, adalah perlu bagi kelasifikasi sebagaimana hukum identitas. Di samping itu, tanpa keberadaan dari perbedaan-perbedaan tak akan ada kebutuhan bagi kelasifikasi.”
”Hukum formal dari pengggabungan memperlihatkan kenyataan bahwa benda-benda saling bertentangan dan meniadakan yang saling bergantung di dalam realitas. Saya selain adalah saya sendiri juga orang yang lain; hari ini saya sama atau berbeda dari saya yang kemarin. Uni Soviet sama atau berbeda dari negara-negara yagn lain; tidaklah bisa keduanya di dalam waktu yang sama. SAya seorang manusia atau binatang; saya tak bisa keduanya secara simultan dan dalam arti yang sama.
”Jadi hukum logika formal memperlihatkan gambaran yang mewa¬kili dunia nyata. Mereka memilki suatu isi material dan suatu basisi obyektif. Mereka pada suatu dan waktu yang sama hukum berpikir, dari masyarakat, dan dari alam. Tiga hukum ini memberi¬kannya suatu karakter universal.
”Tiga hukum itu kita konsentrasikan pada bukan perwujudan seluruh logika formal. Mereka secara sederhana membentuk dasar-dasarnya. Pada basis ini dan darinya muncul suatu struktur kom¬pleks dari ilmu logika yang teruji dengan cermat elemen-elemen dan mekanisme-mekanisme dari bentuk-bentuk berpikir. Namun kita harus tidak masuk kedlam suatu diskusi aneka ragam kategori-kategori, bentuk-bentuk preposisi, pendapat-pendapat, silogisme, dsb, yang menentukan isi tubuh dari logika formal. Ini dapat ditemukan dalam tiap buku logika dasar tidak cocok dengan tujuan kita kini. Kita secara prinsipil memperhatikan pemahaman ide-ide esensial dari logika formal, bukan perkembangan detelnya.

5. Logika formal dan Cara Pikir Umum
Di dalam lingkaran-lingkaran intelektual cara pikir umum berlangsung dalam penghargaan yang tinggi sebagai suatu metode berpikir dan sebagai pedoman untuk aksi. Hanya ilmu berdiri diatas nya dalam hirarki nilai. Adalah atas nama caea pikir umum dan ilmu, contohnya, bahwa Max Eastman menyarankan kaum marxis membuang dialektika metafisik dan mistik. Sayangnya, para ideolog borjuis kecil dan borjuis jarang memberitahu kita terdiri dari apa isi logis dari cara pikir umum itu dan hubungan apa yang ada antara cara pikir umum dan ilmu mereka.
Kita disini harus melakukan tugas tersebut bagi mereka, pada kenyataanya para anti dislektika tak hanya tahu apa dialektika itu. Bahkan mereka tak tahlu apa sesungguhnya logika formal itu. Ini tak mengejutkan. Tahukah kaum kapitalis apa itu kapitalisme, apa hukumnya, bagaimana hukum-hukum ini perlu bekerja? Bila melakukannya, mereka tak akan tidak sadar oleh krisis-krisis dan perang-perangnya, tidak juga begitu yakin akan keabadian sistim berharga mereka. Pasti kaum Stalinis tak tahu apa sesungguhnya stalinisme dan apa perlunya memimpin. Bila mereka melakukan, mereka tak lagi jadi kaum stalinis namun jadi cara mereka menjadi sesuatu yang lain.
”Sejauh cara pikir umum memilki karakteristik yang sistima¬tis, logis, mereka dibuat dari hukum logika formal. Cara pikir umum dapat didefinisikan sebagai versi tak sistimatis dan seten¬gah sadar dari logika formal. Ide-ide dan metode-metode logika formal digunakan sampai kini selama berabad-abad dan menjadi begitu terjalin di dalam proses berpikir kita dan dalam susunan peradaban yang bagi kebanyakan orang yang mereka rasa eksklusif, normal, cara berpikir alamiah. Konsepsi dan mekanisme logika formal, seperti silogisme, adalah alat-alat berpikir sefamiliar dan seumum seperti pisau-pisau dan alat-alat yang lain.
”Kalian tahu bahwa kaum borjuis percaya bahwa masyarakat kapitalis adalah abadi, mereka bilang, beradaptasi terhadap alam manusia yang tak berubah. Sosialisme, mereka bilang, adalah tidak mungkin atau tak dapat cocok karena manusia akan selaluterbagi ke dalam kelas-kelas yang bertentangan, kaya dan miskin, kuat dan lemah, penguasuai dan yang dikuasai, bermilik dan tak punya, dan kelas-kelas ini akan selalu bergulat sampai mati demi hal-hal yang baik dari kehidupan. Suatu bentuk organisasi sosial di mana tak ada kelas-kelas, di mana pemerintahan terpimpin sebagai pengganti anarki, di mana yang lemah dilindungi melawan yang kuat, di mana solidaritas berkuasa daripada perjuangan barbar, muncul puncak absurditas untuk mereka. Mereka meisahkan semacam ide-ide sosia¬lis sebagai fantasi-fantasi kaum utopis, harapan-harapan orang-orang malas.

6. Keterbatasan Logika Formal
”Pada pelajaran pertama kita menghadapi tiga persoalan:
1. Apa itu logika? Kita mengartikan logika sebagai ilmu tentang proses berpikir dalam hubungannya dengan semua proses lain di alam. Telah kita kenal dua sistem utama tentang logika: logika formal dan logika dialektik.
2. Apa itu logika formal? Kita menganggap logika formal adalah pemikiran yang didomunasi oleh hukum identitas, kontradiksi, dan perpaduan dari keduanya. Kita tekankan bahwa ketiga hukum fundamental dalam logika formal ini memiliki nilai material dan landasan objektif: bahwa ketigan¬ya adalah formulasi nyata dari logika pemikiran umum: mereka merupakan aturan-aturan berpikir yang tersebar luas dalam alam borjuis.
”Apakah hubungan antara logika formal dengan logika dialek¬tik? Dua sistem logika ini tumbuh dari dan berhubungan dengan dua tahap yang berbeda dalam perkembangan ilmu berpikir. Logika formal berjalan secara dialektis dalam perubahan logika yang historis, yang pada umumnya berjalan dalam perkembangan intelek¬tual dari individu-individu. Lalu, dialektika muncul dari pandan¬gan kritis terhadap logika formal; membuang dan menggantinya sebagai lawan revolusioner, successor, dan pemenangnya.
”Dalam pelajaran kedua ini, kita berusaha memblejeti keterba¬tasan-keterbatasan logika formal, dan memperlihatkan bagaimana dialektik muncul dari pengujian kritis terhadap ide-ide fundamen¬talnya. Sekarang kita telah mengerti apa landasan hukum dari logika formal itu, apa yang mereka refleksikan dalam realitas, mengapa mereka menjadi alat berpikir yang penting dan berharga; kita harus melewati satu tahap selanjutnya dan mencari tahu apa yang bukan termasuk hukum logika formal: ciri-ciri realitas apa yang mereka tolak dan putar balikkan? Dan di mana kegunaan mereka berakhir, dan di mana ketidak bergunaannya bermula
”Tahap investigasi kita selanjutnya tidak akan sepenuhnya memunculkan hasil negatif. Sebaliknya, justru akan tercipta hasil yang positif. Setelah kelemahan dari logika formal dikemu¬kakan, bersamaan dengan itu akan tampak kebutuhan dan karakteris¬tik utama dari gagasan tentang logika yang baru untuk menggantikannya.
”Logika formal dimulai dengan pernyataan bahwa A adalah selalu sama dengan A. Kita tahu bahwa hukum identitas ini mengan¬dung kebenaran, jika ia mampu berfungsi penting dalam setiap pemikiran ilmiah dan selalu kita gunakan dalam aktivitas sehari-sehari. Tapi seberapa jauh kebenaran hukum ini? Apakah ia akan selalu dapat dipercaya untuk dijadikan pedoman yang menyeluruh dalam proses realitas yang kompleks? Di sinilah pertanyaannnya.
”Pembuktian terhadap kebenaran atau kesalahan tiap pernyataan adalah melalui pendekatan terhadap realitas objektif, dan melihat dalam praktek, apakah dan sampai tingkatan mana, isi konkrit yang dikemukakan dalam pernyataan dapat dijadikan contoh. Jika isi yang berhubungan dengan pernyataan dapat diterapkan dalam reali¬tas, maka berarti ia memiliki kebenaran, jika tidak maka pernya¬taan itu salah.
”Di manapun kita menghadapi suatu kenyataan yang benar-benar exist, dan menelaah karakternya, kita temukan bahwa A tidak pernah sama dengan A. Trotsky berkata: "jika kita mengamati kedua huruf itu dengan kaca pembesar, kita akan lihat bahwa ke¬duanya berbeda satu sama lain. Tapi akan muncul sanggahan: pernmasalahan bukanlah pada bentuk atau ukuran dari hurufnya, mereka toh hanya simbol dari kuantitas yang sama, misalnya satu pon gula. Sanggahan itu di luar konteks, pada kenyataannya satu pon gula tidak pernah sama dengan satu pon gula --selalu tak tertutup perbedaan. Sekali lagi akan muncul sanggahan: satu pon gula pasti selalu sama dengan dirinya sendiri. Ini nonsens. Segala sesuatu senantiasa berubah, dalam ukuran, berat, warna, dll. Mereka tidak pernah sama dengan dirinya sendiri. Seorang romantis akan menjawab bahwa kapanpun dan di manapun satu pon gula akan sama dengan dirinya.
”Di luar dari praktek nilai aksiom yang mendua, praktek itu tidak memiliki kritik teoritik. Bagaimana kita benar-benar men¬gerti makna 'keadaan'? Jika 'keadaan' diartikan sebagai suatu interval waktu yang kecil sekali, maka satu pon gula yang kita maksud ada dalam satu keadaan menuju perubahan yang tak terelak¬kan. Apakah pengertian 'keadaan' adalah murni suatu abstraksi matematis, yaitu besaran waktu yang kosong? Segala sesuatu eksis dalam konteks waktu, karena itu sebagai konsekwensinya, waktu adalah elemen dasar dari keberadaan/eksistensi. Jadi, aksioma A=A menunjukkan bahwa satu hal sama dengan dirinya,jika ia tidak mengalami perubahan, yaitu: jika ia tidak exist" (In Defense of Marxism, hal.49).
”Dalam hal ini, para pengikut logika formal mencoba membela diri dengan berkata: jika benar bahwa logika formal tidak dapat diterapkan dengan teliti dan tepat untuk tiap hal yang ada, hal itu tidaklah menghapuskan hal-hal berharga dari prinsip/aturan yang dimilikinya. Walaupun tidak berhubungan langsung dan menye¬luruh dengan realitas, generalisasi ideal ini benar di dalam "dirinya" tanpa mengacu pada realitas, maka ia adalah pedoman untuk pemikiran langsung sepanjang alur yang benar. Posisi ini tidak menghapuskan kontradiksi, malah mempertegasnya. Jika (seperti kata mereka) hukum identitas adalah benar jika tanpa penerapan, maka akibatnya jika ia diterapkan dalam satu keadaan konkrit di manapun, ia akan menjadi sumber kekacauan.
”Seperti ungkapan Trotsky:"aksioma A=A muncul, di satu pihak sebagai titik perkembangan ilmu pengetahuan, tapi di pihak lain juga sebagai pusat pekembangan kekeliruan dalam ilmu pengetahuan kita sendiri." (In Defense of Marxism, hal.49). Bagaimana mungkin satu hukum yang sama mampu menjadi sumber pengetahuan sekaligus sumber kekeliruan? Kontradiksi ini dapat dijelaskan dengan kenya¬taan bahwa hukum identitas memiliki dua sisi karakter. Keduanya sekaligus memiliki kebenaran dan kesalahan. Ia memiliki kebenaran sejauh ia dapat dianggap pasti dan tak dapat diubah, atau sejauh tingkat perubahan mereka dapat diabaikan/tak perlu diperhatikan. Sehingga, hukum identitas memberikan akibat yang benar hanya dalam batas-batas tertentu. Batasan ini di satu sisi diberikan oleh karakter inti yang ditunjukkan oleh perkembangan aktual dari objek permasalahan, di sisi lain oleh maksud -tujuan praktis.
”Sekali batasan khusus ini dilanggar, hukum identitas tidak akan mampu mengakomodir, lalu berubah menjadi kekeliruan. Semakin jauh proses perkembangan melampaui batasan ini, semakin jauh hukum identitas itu dari kebenaran. Maka hukum-hukum lainnya harus diupayakan dan dipakai untuk memperbaiki kekeriuan yang diprakarsai hukum yang tak sempurna, dan mengatasi hubungan-hubungan yang lebih baru dan kompleks."
”Ada beberapa contoh. Dari Albany ke New York, sungai Hudson jelas sama dengan dirinya dan berbeda dengan alur air lainnya. A selalu sama dengan A. Tapi dengan batasan yang ada akan bertambah sulit untuk membedakan sungai Hudson dengan alur air lainnya. Di hulunya di pelabuhan New York, sungai Hudson kehilangan identi¬tasnya dan semakin menyatu dengan laut Atlantik. Di sumber airn¬ya, sungai Hudson terpecah menjadi sumber dan aliran terpisah, yang, walaupun mereka turut membentuk Hudson, namun masing-masing memiliki identitas khusus dan eksistensi material sendiri, berbe¬da dari sungainya sendiri. Jadi, keduanya mengakhiri anggapan kesamaan identitas yang dianggap dimiliki oleh sungai Hudson.
”Kesamaan kehilangan identitas terjadi terus sepanjang pem¬bentukan sungai. Ruang identitas dari sungai selalu dipertahankan dan didefinisikan oleh tebing-tebing darimana airnya muncul. Tapi, ketika sungai meninggi atau menjadi lebih rendah, atau mengalami erosi, tebing-tebing ini berubah. Hujan dan banjir mengubah batas-batas yang ada secara permanen atau temporer sejauh bermil-mil. Bahkan walaupun bentuk ruang-ruang sungai tetap sama, tidak akan pernah diisi oleh air yang sama. Tiap tetes berbeda. Sungai Hudson terus mengubah identitas dirinya setiap waktu.
”Atau bisa kita ambil contoh uang dolaran yang dikemukakan oleh Trotsky. Kita biasanya mengasumsikan, dan selalu bertindak sesuai asumsi itu, bahwa satu dollar adalah satu dollar. A=A. Tapi kini kita telah mentadari bahwa satu dollar kini nilainya berbeda dari satu dollar sebelumnya. Telah terjadi penurunan nilai dollar. Nilai beli dollar tahun 1942 sama dengan nilai beli dollar 1929 (Dollar 1963 berharga 40,8 sen dari dollar 1939).
”Kelihatannya memang seperti dollar yang sama--hukum identi¬tas masih diterapkan--namun pada saat yang sama, dollar mulai mengubah identitas dengan pengurangan nilainya.
”Pada tahun 1923, orang Jerman menemukan bahwa mata uang Deutsche Mark yang sejak 1825 nilainya sama dengan 23 sen emas, telah menjadi tidak berharga, menjadi bernilai nol, akibat infla¬si. A, yang selama hampir setengah abad sama dengan A, mendadak berubah menjadi sama dengan bukan A. Sepanjang proses inflasi, A berubah ke arah yang berlawanan. Yang tadinya bernilai, kehilan¬gan nilainya.
"Setiap buruh mengetahui bahwa tidaklah mungkin menciptakan dua objek yang persis sama. Dalam pembuatan kerucut dari kunin¬gan, misalnya, selalu ada penyimpangan-penyimpangan kecil dalam prosesnya. Sampai batas tertentu penyimpangan ini masih dapat ditolerir. Dengan memperhatikan batas-batas toleransi ini, keru¬cut-kerucut kuningan ini dianggap sama (A=A). Jika batas-toleran¬si dilewati, kualitas barang mulai terganggu, dengan kata laim kerucut kuningan menjadi tidak berharga lagi.
”Pemikiran ilmiah kita hanyalah sebagian dari seluruh praktek kita, termasuk juga teknik-teknik. Untuk konsep selalu ada toler¬ansi/pembolehan-pembolehan, yang dikembangkan bukan oleh logika formal (dari pernyataan A=A), tapi oleh logika dialektis dengan aksioma bahwa segala sesuatu itu berubah. Gagasan umum (common sense) dianggap sebagai kenyataan bahwa ia ada di luar toleransi dari dialektika." (In Defense of Marxism, hal. 50).
Pada saat batas kesalahan masih dapat dipertimbangkan, hukum-hukum pada logika formal dapat mengakomodir, namun ketika toleransi yang lebih besar diperlukan, perangkat baru harus diciptakan dan digunakan. Dalam lingkup produksi intelektualitas, perangkat ini adalah gagasan logika dialektis.
Hukum identitas dapat mencapai toleransi dialektis dalam dua arah yang berlawanan. Sama seperti toleransi selalu memiliki tidak satu namun dua batas, maksimum dan minimum, maka hukum identitas terus mencapai toleransi dengan menjadi lebih atau kurang berlaku lagi. Jika, sebagai contoh, penyebab dari deflasi, nilai satu dollar meningkat dua kali lipat, maka A tidak sama lagi dengan A, tapi lebih besar dari A. Jika selama inflasi nilai dollar menurun setengahnya, maka sekali lagi A tidak sama dengan A, namun lebih kecil dari A. Kesimpulannya, hukum identitas tidak lagi selalu benar, namun terus menunjukkan kekeliruannya, menurut jumlah dan sifat-sifat khusus dari perubahan nilai. A tidak sama dengan A, namun juga bisa sama dengan 2A, atau dengan 1/2A.
Perhatikanlah, kita mulai dengan A,dengan teliti, melalui hukum identitas. Hanya ada A, tidak ada yang lain. Lalu kita akan kerap kembali pada kontradiksi: adalah benar bahwa A=A; juga benar bahwa A tidak sama dengan A. A bisa sama dengan 2A atau 1/2A.
Itulah petunjuk sifat sejati dari A. A tidaklah sesederhana itu; logika formal yang menjadikannya suatu kategori yang kaku dan tak bisa diubah, dan hanya itulah yang bisa tampak dari A. Dalam kenyataannya A ternyata lebih kompleks dan kontradiktif. Kita bukan hanya berhadapan dengan A, tapi juga dengan hal-hal lain. Karena itu A bisa menjadi sangat berbeda dan tak terduga. Kita takkan bisa benar-benar" memegang" A, karena begitu kita coba meraihnya, ia akan berkelit dan berubah menjadi sesuatu yang berbeda.
Kalau begitu akan muncul pertanyaan: apakah A itu sebenarn¬ya, jika ia bukan A" dirinya"? Jawaban dialektis adalah A adalah A dan sekaligus non-A. Jika kita memahami A hanya sebagai A, seperti yang dilakukan para pengikut logika formal, kita hanya akan melihat satu sisi semata dari A, dan tidak sisi lainnya, sisi negatif dari A. A sebagai A saja, adalah suatu abstraksi yang tidak,akan pernah muncul dalam realitas. Ia baru menjadi satu abstraksi yang berguna, hanya sepanjang kita mengerti dan tidak melampaui batasannya, demi pengertian penuh terhadap setiap hal. Hukum identitas ini masih bisa dipakai untuk aktivitas dan pemikiran rutin sehari-hari, namun ia harus digantikan oleh hukum-hukumyang lebih kompleks dan menyeluruh, di mana semua proses yang rumit dan panjang, terlibat.
Seorang operator mesin akan dengan mudah mempertanyakan mengapa hukum-hukum ini hanya memiliki satu batasan. Apakah ia bisa dipakai untuk semua alat dan mesin? Satu hal hanya cocok untuk satu kondisi tertentu dan satu jenis operasi tertentu; gergaji untuk memotong, mesin bubut untuk untuk membubut, gurdi untuk menahan. Dalam tiap tahap proses produksi industri, para buruh menangani batas-batas intrinsik dalam tiap alat dan mesin. Mereka mengatasi permasalahan dalam proses kerja mereka dengan dua cara, dengan mengganti mesinnya atau dengan mengkombinasikan alat-alat yang berbeda untuk membentuk satu proses yang sama dalam produksi. Operasi mesin bubut merupakan contoh yang paling akurat.
Berpikir pada intinya adalah proses produksi intelektual, dan keterbatasan dalam berpikir dapat diatasi dengan cara yang sama. Ketika kita memutuskan untuk berlogika formal, ternyata dalam pelaksanaannya kita tetap harus menggunakan hukum-hukum logika lainnya, atau mengkombinasikan hukum-hukum lama dengan cara baru untuk mendapatkan kebenaran. Di sinilah logika dialek¬tis bermain. Sewaktu kita memakai mesin yang lebih canggih, ataupun merangkai mesin untuk proses produksi, maka kita menghen¬daki hasil yang lebih tepat dan langsung dalam proses produksi intelektual, kita pasti menerapkan gagasan logika dialektik yang telah dikembangkan.
Sekarang, jika kita kembali ke persamaan abstrak kita yang dulu, A=A, kita amati bahwa ia telah mengalami perubahan yang amat kontradiktif. A sendiri telah membedakan dirinya. Dengan kata lain, A selalu berubah-berubah dengan cara yang berbeda pula. A selalu menjadi lebih atau kurang dari dirinya semula, selalu mendekati atau menjauhi dirinya.
”Kini terlihat point utamanya, dalam proses menyadari atau kehilangan identitasnya, di mana A menjadi sesuatu yang berbeda dari awalnya dahulu. Jika kita menambah atau mengurangi sesuatu dari A, kualitas awalnya akan berubah menjadi sesuatu yang lain, satu kualitas yang baru. Pada keadaan di mana A kehilangan iden-titasnya, hukum identitas, yang selama ini berlaku dan dianut, ternyata menjadi salah sama sekali.
Sungai Hudson kehilangan identitasnya dan menjadi bagian bagian dari laut Atlantik; mark Jerman bukanlah mark Jerman lagi, tapi telah menjadi satu kertas tak berharga; kerucut kuningan bukannya menjadi satu dengan mesin, tapi berubah menjadi satu logam berbentuk. Dalam bahasa aljabar, A menjadi non-A. Dalam bahasa dialektis, perubahan kuantitatif merubah hal yang lama dan membawa kualitas yang baru. Untuk menentukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar