Senin, 07 Februari 2011

KELUPAAN

Kebarbaran: Walter Benjamin dan Sejarah Ingatan akan Penderitaan
Oleh Suhendra

KELUPAAN menuntun ke pembuangan. Ingatan mempercepat keselamatan (J. Moltmann)
Siapa lupa akan apa yang indah, dia akan jadi jahat. Siapa lupa akan apa yang jelek, dia akan jadi bodoh (Erich Kastner).

Fakta kekerasan dalam arung kehidupan manusia sehari-sehari memang bukan hal yang asing atau baru lagi. Sejak awal kehidupan pun (Kain membunuh Habil) kekerasan telah bersemayam dalam keseluruhan hidup manusia. Tak heran, jikalau dalam agama-agama besar pun ada kekerasan didalamnya. Sejak PD II hingga saat ini, fakta kekerasan masih bersemayam dalam diri kehidupan manusia, meskipun toh kita (mungkin) masih percaya bahwa tidak satu pun diantara kita, masyarakat dan kebudayaan manusia manapun yang mengidealkan kekerasan pada dirinya sendiri. Sadar atau tidak, sejak kecil-pun kita telah disuguhkan dengan fakta kekerasan. Semisal, berupa larangan, perintah atau hukuman dari orang-orang yang merasa mempunyai otoritas lebih tinggi (guru dan orang tua). Bahkan menurut Hobbes (1588-1679) sendiri, keadaan alamiah manusia memangkeras. Keadaan alamiah manusia penuh diliputi oleh dorongan-dorongan irrasional, anarkistis dan mekanistik. Mereka saling mengiri dan membenci, sehinga menjadi jahat, kasar dan pendek pikir. Ini bisa jadi demikian, menurut Hobbes karena memang ada sifat-sifat yang sudah melekat dalam diri kita semenjak lahir: persaingan, pertahanan diri dan keinginan untuk dihormati. Oleh karena ketiga sifat itu, manusia cenderung untuk bersifat menguasai, egois dan selalu ingin menang. Alhasil manusia memang dianugerahi peluang yang amat besar untuk bersikap atau berpola laku buas bahkan barbar. Segera kita diingatkan oleh perkataan Hobbes: "Homo Homini Lupus" dan "Bellum omnium contra omnes".

Sama pula dirasakan oleh Schopenhauer (1788-1860) [1]. Yaitu sikap pesimismenya tentang gambaran-gambaran kekerasan, yang mengakibatkan manusia menjadi menderita. Baginya segala sesuatu merupakan wujud dari kehendak. Kehendak ibarat orang buta yang kuat, yang dapat mengangkat seorang lumpuh yang dapat melihat.Juga katanya, manusia tidak didorong oleh kesadarannya, melainkan oleh kehendak yang tidak sadar, yaitu kehendak untuk hidup.

Meskipun toh kehendak itu tak terhingga, namun peluang-peluang untuk melampias-kan kepuasannya semata-mata adalah terbatas. Akibatnya menusia menjadi frustrasi. Justru lantaran hal inilah yang akhirnya dapat memungkinkan timbulnya kekerasan. Manusia satu sama lain diliputi oleh kekerasan. Mereka saling memekan dan dimakan. Namun berbeda dengan John Locke (1632-1704). Baginya keadaan alamiah manusia adalah sebagai mahluk yang bahagia, yang rasional dan toleran. Semua manusia itu sama dan bebas mengupayakan "life, health, liberty, and possessions". Senada dengan Locke, Rosseau berpendapat, dalam keadaan alamiahnya, manusia adalah polos, tidak egois, tapi juga tidak altruis. Justru oleh karena rantai peradaban, atau lingkungan, situasi manusia itu sendiri-lah yang membentuk manusia menjadi "binatang" yang memiliki sifat menyerang, seperti keadaannya saat ini. Mungkin terhadap Locke, maupun Rosseau sendiri kita lupa, bahkan mereka tidak pernah memaksudkan 'pandangan'nya sebagai cermin riil yang sebenarnya. Bisa saja, 'pandangan' mereka sekedar dapat kita terima, tapi penerimaan itu tidak sekedar otomatis menjadi "komitmen" setiap orang.

Kekerasaan memang telah menjadi tradisi yang teramat sulit untuk dilenyapkan dalam diri manusia. Lagi-lagi sadar atau tidak, kita saat ini tumbuh besar dalam keniscayaan bahwa kekerasan dalam kehidupan manusia umumnya adalah salah satu cara paling efektif untuk melampiaskan tujuan (baca: nafsu). Fakta kekerasan tidak selalu dapat dideteksi. Kerapkali, si korban kekerasan tidak tahu menahu apa-apa. Mereka tidak berhubungan langsung dengan si pelaku. Si korban hanyalah menjadi sarana pelampiasan. Sering kali terlihat si korban juga tidak memiliki daya apa-apa, atau bahkan kesempatan untuk melawan. Ia sendiri tidak pernah tahu menahu apa yang menjadi kondisi negatif dari kekerasan itu. Oleh Rene Girard korban seperti ini diciri-cirikan sebagai "kambing hitam"(scape-goat) [2]. Juga, menurut Girard adanya aspek "peniruan"atau disebutnya "mimetic desire" [3] dalam diri manusia. Kekerasan dapat timbul ketika seseoran ingin meniru-niru prang lain, yang nota bene kondisinya berbeda dengan orang lain. Dalam kekerasan menurut Mary McCarthy, kita lupa siapa diri kita. Juga mungkin saudar-saudara kita ini lupa bahwa hidup mereka berharga. Semisal, yang telah menjadi diktum psikologis: "Oedipus Complex". Sebuah kisah tentang Oedipus yang membunuh ayahnya sendiri. Dalam kisah ini, kita tahu Oedipus mencintai ibunya dan berkeinginan agar dapat seperti ayahnya, yaitu sebagai suami dari ibunya tersebut. Timbul persaingan antara anak dengan ayah, yang sekaligus menyebabkan sang anak, Oedipus akhirnya membunuh ayahnya sendiri.

Bermula dari semacam keterlibatan, dan pengalaman memasuki pusat keprihatinan manusia: penderitaan. Walter Benjamin (1892-1940) [4] sendiri berjumpa, mengalami dan merasakan "getaran" panggilan nuraninya. Ia menjadi paham apa perutusan hidupnya, jati dirinya. Bagaikan seorang nabi, ia hendak menyampaikan sesuatu yang urgen bagi seluruh manusia. Bahwa menurutnya, ada sebuah :tradisi kecil" yang selama ini terlupakan, bahkan (sengaja) diabaikan orang saat ini. Betapa perahu biduk "tradisi kecil": Kisah-kisah (baca: pengala-man) mereka yang dibuang ddan disingkirkan semakin tenggelam dalam gelombang rekayasa penggelapan fakta. Kabut tebal penggelapan fakta bagi mereka-mereka yang kalah, tersingkir, terbuang dan yang menderita terus berpendar-pendar merasuki celah-celah lautan kehidupan kebudayaan masyarakat manusia. Juga Benjamin berihtiasr ingin membuka tbir adanya banyak "sampah yang disembunyikan dibawah karpet ideologi kemajuan". Yaitu sampah penderitaan. Sampah penderitaan bagi mereka yang mengalami penderitaan paksa, tanpa pernah tahu apa yang menjadi kondisi negatif dari penderitaan tersebut. Mereka-mereka yang kehilangan ruang gerak hidupnya, biasanya juga terancam akan kehilangan hak martanat hidupnya. Merka menjdi amat "ringkih". Mereka-mereka semakin tertinggal dan tergusur dari keberadaanya serta hak-hak kehidupannya. Akhirnya mereka-mereka dilupakan.

"Sesungguhnya, tidak ada catatan sejarah, tentang peradaban yang sekaligus tidak mencatat kebarbaran," ujar Benjamin [5]. Memang benar, siapapun tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa suatu bangsa atau kelompok manusia memiliki latar belakang sejarahkebarbaran yang tidak dapat dihapus dari eksistensi masa lalunya. Semisal, yang paling dekat dengan pengalaman Benjamin: peristiwa pembantaian orang-orang Yahudi oleh Hitler (NAZI). Juga jikalau hendak menunjuk pada gambaran kontemporer di Indonesia, tidak berlebihan, kita menengok pembantaian besar-besaran yang memakan korban kurang lebih hampir satu juta orang, saat terjadinya "konflik terbuka" antara PKI dan Angkatan Darat (G30S/PKI) [6], yang sudah pasti dan nota bene tidak kalah hebat, ngeri, mengesankan sekaligus mencekam bagi massa-rakyat Indonesia hingga saat ini.

Tentu kita masih ingat peristiwa yang hampir kuirang lebih terjadi 6 tahun yang lalu (1990), ketika sedang ramai-ramainya Operasi Esok Penuh Harapan yang dipromotori oleh Sudomo, ratusan pengasong berjalan kaki mendatangi DPR. Dengan pakaian yang lusuh, dan keringat membanjir seluruh tubuh, mereka berjalan berbondong-bondong, sambil membawa barang dagangan masing-masing. Saat itu ada salah satu poster yang dibawa bertuliskan, "Jalan macet dilonggarin, hidup macet diapain?" [7]

Tulisan seperti demikian yang kebanyakan desebut sebagai slogan bisa jadi sama sekali tidak mencerminkan nuansa heroik. Apa yang dialami dan dirasakan sebagai penderitaan itu samasekali tidak berbau keheroik-heroikan. Jauh dari gambar kepahlawanan yang sering kita saksikan dalam ritual upacara kenegaraan kita.

Memang, ungkapan seperti itu tidak (mungkin) bisa lahir tanpa latar belakang. Setiap orang mempunyai kemampuan mengingat atau memoria untuk selalu mengenang pengalaman-penngalaman pahit (kebarbaran) di masa lalu. Pengalaman-pengalaman mengalami, menjalani dan merasakan penderitaan paksa akan hidup terus menerus dalam ingatan. Ingatan (erinnerung) pahit akan masa lampau akan terkenang selama-lamanya. Terhadap ingatan mereka-mereka yang menderita, dikalahkan dan bernasib buruk, kurban sejarah itu dapat dipakai untuk mensiasati masa kini dan masa depan. Secara lebih tepat, menurut Benjamin masa lalu mereka-mereka yang menderitalah yang disebutnya sebagai sejarah ingatan akan penderitaan. Masa lalu yang belum terpenuhi, dapat terpenuhi dalam masa kini dan masa datang, jikalau ada sebuah konstelasi antara masa lampau dan masa kini.

Bagi orang yang "biasa-biasa saja, sejarah bukan sekedar merupakan bilangan tahun, waktu dan rangkaian kejadian. Namun sejarah mengandung catatan-catatan yang berpotensi guna menafsirkan masa kini dan masa depan. Dalam sejarah, kemampuan mengingat manusia tentang hal-hal di masa lalu tidaklah tanpa masalah dikaitkan erat dengan praktek hidup masa kini dan masa datang. Menurut Benjamin, memahami sejarah dengan ingatan berarti memahami sejarah sebagai sesuatu yang memiliki kaitannya bagi subyek yang mengingatnya di masa kini. Bahwa pwnderitaan di masa lalu itu menyimpan sesuatu yang masih harus dipecahkan oleh masa depan. Jadi ada semacam tuntutan terhadap potensi masa lalu yang belum dipenuhi untuk segera dipenuhi di masa depan. Itulah kenapa bagi Benjamin, kebahagiaan (manusia) bukan terletak dimasa depan yang belum jelas atau gambaran kosong. Namun kebahagaiaan merupakan gambaran yang yang ditentukan oleh kegagalan dan ketidak sampaian untuk meraih kebahagiaan masa lalu. Justru dengan tegas dikatakan Benjamin, bahwa kebahagiaan sudah seharusnya dapat dinikmati dalam udara yang telah kita hirup, begitupun kebahagiaan ada dalam pergaulan kita dengan manusia-manusia yang telah hidup dan berada bersama kita.

Jelaslah masa lampau mempunyai pengaruh dengan masa sekarang. Jadi tindakan kita sekarang menentukan masa depan kita. Ada sebuah konstelasi, antara masa lalu dan masa sekarang, namun bukan hanya sekedar untuk dirinya sendiri. Masa lalu menyimpan suatu potensi dan tuntutan (daya mesianis) yang mesti dipenuhi dalam masa sekarang dan masa mendatang. Maka dari itu, manusia mesti belajar dari peristiwa-peristiwa yang dialami. Sebab masa lalu merupakan inspirasi dan kekuatan bagi perjuangan masa kini.

Betapa pentingnya ingatan dan sejarah masa lalu, terutama bagi mereka-mereka yang menderita, kalah, tertindas dan dilupakan. Dalam ingatan seperti ini, pengalaman-pengalaman sebelumnya menjadi terang dan bercahaya. Ia mampu menghadirkan wawasan-wawasan yang berbahaya bagi masa kini juga menantang kita untuk mempertanyakabn kembali apa yang kita anggap dan terima sebagai biasa, dan menggugat kekosongan pengalaman keseharian yang kita duga realisme. Inilah ingatan yang berbahaya, ingatan-ingatan yang menuntut. Mereka mengancam struktur pengalaman. Justru karena memuat ancaman terhadap kemapanan inilah yang menjadikan memiliki ciri subversif. Bagaikan, gangguan dan godaan dari masa lalu. Gangguan dan godaan ini datang secara tiba-tiba alias tak terduga. Artinya, orang harus memperhitungkan ingatan-ingatan itu. Dan kandungan dari itu adalah masa depan. Hampir dapat dipastikan bahwa para penguasa totaliter suka menghancurkan ingatan. Perbudakan manusia dimulai ketika orang merampas ingatan mereka. Dan setiap pemberontakan melawan penindasan tumbuh dari kekuatan subversif, yang lahir dari penderitaan yang diingat kembali. Inilah memoria passsionis. Memoria passionis ini memiliki sifat yang universal. Oleh sebab memiliki sifat demikian, ingatan tersebut dapoat melewati sifat kultural setempat yang membatasinya. Juga yang membuat suatu kultur peka terhadap kultur-kultur lainnya. Tambahan Peter Rottlander [8] berpikir demikian: bahwa bukan sekedar ingatan melainkan ingatan tentang penderitaanlah yang membuka perspektif lebih lanjut. Hal ini sangat memungkinkan terciptanya iklim saling pengertian khusus, yang membuka mata untuk melakukan perbandingan terhadap apa yang berbeda. Disinipun diandaikan konsep universalitas yang secara implisit dilandasi pada sebuah ide universalitas yang berasal dari anaolgi: Membandingakn pengalaman-pengalaman penderitaan itu akan memungkinkan saling pengertian, yang dapat dicapai, tanpa mengoebankan kekhususan dari pengalaman masing-masing.

Seandainya masa lalu mereka yang menderita dan tertindas berhasil "dibawa" ke masa kini, maka terjadilah apa yang disebut Benjanin sebagai "penyelamatan masa lalu" Hal ini berarti tuntutan dan potensi masa lalu yang belum terpenuhi akan menjadi terpenuhi. Secara metaphoris dikatakan oleh Benjamin, Bahwa dalam saat penyelamatan di masa kini, manusia bagaikan harimau yang melompat ke masa lalu. Disana ia mendapatkan dirinya berada dalam suatu arena, berjumpa dengan beraneka bentuk kekerasan sekaligus si pelaku kekerasan itu sendiri, yang justru akan dijungkirbalikkan.

Menurut Benjamin, ingatan akan senatiasa merenda masa. Namun ingatan masa lalu yang notabene bukan kenagan indah yang menghidupi orang. Bukan romantika masa lalu yang senantiasa penuh dengan romantika manis nan indah. Tapi sejarah ingatan akan penderitaan, yang menjadi acuan, membayangi dan akan selalu terus menerus selamanya dikenang-kenang orang. Ia akan tumbuh atau beranak pinak dan diwariskan dari generasi ke generasi. Jutaan anak manusia dilahirkan, sejumlah ingatan itu bersemai. Ia ada dalam benak dan (bahkan) dalam "mimpi" setiap orang. Bahwa kita sungguh-sungguh hidup dalam tulang belulang masa lampau. Berhadapan dengan masa kini, masa lalu menyuguhkan peranan yang sangat penting. Kata Benjamin, "Ketika orang berhadapan dengan sesuatau masa kini, secara spontan ia akan menggunaka ingatannya lebih daripada pikiran atau pengetahuannya". J.B Metz pun berujar: "Apa jadinya manusia tanpa ingatan, ia akan menjadi seperti robot: seorang mahluk yang intelegens tanpa patos dan moral".

Benjamin sendiri juga menyadari akan sulitnya melacak datum-datum masa lalu bagi mereka yang tertindas dan menderita karena sudah terkena oleh regimentasi, berupa penggelapan fakta sejarah. Tambahan pula, mereka sendiri tidak pernah meninggalkan warisan apa-apa. Kenyataan diri mereka yang sesungguhnya tidak pernah dicatat dokumen-dokumen resmi sejarah. Belum lagi dengan kecenderungan hidup manusia yang (mudah sekali) lupa (anamnesis) akan masa lampau sejarahnya, terutama sejarah yang gelap, penderitaan generasi terdahulu. Seperti disinyalir oleh Th. Schilder, [9] bahwa manusia dewasa ini sudah merasa tidak terikat lagi dengan masa lalu, karena kesadaran akan unsur perubahan dan kemajuan yang demikian pokok bagi kesadaran historis telah musnah. Dengan congkak-nya manusia kini merajut dan menikmati hidup sejahtera, yang tidak akan pernah ada tanpa penderitaan dan perjuangan generasi terdahulu.

Terhadap situasi seperti ini, Benjamin berpendapat, mulai saat ini manusia mesti selalu mampu merajut kaitan yang bermakna dengan pergulatan historis dengan generasi-generasi terdahulu. Dengan perkataan lain mesti ada semacam solidaritas dengan generasi-generasi terdahulu. Yaitu dengan mengenang-enang mereka-mereka yang bernasib buruk, kalah dan dilupakan. Dengan cara demikian akan dapat timbul sikap yang sesuai: kita bergerak maju ke depan dalam sejarah dengan muka menghadap masa lalu dan punggung menghadap masa depan.

Benjamin memang (telah) berusaha tampil sebagai seorang pemikir yang mencegah kehancuran total tak berbekas mereka-mereka yang bernasib buruk, korban sejarah kebarbaran, pejuang-pejuang gigih kemanusiaan yang mati tak bersalah (the innocent victims) dan lenyap diterkam kegelapan. Juga ia memberikan sumbangan alternatif lain perihal pandangan sejarah manusia, yaitu terhadap sejarah manusia yang sifatnya tertutup, seperti secara khusus diyakini oleh Max Horkheimer dalam tradisi aliran Frankfurt dan historisme. Bagi Horkheimer, masa lalu sudah tertutup dan sama sekali tidak memiliki relevansi apapun terhadap masa kini. Masa lalu adalah masa lalu. Habis perkara! Bahkan lebih ekstrem-nya, ide-ide metafisis(Tuhan atau hidup sesudah kematian) diklaim olehnya sebagai sisa-sisa pemikiran primitif. Kenyataan atau pengetahuan masa lalu tidak dapat dipakai untuk memahami, apalagi menyelesaikan masalah-masalah masa kini. Singkatnya, paham semacam ini memusatkan diri pada kesadaran atau pemikiran sejarah yang mengesampingkan dan menganggap kurang perlu apa yang bukan sejarah, apa yang tidak terjadi dalam sejarah dan apa yang beradda diluar sejarah.

Benjamin sendiri memang sepanjang hidupnya tidak pernah merasakan dalam arti yang sesungguhnya paling riil dan kongkret, seperti pandangannya tentang masa depan manusia:kebahagiaan -- apa yang sesu-ngguhnya menjadi situasi negasi dari penderitaan itu sendiri. Dalam usia yang relatif muda, 48 tahun, Benjamin mati dengan amat tragis. Ia mati bunuh diri dengan cara tak terkatakan. Ia sengaja memasukkan terlalu banyak morfin dalam dosis tinggi kedalam tubuhnya. Kematian yang tragis dan bisu itu merupakan lembaran akhir riwayat hidupnya, yang dihiasi dengan kegagalan dan ketidakberuntungan, mulai dari penolakan Habiltatonschrift, karya-karya pasca-doktoral, yang mesti ia pertahankan dalam mengintegrasikan pandangannya ke dalam Institut Penelitian Sosial Frankfurt [10].

Memang benjamin sendiri akhirnya nanti sulit menolak bahwa pemikirannya menjadi bersifat teologis. keyakinan dirinya akan kekuatan ingatan manusia yang dapat menjadikan factum brutum penderitaan masa lalu "terbuka bagi penyelamatan". Bagaimana yang kalah bisa menang? Bagaimana yang menderita bisa bahagia? Bahkan, bagaimana pula yang mati bisa hidup kembali? (teologis). Seperti dikatakan juga olehnya, masa lalu mereka yang menderita, tertindas dan terbuang itu menyimpan bahan peledak bagi sejarah. Jikalau bahan peledak itu meledak dalam kekinian, sejarah akan berjalan dalam kualitas baru. Jadi, waktu tidaklah homogen dan kosong. Setiap detik dari waktu yang tidak kosong itu dapat menjadi pintu masuk bagi datangnya "sang penyelamat". mesis, ataupun mirip dalam kebudayaan Jawa dimengerti sebagai harapan dan kepercayaan akan hadirnya ratu adil [11] yang membebaskan mereka.

Kelak, pemikiran Benjamin akan diteruskan oleh J.B. Metz (Teologi Politik) dan Helmut Peukert. Khususnya pada Peukert [12], untuk mengkritik cita-cita masyarakat komunikatif Jurgen Habermas. Baginya, sebuah tindakan komunikasi tanpa distorsi selalu berpotensi dalam bahaya kehancuran: kematian. Bahwa manusia sebagai komunikator suatu saat akan mati. Bahaya kematian ini mesti diperhitungkan dengan serius, jika bercita-cita mewujudkan masyarakat yang bebas penindasan dengan solidaritas universal sebagai nilai sentralnya. solidaritas universal yang dimaksud:solidaritas amamnetis, yang merupakan sebuah jalan, atau jalan keluar bagi buntunya tindakan komunikatif manusia yang bercita-cita membebaskan manusia dari segala bentuk dominasi (penindasan). Solidaritas ini memuat tuntutan normatif:penindasan tidak pernah punya legitimasi. Seandainya kita hendak lebih tegas mengatakan, bahwa sesama manusia itu bermartabat, seperti halnya Tuhan adalah realitas penyelamat mereka. Jadi penegasan ini berarti menuntut agar sesama manusia tidak pernah bisa ditindas. Tuhan adalah kebaikan mutlak yang tidak bersyarat. Adapun untuk memungkinkan hal itu, menurut Peukert nilai solidaritas unuversal tersebut baru benar-benar menjadi nilai hanya jikalau juga mempu merangkul nasib para innocent victims, yang telah dihancurkan dan ditelan kegelapan sejarah masa lalu. Terhadap mereka ini, masih ada sebuah realitas yang mentrandisir nasib mereka:Tuhan.

Akhirnya, sebagai instrumen, sejarah berpotensi dalam membahasakan masa lalu, sekaligus merupakan sarana yang dapat menghubungkan dimensi masa lalu, kini dan masa datang. Sejarah tampil sebagai menifestasi dari tanggung jawab untuk dikisahkan kembali. History must be told, seperti yang diungkapkan G.J Reiner [13]. Juga seperti apa yang dikatakan Agustinus, sejarah hanya masih akan berlangsung selama jumlah orang-orang yang menderita, tertindas dan tersingkir, atau dalam ungkapan bahasanya sendiri "dipredestinasikan" untuk diselamatkan. Hal ini jelas sekali mengandung usaha apresiasi keberadaan waktu. Ikatan ketiga dimensi waktu: masa depan, masa lalu dan masa sekarang, menempatkan manusia akan terus berkembang didalam ruang dan tempat terjadinya peristiwa. Ingatanlah yang paling sesuai untuk meahami dan mengaktualisasikan masa lalu mereka yang menderita dan tertindas. Ingatanlah yang membuat diri kita mengerti bahwa ide keselamatan masa kini sudah terkandung dalam masa lalu mereka dan keselamatan masa lalu mereka mesti diwujudkan dalam masa kini. Sekali lagi juga ingatanlah, yang membuat kita mengerti, bahwa antara generasi yang dahulu dan generasi kita sekarang ini sesungguhnya terjadi kesepakatan diam-diam, bahwa seperti seorang "mesias" atau " 'Ratu Adil" kita sesungguhnya "dinantikan" didunia, dan bahwa dalam diri kita ada semacam kekuatan mesianis untuk mengubah dunia dan sejarah. Bukankah kerangka epistemologis masyarakat dapat dibantu dengan eksistensi sejarah: Sejarah Ingatan dan Penderitaan?

Catatan akhir
1. Lih. Nico Syukur Dister, 1989, Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta.
2. Rene Girard, 1982, The Scapegoat, The John hopkins University Press, hal. 39-42.
3. Rene Girard, 1977, Violence and The Sacred, The John Hopkins University Press, hal. 146.
4. Refleksi-refleksi Benjamin tentang persepsi sejarah manusia, khususnya tentang ingatan akan penderitaan (Memmoria Passionis) dan sejarah masa lalu dituangkan dalam "Theses on The Philosophy of The History." Thesis ini berjumlah delapan belas (I-XVIII), ditambah dua tambahan (A,B) dan satu bagian politik teologis. Lih. Water Benjamin, 1968, Illuminations, Hannah Arendt(Ed.). Trans. Harry Zohn, Harcourt, Brace and The World, NY. Atau lih. dalam edisi aslinya (Jerman): Walter Benjamin, 1977, Illuminationen. Ausgewahlte Schriften, Bd. I, Frankfurt a.M.
5. Walter Benjamin, dalam Ioan Davis, 1990, Writers in Prison, Basil Blackwell Ltd, Oxford.
6. Lih. Robert cribb (ed), 1990, The Indonesian Killings of 1965-1966, Studies From Java and Bali, Centre of Southeast Asian Studies-Monash University, Victoria. Buku ini memuat gambaran yang mengerikan perihal problem sejarah kontemporer Indonesia.
7. Lih. Si Almarhum, Tempo, 16 Juni 1990.
8. Lih. Peter Rottlander, "Ethik inder politischen Theologie", dalam Orientierung 57, hal. 157.
9. Dikutip dalam Ankersmit, 1987, Refleksi tentang Sejarah, Gramedia, Jakarta. hal. 955.
10. Untuk riwayat hidup Bejamin, lih. Susan Buck-Morss, 1987, The Origin of Negative Dialectics, The Harvester Press, Sussex. Juga lih. Ricard Wollin, 1982, Walter Benjamin: An Aesthetic Redemption, Columbia University Press, NY. Untuk mengetahui konteks historis yang lebih luas, yakni aliran Frankfurt dan Institut Penelitian Frankfurt, lih. Rolf Wigershaus, 1973, The Frankfurt School: Its history, Theories and Significance. Trans. Martin Jay, The Dialectical Imagination,Heinemann, London. Ternyata penolakan terus menerus pemikiran-pemikiran Benjamin dalam Institut Penelitian Frankfurt dilatarbelakangi kedekatan benjamin dengan sahabatnya, si sastrawan Bertolt Brecht. Brecht (juga Benjamin) sendiri memiliki motif politis dukungan kepada Uni Soviet dan Marxisme-Leninisme, yang mana ditentang keras oleh Adorno dan juga tidak sesuai dengan pendirian Direktur Institut tersebut, Max Horkheimer.
11. Bdk. dengan konsep Ratu Adil dalam Kultur Jawa, juga terhadap konsep eling.
12. Lih. Helmut Peukert, 1984, Scence, Action and Fundamental Theology: Toward a Theology of Communicative Action. Trans. James Bohman, MIT. Atau lih. juga dengan penulis yang sama: "The Philosopical Critique of Modernity" dalam Concilium, No.6, Th 1992,h. 16-26.
13. Lih. G.J. Reiner, 1969, History, Its Purpose and Method, London. Keharusan sejarah yang memiliki sisi argumentatif untuk diceritakan kembali dalam dimensi kekinian,"tegasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar